Tiga Puluh Delapan

1.7K 121 3
                                    

Senyum itu terlihat sangat cerah meski tetap masih ada rona pucat di wajah tampannya. Sebuah alat bantu pernafasan juga masih terpasang apik di bawah hidung mancungnya. Tangannya yang bebas dari infus digenggam erat oleh sang Bunda. Takut jika akan dilepaskan, anak itu akan pergi dari jangkauan Bunda.

"Maaf." Ucapan itu meluncur dari mulut mungil si bungsu.

"Kenapa Adek minta maaf?" Tanya Bunda yang tengah mengelus rambut lepek putranya. Lantas Raka menjawabnya hanya dengan gelengan kecil.

"Dek, Adek gak boleh tidur lama lagi ya kayak kemarin, Ayah gak suka." Ucap Ayah yang duduk di sebelah kaki kiri putra bungsunya seraya mencolek hidung mancung Raka.

Anak itu hanya membalasnya dengan senyuman karena ia memang masih merasa sangat lemas barang untuk berbicara saja.

"Nggemesin banget sih adeknya Mas Riko ini!" Ujar Riko lalu mencium gemas dahi serta pipi putih si bungsu.

"Mas Riko geli." Balas Raka yang tengah dicium secara brutal oleh kakaknya. Namun ucapan itu sengaja tak didengarkan oleh Riko karena ia memang masih menikmati perbuatannya itu.

"Mas Riko udah sih, itu kasihan Adeknya." Lerai Bunda dengan tatapan tajamnya.

"Hahhh capek Bunda." Ucap Raka ketika sudah lepas dari rengkuhan kakaknya.

"Tidur aja ya dek. Nanti kalo udah waktunya makan sama minum obat Bunda bangunin." Suruh Bunda dengan membenarkan selimut Raka yang sempat berantakan karena ulah Riko.

"Tapi kalo dibangunin harus bangun!" Ucap Riko dengan mengacak pelan surai hitam adiknya.

---

Ketiga remaja berseragam khas SMA itu berjalan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Mereka telah mendapat kabar dari Riko bahwa sahabatnya telah bangun dari tidur panjangnya sejak pagi tadi dan setelah bel pulang berbunyi, ketiganya langsung menuju rumah sakit tempat Raka dirawat.

Tok tok tok

"Bunda bukain pintu dulu ya sayang." Pamit Bunda kepada Raka.

"Eh ada temen-temennya Adek, ayo masuk."

"Makasih Bunda." Jawab Faris dan langsung melesat ke dalam menghampiri seseorang yang sangat dirindukannya.

"Lo hobi banget sih bikin kita semua khawatir." Ucap Faris yang baru datang dan langsung memeluk erat tubuh kurus Raka.

"Sorry." Jawab Raka pelan dalam pelukan sahabatnya.

"Elah lo tidur lama banget sumpah, gak capek apa. Gue aja kalo tidur seharian bangunnya langsung keliyengan, lah elo seminggu gak bangun-bangun." Ucap Dafa yang sudah duduk di pinggiran ranjang Raka.

Kedua orang tua Raka serta kakaknya sudah meninggalkan ruangan tersebut supaya tidak mengganggu kebersamaan Raka bersama para sahabatnya.

"Masih mending gue bangun, kalo gue gak mau bangun gimana?" Jawab Raka sambil menaikturunkan sebelah alisnya. Lantas hal itu langsung mengundang tatapan tajam dari ketiga sahabatnya.

"Bercanda gue." Balas Raka dengan  cengiran tanpa dosa.

Waktu terus berlalu, namun hanya ada keheningan yang menemani keempat remaja tampan itu. Dan hal itu justru membuat Raka merasa nyaman. Ia bisa merekam setiap detik yang dihabiskannya bersama orang-orang terkasih.

Ia tak pernah menuntut kuasa agar memberikannya waktu yang panjang. Yang ia inginkan hanya bahagia bersama semua orang-orang terdekat. Hanya itu, cukup berarti bagi seorang Ragil Rakasa Maulana.

---

Hari ini, sosok ceria tersebut membuka matanya tepat ketika adzan shubuh berkumandang. Ia ingin melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, meskipun ada sesuatu yang dapat menggugurkan untuk melakukannya, tetapi ia tetap tak ingin meninggalkannya.

Remaja tersebut sudah siap dengan pakaian sholatnya. Duduk di saf pertama bersanding dengan sang kakak yang berdiri. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dilafalkan oleh sang ayah mampu membuat siapa saja merasa hangat serta tentram.

"Assalamualaikum warohmatullah." Kalimat tersebut sebagai penutup atas sholat yang baru saja diselesaikan oleh keluarga tersebut.

"Bunda, Adek pengen ketemu Eyang sama Uti." Ucap Raka ketika baru saja mencium tangan wanita yang telah melahirkannya itu.

Wanita itu memandang suami serta putra sulungnya dengan tatapan sendu. Namun setelahnya ia mendapat anggukan dari suaminya.

"Sayang, Bunda mau ngomong sesuatu tapi janji, Adek gak akan kenapa-napa ya." Balas Bunda dengan menangkup kedua pipi si bungsu dan langsung mendapat anggukan dari Raka namun dengan raut wajah yang kentara lebih pucat dari sebelumnya.

"Eyang sama Uti udah gak ada karena kecelakaan Dek." Ucap Bunda yang masih setia memegang kedua pipi Raka serta menatap dalam maniknya.

"Bu-bunda pasti bohong kan?" Jawab Raka dengan lelehan air mata yang mulai mengalir di pipi kanannya.

Bunda hanya membalasnya dengan gelengan serta air mata juga mulai turun di pipi putih Bunda. Wanita itu juga langsung memeluk erat tubuh kurus si bungsu.

"Adek, maafin Ayah ya. Ayah janji kalo keadaan Adek udah membaik, Ayah akan ajak Adek ke makam Eyang sama Uti." Ucap Ayah dengan memeluk istri serta putra bungsunya.

Sedangkan Riko hanya mematung di tempat dengan air mata yang juga mengalir dari pelupuk matanya.

Akhhh

Suara erangan itu keluar dari mulut mungil Raka dengan salah satu tangan yang memukul-mukul dada bidangnya.

"Astahgfirullah, Adek!" Pekik Bunda kaget karena melihat bungsunya kesusahan mendapat oksigen.

"Adek, dengerin Ayah. Nafas pelan-pelan Dek." Perintah Ayah yang menyangga tubuh kurus Raka serta tangan yang mengelus dada anak itu.

Tangan remaja tersebut juga meremat keras telapak tangan kakaknya untuk menyalurkan rasa sesak serta sakit yang menghantam keras dadanya.

Namun tak lama kedua mata indah remaja itu perlahan tertutup seiring dengan nafasnya yang sudah putus-putus serta detak jantung yang sangat lemah.

"Sayang, cepat panggil dokter!" Perintah Ayah yang langsung diangguki oleh istrinya.

'Jangan sekarang Tuhan.'

Tentang PERGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang