Dua Puluh Sembilan

1.5K 134 4
                                    

Sudah beberapa hari, sosok itu masih terbaring lemah dengan nafas yang masih putus-putus dibantu dengan selang ventilator yang pastinya sangat menyiksa tenggorokannya. Dan hari ini tepat seminggu ia terpejam erat di ruangan ICU tersebut.

Para teman-teman dan guru sekolahnya juga tampak sudah menjenguk sosok lemah tersebut. Terlebih ketiga sahabatnya yang hampir tak pernah absen untuk sekedar melihat dan memantau keadaan sahabat sekaligus adik mereka itu.

"Udah seminggu Adek tidur terus. Emang gak capek ya? Apa gak kangen sama Mas Riko, sama Bunda, sama Ayah. Oh ya, Eyang sama Uti udah pulang ke Jogja, Adek kelamaan sih tidurnya, jadinya Eyang sama Uti udah balik aja ke sana. Tapi nanti kalo Adek udah baikan, Ayah mau ngajak ke sana katanya." Ucap Riko kepada sosok lemah yang masih setia memejamkan matanya itu.

Untuk hari ini ia yang bertugas menjaga sang adik karena sang Ayah sedang menghadiri rapat penting di kantornya sedangkan Bunda masih istirahat di rumah karena semalam sudah menemani Raka.

Riko masih setia mengelus pelan puncuk kepala sang adik dan tangan kanannya menggenggam jemari Raka dengan begitu erat. Ia masih memandangi wajah yang dominan terhadap Ayahnya tersebut dan sesekali juga mencium kening sang adik kesayangannya.

Ia mulai merasa ada yang bergerak pada jari jemari adiknya dan kedua mata indah itu perlahan terbuka namun kembali tertutup seakan merasa sangat tak nyaman dengan cahaya lampu yang menerangi ruangannya.

"Dek, adek bangun? Ini Mas Riko dek." Riko yang melihat adiknya berusaha membuka matanya itu langsung melebarkan senyumnya dan memberi ciuman bertubi-tubi pada kening Raka.

Raka yang masih merasa sangat lemas serta tenggorokannya yang begitu terasa sakit akibat selang tersebut hanya mengedipkan matanya dengan lemah ketika sang kakak mengajaknya bicara.

"Mas Riko panggil Om Avin ya Dek." Ucap Raka seraya memencet tombol yang ada di sebelah brankar sang adik.

"Makasih dek, makasih." Riko berucap dengan masih mencium kening serta tangan adiknya.

Tak lama pintu terbuka menampilkan sosok berjas putih bersama dua wanita yang juga berpakaian putih.

"Akhirnya kamu bangun Raka." Ucap Avin ketika melihat sahabat anaknya itu sudah membuka matanya.

"Om periksa kamu dulu ya." Avin mulai memeriksa tubuh Raka dan ketika ia melihat pernafasan anak dari sahabatnya itu sudah membaik, ia pun berniat melepaskan selang ventilator itu.

"Tahan ya Raka, ini mungkin agak sakit." Peringat Avin dan Raka pun merasa tangannya digenggam erat oleh seseorang yang merupakan kakaknya.

"Kuat ya dek, ada Mas Riko di sini." Riko menggenggam erat sang adik dan berusaha menenangkannya.

Avin melepas selang itu dibantu oleh dua perawat yang tadi datang bersamanya. Sedangkan Raka menggenggam erat tangan sang kakak berusaha untuk menyalurkan rasa sakit pada tenggorokannya akibat selang tersebut. Bahkan ia sempat terbatuk keras dan langsung diberi air oleh perawat untuk meminimalisir rasa sakit pada tenggorokannya.

"Adek emang kuat." Ucap Riko mengelus pipi sang adik yang sekarang sudah diganti dengan nasal kanul melintang di hidung mancungnya. Dan Raka hanya tersenyum menanggapi ucapan sang kakak.

---

Suara pintu ruangan itu dibuka dengan sedikit kencang oleh seorang pria dewasa bersama istrinya. Setelah mendapat kabar dari si sulung bahwa anak bungsu mereka sudah sadar dari tidur panjangnya serta juga sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, mereka langsung datang ke rumah sakit tersebut untuk mengetahui langsung keadaan sang buah hati.

"Adek, sayang Bunda kangen banget sama Adek." Ucap Bunda kemudian mencium hampir setiap inci wajah si bungsu.

"Bun, geli." Raka yang masih lemah pun akhirnya bersuara dengan suara lirihnya.

"Bunda, itu kasihan adek." Sang Ayah pun juga ikut menghentikan kegiatan istrinya tersebut.

"Hehe, maaf ya sayang, Bunda kangen banget sama Adek soalnya." Jawab Bunda disertai dengan cengirannya.

"Ayah." Panggil Raka.

"Iya kenapa dek? Ayah di sini." Jawab Ayah yang berdiri di sebelah kiri brankar anak bungsunya seraya menggenggam tangan Raka yang masih tertusuk jarum infus tersebut.

"Pulang." Jawab Raka.

"Gak boleh dek, kan adek harus dirawat dulu di sini, mau sembuh kan?" Bujuk Ayah kepada bungsunya meskipun sebenarnya ia tidak tega jika putra kesayangannya itu harus mendekam lama-lama di tempat terkutuk tersebut.

Raka hanya membalasnya lagi dengan anggukan yang sangat lemah. Ia telah merubah raut mukanya menjadi sangat tidak bersahabat bagi siapapun.

"Hei, Adeknya Mas Riko jangan ngambek donk. Nanti jelek ah." Goda sang kakak seraya mencolek pipi mulus sang adik yang langsung dibalas dengan tatapan tajam dari empunya pipi.

Ceklek

"Dika." Panggil Avin ketika telah memasuki ruang rawat Raka dan melihat sahabatnya itu sudah berada di sana.

"Iya Vin, gimana kondisi anak gue sekarang?" Tanya Ayah langsung.

"Emm, nanti kita bicarain ini di ruangan gue aja ya, sekalian sama Mala juga. Ini gue mau periksa Raka dulu." Jawab Avin lalu mulai memeriksa Raka.

"Om, pulang." Rengek Raka kepada dokter tersebut.

"Eh kok pulang? Baru juga tadi bangun. Istirahat dulu di sini, nanti kalo udah sembuh baru pulang." Jawab Avin kepada anak dari sahabatnya itu.

Raka pun langsung diam serta tentu saja dengan wajah yang ditekuk karena kesal dengan semua orang yang ada di sana.

Tentang PERGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang