Empat Puluh

3.1K 146 5
                                    

Esoknya, tepat pukul 7 pagi, Raka mengalami demam yang sangat tinggi serta kedua lubang hidung anak itu juga mengeluarkan darah. Bahkan anak itu juga mengalami sesak nafas yang mengharuskannya memakai nasal canulla.

Saat ini, ia tengah di kelilingi oleh ketiga anggota keluarga kecilnya. Mereka menatapnya dengan tatapan khawatir dan takut secara bersamaan. Khawatir dengan kondisi Raka yang tiba-tiba menurun serta takut akan kehilangan sosoknya.

Kedua manik indah itu perlahan terbuka dengan tatapan sayu yang mengarah pada sosok wanita berhijab di sebelahnya.

"Bun." Tangan Raka yang semula digenggam erat oleh Bunda, terangkat memijat keningnya yang tiba-tiba terasa sakit. Matanya juga terpejam dengan kerutan halus di dahinya.

"Pusing ya dek?" Bunda pun ikut memijat kening bungsunya.

"Bunda. Maaf." Ujar Raka setelah ia berhasil membuka kembali kedua maniknya dan dirasa pening itu sedikit hilang.

"Maaf udah ngerepotin Bunda, Ayah sama Mas Riko juga. Makasih udah mau sayang sama adek selama ini. Adek seneng banget udah dilahirkan Bunda, jadi anaknya Bunda cantik. Terus punya Ayah yang hebat sama Mas Riko yang selalu perhatian. Adek juga seneng masih bisa berada di tengah-tengah keluarga ini." Sambung Raka dengan suara lirih serta pandangan sayunya.

Ia juga memandang satu persatu wajah orang-orang yang sangat dicintainya. Merekamnya lalu menyimpannya ke dalam memori yang tak akan pernah bisa terisi penuh dengan kenangan.

Mereka hanya menjawabnya dengan senyuman yang terlihat dipaksakan. Semua kata yang ingin mereka ucapkan seolah melebur entah ke mana ketika dihadapkan dengan situasi yang mungkin semua orang tak ingin mengalaminya.

"Adek sayang Bunda, Ayah sama Mas Riko." Kembali anak itu melontarkan kalimat yang seakan membuat hati mereka semakin kalut.

"Ayah juga sayang banget sama Adek. Adek kan jagoan Ayah." Setelah keheningan yang membalas semua ucapan Raka, akhirnya Ayah mengeluarkan suaranya lantas ia berjalan mendekati Raka dan membawanya pada dekapan yang sangat erat.

"Janji sama Ayah kalo Adek gak akan menyerah." Tangan besar itu terangkat mengelus punggung serta rambut Raka yang mulai menipis.

"Mau peluk Mas Riko boleh?" Setelah melepas pelukannya dengan sang Ayah, ia berkeinginan untuk memeluk kakaknya.

"Gak usah minta juga Mas Riko pasti mau." Riko yang awalnya berdiri di sebelah kaki adiknya lantas mendekat dan membawa tubuh kurus itu ke dalam pelukan hangatnya.

"Adek jangan ke mana-mana ya, Bunda sayang banget sama Adek." Baru saja kedua remaja laki-laki itu melepaskan pelukannya, Bunda langsung memeluk Raka dengan sangat erat.

Bunda tidak mengerti mengapa ia merasa akan ditinggal pergi oleh bungsunya. Meskipun Raka selalu meyakinkannya bahwa anak itu akan bertahan namun Bunda masih belum bisa sepenuhnya percaya.

"Bunda, Ayah, Mas Riko, Adek tidur dulu ya. Makasih."

---

Satu jam berlalu namun Raka belum kembali membuka matanya. Padahal ini sudah waktu makan serta minum obat dan Bunda sudah membangunkannya berulang kali namun tetap nihil.

"Adek, bangun sayang." Ucap Bunda dengan suara yang sedikit ditinggikan berharap putranya akan terbangun.

"Ayah, Mas Riko, Adek gak mau dibangunin." Pekik Bunda saat melihat suami serta anak sulungnya yang sudah kembali dari masjid rumah sakit.

"Mas Riko panggil Om Avin." Ucap Ayah setelah melihat dada anak bungsunya yang seperti sudah tidak bergerak naik turun. Ia juga memencet tombol merah itu dengan brutal berharap para perawat segera datang.

Avin datang bersama beberapa perawat lalu memerintahkan keluarga itu untuk keluar dari ruang rawat Raka.

"Adek Yah, tadi Bunda bangunin tapi gak mau bangun." Racau Bunda dalam dekapan suaminya.

Sedangkan Riko, anak itu tengah berdiri dengan bersandar pada tembok dan kedua mata yang terus mengarah pada lantai rumah sakit.

Ceklek

"Maaf Dik, Allah lebih sayang sama Raka. Dia, pergi." Ucapan itu terlontar dari mulut dokter yang sudah menangani Raka selama ini.

"Om gak usah bercanda ini gak lucu. Adek aku baik-baik aja kan Om?" Bantah Riko dengan menatap tajam kedua mata Avin.

"Om jawab! Adek, adek gak papa kan Om. Please bilang kalo adek aku baik-baik aja!" Tak ada suara yang menjawab pertanyaannya hingga sebuah pelukan ia dapatkan dari Ayahnya.

"Sstt, Mas Riko jangan kayak gini. Adek udah tenang. Mas Riko harus bisa ikhlasin adek."

---

"Hai dek. Ternyata Adek lebih milih pergi ya." Riko menggigit bibir bawahnya sebagai pelampiasan dari rasa sesak yang menghimpit dadanya.

"Makasih ya udah jadi adeknya Mas Riko. Mas Riko sayang banget sama Adek. Mas Riko, ikhlas." Ciuman hangat diberikan kepada sosok yang tak akan pernah terganti dalam hidupnya untuk terakhir kalinya.

Pada akhirnya, yang ada akan tiada. Yang hidup akan mati. Dan yang datang akan pergi.

Sudah menjadi hukum alam, jika semua yang ada di dunia memang tidak pernah kekal. Bahkan sebuah batu yang sangat keraspun lama-lama akan terkikis seiring dengan berjalannya waktu. Dan waktu akan terus berputar selama bumi ini juga bergerak mengelilingi porosnya sebelum Sang Pencipta menghentikannya.

END

Okey guys, sekian dari cerita pertama aku. Dan terima kasih banyak buat yang berkenan membaca serta memberi bintang pada cerita abstrak ini.

I Love You all and See you again.😚

Tentang PERGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang