Tiga Puluh Lima

1.5K 132 3
                                    

Seorang remaja tengah duduk bersandar pada kepala ranjang dengan tangan yang memencet-mencet tombol remote tv yang tersedia di kamar rawatnya. Ia merasa bosan sendiri karena berada di kamar rawatnya seorang diri tanpa ada salah satu anggota keluarganya. Bunda dan Ayah yang masih berbicara dengan sang dokter di ruangannya dan sang kakak juga belum kembali dari aktivitas kuliahnya.

Beberapa jam lagi remaja tersebut akan menjalankan salah satu prosedur pengobatannya yakni kemoterapi. Kemoterapi tersebut merupakan kali kedua setelah kemoterapi pertama yang sudah dilaluinya beberapa minggu lalu.

"Nonton apa sih Ka, dari tadi ganti-ganti mulu."  Faris beserta para sahabatnya baru saja memasuki ruang rawat Raka dan melihat anak itu yang sedari tadi tak selesai-selesai memencet tombol remot tv itu.

"Kalo masuk tu ketok pintu dulu, terus salam, baru masuk!" Ketus Raka kepada ketiga sahabatnya dan hanya dibalas cengiran oleh mereka.

"Eh gue kangen masa." Ucap Dafa yang langsung duduk di pinggiran ranjang Raka.

"Kok gue agak jijik ya Daf." Balas Raka yang langsung di jawab dengan tawa oleh Faris dan Reno.

"Ah, elo mah, orang gue serius juga." Kata Dafa seraya memanyunkan bibirnya.

"Iya, sini-sini gue peluk." Jawab Raka dengan merentangkan kedua tangannya dan disambut oleh Dafa yang langsung memeluknya.

"Nanti sore lo mau kemo Ka?." Tanya Faris yang telah duduk di kursi samping ranjang Raka dan melihat anak itu sudah melepaskan pelukannya dengan Dafa.

"Gue takut Ris, kemo itu sakit banget sumpah, tapi mau gimana lagi itu jalan satu-satunya biar gue bisa sembuh." Jawab Raka dengan memandang lurus ke arah jendela namun Faris tahu mata sayu tersebut menyimpan banyak luka dan penderitaan.

"Lo kan udah pernah menang waktu kemo pertama, gue yakin kali ini lo juga pasti bisa ngelawannya." Ucap Faris dengan menuntun wajah Raka agar menghadap ke arahnya.

Remaja yang tengah duduk di atas brankar rumah sakit itu lantas menundukkan kepala karena ia sendiri tidak yakin dapat berhasil untuk yang kedua kalinya.

Setelahnya hanya ada keheningan di antara keempat pemuda tersebut. Namun yang Raka tidak ketahui bahwa sebenarnya ketiga sahabatnya itu tengah berusaha menghalau cairan bening yang ada di matanya agar tidak terjatuh.

---

Ceklek

Ayah dan Bunda memasuki kamar rawat Raka serta diikuti oleh Avin juga beberapa suster yang akan memindahkan Raka ke ruang kemoterapi.

Para sahabat Raka sudah pulang sejak satu jam lalu bertepatan dengan kedatangan Riko. Karena mereka memang diperintah oleh Riko agar kembali ke rumahnya serta ia juga melarang mereka untuk menunggu Raka sampai selesai kemo.

Tubuh ringan Raka diangkat oleh beberapa perawat dan dibaringkan di atas brankar yang akan membawanya ke ruang kemoterapi.

"Ayah, Adek takut." Ucap Raka ketika Avin serta para perawat tengah menyiapkan keperluan kemoterapi.

Sang Ayah yang mendengarnya lantas memeluk tubuh Raka dan dibenamkannya pada dada bidangnya. Ia mengelus pelan rambut si bungsu yang semakin menipis.

"Tenang ya dek, Adek kan jagoan Ayah. Jagoan gak boleh takut donk." Jawab Ayah meraup kedua pipi tirus bungsunya.

Cairan kemoterapi itu perlahan memasuki tubuh Raka melalui jarum infus yang terpasang rapi di tangan kanannya.

"Ayah, sakit." Ayah masih setia mengelus pucuk kepala Raka berusaha untuk menenangkan anaknya yang terus bergerak gelisah dengan keringat mengalir dari kening Raka. Bahkan anak itu terus meracau tidak jelas karena tiba-tiba ia merasa sangat kedinginan.

"Tahan ya sayang, Ayah tau Adek kuat, Adek pasti bisa." Ucap Ayah dengan mencium tangan kiri Raka yang masih meremas telapak tangannya untuk menyalurkan rasa sakit dari kemoterapi tersebut.

Lebih dari setengah dari obat kemoterapi tersebut berpindah ke tubuh Raka, dan sekarang anak itu sudah terlelap karena lelah dengan rasa sakit tersebut. Namun tiba-tiba ia terbangun dengan mata yang terbuka lebar serta tubuhnya yang terhentak-hentak ke atas. Bahkan nafas anak itu juga terdengar putus-putus padahal ia sudah memakai alat bantu untuk bernafas.

Seorang suster yang tengah menjaga Raka pun lantas memencet tombol di samping brankar guna memanggil sang dokter lalu tak lama Avin datang dengan tergesa-gesa dan ketika ia melihat pasien kesayangannya itu tengah mengalami kejang, Avin langsung memerintahkan suster untuk mencabut infus kemoterapinya.

"Dek, Adek sadar, ini Ayah sayang." Ucap Ayah yang sedari tadi tidak melepaskan tautan tangannya pada jemari kurus Raka. Ia hampir dibuat gila ketika melihat anak bungsunya mengalami kejang-kejang dengan kedua bola mata yang membulat sempurna.

"Maaf Dik, kemoterapi kedua ini gagal. Dan sekarang Raka harus kita pindahkan ke ruang ICU karena keadaannya, kritis." Ucap Avin lalu menepuk pelan pundak Ayah yang sekarang tak sekokoh dulu.

Dokter dan para perawat itu kemudian membawa brankar Raka menuju ruang ICU supaya bisa mendapatkan perawatan yang lebih intensif.

Ketika brankar tersebut didorong oleh para petugas medis, Bunda dan Riko yang melihatnya langsung bertanya pada sang dokter yang juga mengikuti brankar tersebut.

"Om, itu Adek saya kenapa?" Tanya Riko kepada teman Ayahnya itu.

"Adek kamu kritis." Hanya jawaban tersebut yang dilontarkan oleh sang dokter lalu ia beranjak untuk mengurus Raka yang akan dipindahkan ke ruang ICU.

"Ayah." Panggil Bunda kemudian memeluk suaminya ketika ia melihatnya keluar dari ruang kemoterapi dengan wajah memerah karena menahan tangis.

"Ayah tau Adek kuat." Ucap Ayah singkat lalu mendekap istri serta anak sulungnya.

Tentang PERGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang