Di ruangan itu, hanya ada bunyi elektrodiagram yang menampilkan detakan jantung dari pemiliknya. Di samping brankar tersebut, seorang pemuda masih setia memandangi wajah pucat seseorang yang sedang terbaring di depannya. Menggenggam tangannya yang terbesas infus serta mengelus pucuk kepalanya dan sesekali menciuminya.
"Bangun dek." Suara itu mengalun dengan bunyi bising dari monitor tersebut.
Pemuda itu masih setia memandangi wajah pucat sang adik yang terjejal ventilator pada mulut mungilnya. Ia duduk sendiri menemani Raka karena kedua orang tuanya sedang menemui sang dokter yang menangani adiknya itu. Sedangkan para sahabat Raka sudah disuruh pulang oleh sang Ayah karena mereka pasti kelelahan sudah mengantar Raka ke rumah sakit.
Ceklek
"Mas, sholat dulu gih sama makan sekalian. Udah adzan dhuhur barusan." Suara Bunda memecah keheningan di ruangan tersebut. Ia datang dengan wajah yang tak kalah kacaunya. Mata sembap serta sedikit bengkak akibat terlalu banyak menangis.
"Bun." Riko memeluk Bundanya ketika melihat wanita tersebut berjalan menghampirinya yang sedang duduk di samping brankar sang adik.
"Ssttt udah ya gak usah nangis. Sekarang mending sholat dulu ya sama Ayah. Bunda lagi halangan. Doain buat Adek supaya cepet bangun." Bunda mengusap-usap belakang kepala serta punggung si sulung dan menenangkannya. Ia harus lebih kuat dari anak sulungnya, jika ia terlihat menangis lagi di depan Riko, pasti anak itu akan lebih hancur dari dirinya.
Riko pun mengangguk dan meninggalkan ruangan adiknya untuk menuju mushola bersama sang Ayah.
"Tadi Om Avin ngomong apa aja Yah?" Tanya Riko ketika sudah berjalan beriringan dengan sang Ayah.
Ayah menghentikan langkahnya dan memandang sorot mata sendu putra sulungnya. Ada perasaan takut, sedih serta hancur dalam perasaannya ketika mengingat perkataan temannya waktu itu.
"Doain Adek ya Mas. Kata Om Avin, Adek collapse gara-gara kecapean, dan sekarang Adek masih koma. Kemungkinan operasi itu akan mundur dari jadwalnya karena harus menunggu kondisi Adek stabil dulu." Jawab Ayah dengan pandangan sendunya. Bahkan seperti tak ada binar sedikitpun dari kedua pria berbeda usia itu.
"Tapi Adek bakal bangun lagi kan Yah? Adek gak bakal ninggalin Riko kan? Riko takut Yah." Balas Riko dengan air mata yang kembali jatuh membasahi kedua pipinya.
"Adek pasti dan akan selalu baik-baik aja Mas. Kita sama-sama doain Adek ya, jangan pernah bosan minta sama Allah buat nyembuhin Adek." Ucap Ayah dengan memeluk erat tubuh bergetar Riko dan menenangkannya.
---
"Dek." Panggil Bunda dengan menggenggam erat tangan kurus si bungsu dengan hanya suara EKG sebagai jawabannya.
"Katanya Adek kalo dibangungin pasti langsung bangun, kok sekarang gak mau bangun sih, udah nakal ya sekarang." Ucap Bunda seraya mengelus pipi Raka dan betapa sakit hati kecilnya melihat mulut mungil si bungsu yang di jejali sebuah selang untuk pernafasannya.
"Dek, katanya pengen main ke rumah Eyang, gimana mau ke sana kalo Adek tidur mulu." Ia jadi teringat waktu itu ketika Raka dengan antusiasnya ingin sekali mengunjungi rumah Eyangnya yang berada di Jogja. Namun ia memberitahu jika setelah operasi itu dilakukan dan kondisi Raka membaik, maka ia akan mengajak Raka untuk ke Jogja.
"Oh ya, Bunda sampe lupa belum ngasih tau Eyang sama Uti dek. Nanti Bunda minta Eyang sama Uti ke sini aja ya, tapi Adek harus janji kalo mereka ke sini, Adek harus udah bangun." Bunda masih setia mengajak bicara si bungsu meskipun tak ada suara dari anaknya itu untuk membalas semua perkataannya.
"Nanti kalo Eyang sama Uti ke sini, terus Adek belum bangun, Bunda gak jadi ngajak Adek ke Jogja loh. Makanya itu Adek harus cepet bangunnya." Tangan sang Bunda masih setia mengelus pucuk kepala Raka, lalu ia mencium kening serta kedua pipi si bungsu sebelum berlalu keluar ruangan ICU tersebut untuk menjawab panggilan dari papanya yang merupakan Eyang dari Raka melalui telepon pintarnya.
"Lhoh, Bunda kok di luar? Adek gak papa kan?" Tanya Riko langsung ketika melihat Bundanya berada di luar ruangan ICU tersebut.
"Adek masih sama Mas, belum mau bangun. Barusan Eyang Uti telpon katanya besok mau ke sini, tadi udah dikasih tau Mbak Sri kalo Adek di rumah sakit, tapi gak ngomong kalo Adek koma. Tapi tadi Bunda udah bilang kok." Jelas Bunda.
"Ya udah, sekarang Bunda sama Mas Riko pulang aja ya, biar Ayah yang jagain Adek." Perintah sang kepala keluarga.
"Ayah sama Bunda aja yang pulang, Riko di sini aja Yah jagain Adek." Tolak si sulung.
"Ayah aja ya, Mas Riko pulang sama Bunda, istirahat biar gak ikutan sakit." Perintah Ayah mutlak dan sudah tidak bisa dibantah lagi oleh siapapun termasuk Bunda. Maka dari itu Bunda hanya diam tak berani melawan sang suami.
"Adek sekarang nakal ya, dibangunin gak mau bangun-bangun." Monolog Ayah ketika telah sampai di samping brankar si bungsu. Menyaksikan anak bungsunya terbaring lemah di atas brankar ICU dengan beberapa alat penopang hidupnya serta jangan lupakan ventilator yang menjejal mulut mungilnya, pasti itu terasa sakit.
Dan Ayah mana yang tak ikut merasa sakit ketika melihat anak kesayangannya harus mengalami koma, tidur panjang yang bahkan semua orang tak mengerti kapan anaknya itu akan membuka mata indahnya lagi serta menyebarkan senyum manisnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang PERGI (End)
Cerita PendekTidak ada kata "sempurna" dalam kehidupan, Ragil Rakasa Maulana. Hidupnya mungkin terlihat sempurna. Tapi semua itu runtuh seketika ketika kenyataan itu datang merobohkan segalanya.