23

11.7K 1.4K 187
                                    

Enjoy it!

.
.
.
.


Tidak ada suara tangis. Tidak ada jeritan pilu. Bahkan tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Tapi dari sorot matanya, orang-orang yang melihat pun pasti langsung paham. Ada kekecewaan, sakit hati, sedih, duka, kehilangan, dan dendam lengkap di sana.

Tubuhnya setengah terbaring di brankar rumah sakit. Matanya lurus memandang ke depan, memperhatikan layar televisi yang menghitam. Pikirannya mengawang, antara kosong atau sudah jenuh untuk terus berpikir.

Di sisi lainnya, seorang pria tidak henti mengucap syukur dalam hati karena belahan jiwanya sudah dinyatakan bebas dari masa kritis. Tangannya sedari tadi menggenggam telapak tangan si wanita yang bebas dari jarum infus.

Sedari si wanita siuman sampai diperiksa oleh dokter, dia tidak berbicara apa-apa. Dia bahkan tidak menanyakan keadaannya. Dia seolah sudah peka dan sadar sendiri dengan kondisinya sekarang.

Bahkan si suami pun tidak bisa berkata apa-apa. Dia hanya terlalu bersyukur istrinya kembali kepadanya, walau dalam kondisi seperti kehilangan sebagian nyawanya. Atau mungkin juga, dia hanya ingin memberi waktu kepada istrinya.

Istrinya 'gila'. Bukan 'gila' yang diikuti teriakan pekak dan tingkah abstrak. Tapi 'gila' yang sudah tidak mampu berpikir. 'Gila' yang saking parahnya, dia hanya bisa diam dan menelan segala kesakitan sendirian.

Keheningan terjadi sangat lama. Dia siuman sejak petang, dan saat hampir subuh begini kedua pasutri itu tidak juga berkata-kata.

Tangan si wanita perlahan bergerak merambat meraba perut ratanya. Gerakan kecil dari ibu jarinya mengusap perut yang terhalangi baju pasien. Tanpa aba-aba, air matanya mengalir begitu saja hingga jatuh membasahi selimut. Juga masih tetap dalam diam.

Suaminya yang terus memperhatikan gerak-gerik istrinya masih tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Keduanya sama-sama terluka. Si suami paham apa yang dirasakan sang istri. Karena mereka berbagi perasaan yang sama.

"Taeil-Oppa." Panggil istrinya.

"Kita... kehilangan dia, kan?", suara itu lirih sekali. Pilu, lebih pilu dari suara tangisan.

Butuh waktu lama bagi Taeil untuk mampu menjawab. Dia mengambil tempat di samping Doyoung, ikut duduk di atas brankarnya. Kepala sang istri dia tempatkan di depan dadanya, membiarkan belahan jiwanya itu mendengarkan suara bising detak jantungnya.

"Kita tidak kehilangan dia. Dia masih bersama kita, walau ada di tempat yang jauh lebih baik," ucap Taeil selembut mungkin.

"Semua karena kelalaianku," Taeil menggeleng. Dia mengecup pucuk kepala Doyoung.

"Kau tidak salah. Dia hanya belum ditakdirkan untuk bertemu dengan kita. Tapi dia tetap bersama kita. Tidak apa-apa."

"Aku mengecewakanmu. Iya, kan? Kau pernah bilang ingin memiliki anak. Tapi sekarang," Doyoung terisak, "sekarang karena kecerobohanku, anak kita--"

Taeil menangkup kedua pipi Doyoung. Dia menyatukan kedua bilah bibirnya dengan milik Doyoung. Tidak ada lumatan, permainan lidah, atau nafsu. Taeil hanya mengecup bibir istrinya dengan panjang, berusaha menyalurkan perasaan yang tidak sanggup dia katakan. Bahkan Taeil bisa merasakan wajahnya juga terkena air mata Doyoung.

Kecupan itu lepas, diganti dengan tatapan lembut dari manik mata si suami. Dia menghapus linangan air mata yang membasahi pipi sang istri.

"Hatiku jauh lebih sakit saat menunggumu bangun dari koma. Apa kau tahu? Hariku terasa seperti di neraka saat kau tidak berada di sisiku. Menunggumu seorang diri, rasanya aku mau mati," Doyoung masih diam mendengarkan.

Untold Pain [MarkHyuck (GS)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang