Tiga Puluh Tujuh

1.6K 131 3
                                    

Genap seminggu sosok lemah tersebut masih enggan untuk membuka matanya barang sedikitpun. Silih berganti orang-orang terdekatnya menemui sosok itu meskipun hanya disambut dengan pejamnya. Entah apa yang membuatnya betah dalam tidurnya, sehingga ia seakan lupa jika di sini masih banyak yang menunggunya.

Pemuda itu masih setia menemani sang adik yang terpejam semenjak matahari terbit. Tangannya tak pernah sedikitpun terlepas dari tautannya dengan sang adik. Bahkan sebelah tangannya yang bebas pun tak lelah untuk mengelus surai hitam sang adik yang mulai menipis.

Hingga tak lama, ada sebuah getaran dari saku celananya. Tanpa menunggu lama ia lantas mengambil benda pipih tersebut dan mendekatkannya pada satu daun telinganya.

"Halo assalamualaikum Ayah." Salam Riko.

'Waalaikumsalam Mas. Mas, eyang sama uti kecelakaan. Ini Ayah sama Bunda udah ada di bandara. Mau ke Jogja hari ini juga. Mas Riko jagain Adek ya.' Jawab Ayah dari seberang sana dengan suara gemetarnya.

"..."

'Halo Mas.' Panggil Ayah sekali lagi karena putra sulungnya tak kunjung membalas ucapannya.

"I-iya Ayah. Ayah sama Bunda hati-hati ya. Semoga Eyang sama Uti gak kenapa-napa." Jawab Riko.

'Ya udah Ayah sama Bunda berangkat ya, Assalamualaikum.' Tutup Ayah.

"Waalaikumsalam." Sambung Riko dengan suara bergetar, bahkan ia sudah meneteskan air matanya.

Ada apa ini? Kenapa harus terjadi? Adiknya belum bangun dari komanya dan sekarang, ia mendapat kabar bahwa Eyang dan Utinya kecelakaan. Bahkan ia pun belum tahu menahu tentang keadaan kedua orang tersebut.

Hingga sebuah suara melengking dari salah satu alat yang berada di samping adiknya membuyarkan semua lamunannya.

"Dek. Adek!!! Gak! Gak mungkin! Adek bangun dek!" Riko berteriak dan memencet tombol merah itu secara brutal, berharap agar dokter serta perawat segera datang ke kamar rawat adiknya.

Setelah menit kelima, datanglah seorang pria dengan setelan jas putih bersama dua wanita yang mengenakan baju sewarna. Lalu Riko di tuntun seorang suster agar mau keluar dari ruangan tersebut supaya para tim medis lebih mudah dalam menangani pasien.

"Jangan pergi dek." Gumam Riko ketika telah sampai di ambang pintu.

---

"Mas Riko. Raka kenapa?" Ucap Faris kepada Riko ketika telah mendudukkan tubuhnya di sebelah pemuda itu. Tangannya terulur mengusap punggung kokoh kakak sahabatnya tersebut.

Ketika sudah mendekati ruang rawat Raka, Faris bersama kedua sahabatnya yang lain melihat sosok Riko yang tengah duduk di kursi panjang dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Lantas ketiga remaja tersebut bergegas menghampiri pemuda yang tengah menangis tersebut.

Setelah menyampaikan pertanyaan itu, hanya ada kebisuan diantara mereka. Hingga tiba-tiba Riko memeluk tubuh Faris dan menangis dengan isakan lirihnya.

Reno dan Dafa yang melihat itu hanya bisa diam karena semua kata yang ingin mereka ucapkan, menguap entah ke mana.

Di tengah tangisan Riko itu, tiba-tiba suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka. Lalu muncullah seorang dokter dengan wajah lelahnya.

"Papa, Raka kenapa?" Faris langsung beranjak dan mendekati sang dokter yang merupakan ayahnya untuk menanyakan keadaan Raka.

"Tadi detak jantung Raka sempat berhenti. Tapi sekarang udah stabil lagi. Riko, jaga adek kamu ya, Om tau apa yang udah terjadi sama keluarga kamu." Ucap Avin dengan menepuk pelan pundak Riko serta memeluknya.

Ketiga remaja SMA tersebut merasa bingung dengan ucapan Avin. Lantas mereka menanyakannya kepada Avin ketika Riko sudah meninggalkan mereka untuk masuk ke dalam ruangan adiknya.

---

Setelah dua hari Ayah dan Bunda berada di Jogja, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta dengan membawa kabar terburuk. Orang tua Bunda yang merupakan eyang serta uti dari Raka dan Riko dinyatakan meninggal tepat satu jam setelah tragedi kecelakaan berlangsung.

Mereka memang sengaja tidak memberitahu Riko lewat komunikasi telefon tentang kepergian eyang serta uti dikarenakan tidak ingin menambah beban putra sulungnya.

Dan hari ini, kedua orang tua Riko telah berjalan di koridor rumah sakit untuk menemui kedua buah hati mereka di mana salah satunya masih enggan untuk bangun dari tidur panjangnya.

Ceklek

"Mas Riko." Sang Bunda berjalan terlebih dahulu kemudian memeluk erat tubuh putra sulungnya.

"Bun." Panggil Riko karena sedari tadi sang Bunda hanya menangis dan memeluknya dengat sangat erat.

"Eyang sama Uti udah pergi." Ucapan itu seperti bisikan yang langsung menembus telinga Riko. Ia yang mendengarnya hanya diam dengan air mata yang mulai berjatuhan dari kedua mata elangnya.

Sedangkan Ayah kini tengah duduk di samping brankar putra bungsunya seraya mengelus pucuk kepala Raka.

Ketika Ayah hendak memegang tangan Raka, tiba-tiba jemari kurus tersebut bergerak perlahan seiring dengan kedua mata yang juga akan terbuka.

"Adek, Adek ini Ayah. Bun, Mas, Adek udah bangun." Ucap Ayah seraya memencet tombol darurat untuk memanggil dokter.

Tentang PERGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang