'Sel kanker yang berada dalam tubuh Raka telah menyerang paru-parunya juga. Dan karena itu, Raka harus selalu memakai alat bantu pernafasan agar dapat bernafas dengan baik.'
Ucapan Dokter Avin tersebut selalu terngiang di kepala Sang Bunda. Ia tidak menyangka jika putra bungsunya harus menggunakan nasal kanul setiap harinya demi bisa bernafas dan melanjutkan hidupnya.
Tangannya terulur menyentuh pipi si bungsu yang terasa panas karena memang suhu tubuh Raka masih belum stabil. Mengelus rambut yang menutupi dahinya dan tak pernah bosan memandangi buah hati keduanya tersebut.
"Bunda sama Ayah makan dulu gih, biar Adek, Riko yang jagain." Tutur Riko yang duduk di sebelah kaki kanan Raka.
"Bunda." Ucap Riko sekali lagi setelah mendapatkan gelengan dari Bunda.
"Ayo Bun." Ketika mendapat anggukan dari wanita cantik tersebut, sang Ayah langsung berjalan keluar dari kamar rawat si Bungsu dengan menuntun istrinya.
Tinggalah Riko dengan adiknya yang hanya berteman sepi karena Raka memang belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya.
Pemuda itu hanya diam dengan tetap memandang sang adik yang entah kapan akan bangun dari lelapnya. Tangan Riko bergerak mengelus pelan kepala sang adik dan tak disangka begitu banyak rambut Raka yang menempel pada telapak tangannya.
Tak terasa setetes air jatuh dari mata elang Riko yang langsung mengenai tangan sang adik.
"Adek emang paling bisa kalo buat Mas Riko cengeng." Ujar Riko dengan mengelus pipi putih pucat sang adik.
---
"Si Raka ditelpon kok gak diangkat sih." Ucap Faris yang sedari tadi mendial nomor handpond Raka untuk mengetahui keadaan sang sahabat.
"Ya elah Ris, mungkin lagi istirahat dia, namanya juga masih di rumah sakit." Jawab Dafa, meskipun ia terlihat biasa saja sebenarnya ia pun juga merasa sangat khawatir kepada Raka.
"Dari pada gak jelas, mending ntar pulang sekolah kita langsung ke sana aja." Ucap Reno setelah meminum jus yang baru saja dipesannya.
Sesuai dengan rencana, sepulang sekolah mereka bertiga langsung menuju rumah sakit tempat Raka dirawat.
"Kok gue ngerasa ada yang gak beres sih." Kata Faris ketika tengah berjalan di koridor rumah sakit bersama kedua sahabatnya.
"Udah Ris, positive thinking aja." Jawab Reno.
Tok tok
Faris mengetuk pintu ruang rawat Raka dan tak lama seorang wanita cantik membukakan pintu kayu tersebut.
"Eh ada temennya Adek, ayo masuk." Ajak Bunda kepada ketiga remaja tersebut.
Betapa terkejutnya mereka ketika telah berada di dalam kamar rawat itu. Terlihat Raka yang sedang bersandar di kepala brankar rumah sakit dengan nasal kanul yang bertengger di bawah hidung mancungnya, dan jangan lupakan wajah putih yang kentara sangat pucat dengan bibir yang jauh dari warna merah merekah itu tersenyum menyambut kedatangan ketiga pemuda tersebut.
---
"Ka, gimana kabar lo?" Tanya Faris yang sudah duduk di kursi samping brankar Raka.
"Baik." Jawab Raka singkat karena ia tak mau membuat ketiga sahabatnya itu khawatir.
Ayah, Bunda serta Riko memilih keluar dari kamar rawat si bungsu supaya Raka dapat mengobrol banyak dengan ketiga sahabatnya. Sang Ayah telah berjanji kepada Faris untuk menceritakan semua yang telah terjadi pada Raka setelah mereka selesai menjenguk sahabatnya itu.
"Ris." Panggil Raka kepada Faris ketika hanya ada keheningan diantara mereka berempat.
"Iya Ka, kenapa?" Tanya Faris yang mulai khawatir namun sebisa mungkin ia tak menunjukkannya kepada Raka.
"Minum." Jawab Raka.
Faris pun mengambil segelas air yang berada di atas nakas samping tempat tidur Raka dan meminumkannya pada Raka dengan dibantu Reno serta Dafa.
"Udah?" Tanya Faris ketika Raka menjauhkan wajahnya dari gelas itu.
Raka hanya mengangguk dan kembali menyenderkan kepalanya.
"Kalian kok udah pada pulang sih?" Tanya Raka kepada ketiga sahabatnya karena seingatnya jam pulang masih sekitar dua jam lagi.
"Guru-guru lagi pada rapat Ka, jadi semua murid dibubarin." Jawab Reno yang duduk di sebelah kaki kanan Raka.
"Daf, tumben diem." Ucap Raka kepada salah satu sahabatnya itu karena biasanya Dafa selalu tidak bisa diam di manapun tempatnya, namun mengapa sekarang ia seolah kehilangan dirinya yang biasa?
"Eh, iya Ka, gue gakpapa kok, sekali-kali jadi anak pendiem, ya gak?" Jawab Dafa yang berusaha menghibur Raka meskipun ia sendiri merasa sangat takut dan khawatir terhadap sahabatnya itu.
Raka hanya menanggapinya dengan tersenyum.
"Istirahat aja ya Ka." Ucap Faris yang sekarang tangannya sudah mengelus surai hitam Raka.
"Gue kangen sekolah Ris." Jawab Raka yang sangat melenceng dari pertanyaan Faris.
"Iya, makanya harus nganut sama Om Avin, ngikutin prosedur pengobatannya biar cepet sembuh terus bisa sekolah lagi." Balas Faris yang masih setia mengelus pucuk kepala Raka.
"Gue capek." Ucap Raka.
"Iya kalo capek makanya istirahat. Tidur aja ya." Jawab Faris.
"Gue takut gak bisa buka mata lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang PERGI (End)
Kısa HikayeTidak ada kata "sempurna" dalam kehidupan, Ragil Rakasa Maulana. Hidupnya mungkin terlihat sempurna. Tapi semua itu runtuh seketika ketika kenyataan itu datang merobohkan segalanya.