Dua Puluh

1.7K 110 2
                                    

Waktu sudah menunjukkan hampir petang dan Ayah masih setia menemani serta mengelus pelan pucuk kepala si bungsu yang sedang terlelap hampir dua jam yang lalu setelah mengeluarkan begitu banyak darah dari kedua lubang hidungnya. Kemudian Ayah beranjak menuju ke kamar mandi untuk berwudhu dan akan melaksanakan sholat maghrib di kamar rawat tersebut.

"Ayahhh." Panggil Raka seraya perlahan membuka kedua matanya.

"Iya Dek. Ada yang sakit?" Ayah yang baru menyelesaikan sholatnya itu langsung menghampiri si bungsu. Raka hanya menggelengkan kepalanya saja.

"Ayah mau beresin ini dulu ya sebentar." Ketika Ayah sedang membereskan peralatan sholat yang baru saja dipakainya, seorang suster memasuki ruangan tersebut dan memberikan makanan untuk pasien.

"Makan ya Dek." Perintah Ayah seraya duduk di kursi samping brankar dan hendak meraih nampan tersebut.

Si bungsu hanya mengangguk dan membuka mulutnya untuk memasukkan makanan lembek yang sudah disodorkan Ayah itu ke dalam mulutnya. Satu suap, dua suap.

"Udah Yah, mual." Ucap Raka dengan kening yang mengkerut menahan mual dan jangan lupakan nafasnya yang masih sesak meskipun sudah memakai alat bantu pernafasan.

"Ya udah, minum obatnya ya." Perintah Ayah dan langsung menyodorkan beberapa pil pahit tersebut ke mulut sang anak.

---

Ceklek

Kedua orang tersebut langsung menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang wanita yang usianya hampir kepala tiga namun tetap cantik dengan remaja laki-laki yang akan beranjak dewasa.

"Adek udah makan?" Tanya sang Bunda ketika telah duduk di punggiran ranjang si bungsu.

"Udah, tadi disuapin sama Ayah Bun." Jawab Raka.

"Ayah makan gih, tuh Bunda bawa makanan." Perintah Bunda kepada suaminya.

"Ayah makan dulu ya, sini Mas." Pamit Ayah yang hendak bangkit dari duduknya serta menyuruh si sulung untuk menempati tempatnya tersebut.

"Dek." Panggil Riko.

"Iya Mas."

"Ada yang sakit gak?" Tanya Riko berbasa basi karena sebenarnya ia telah diperintah kedua orang tuanya untuk membujuk adiknya tersebut mengikuti pengobatan kemoterapi.

"Gak ada Mas, adek kan kuat." Jawab Raka dengan memperagakan seolah memamerkan otot-otot di kedua lengannya yang sebenarnya tidak seberapa itu.

"Iya Adeknya Mas ini kuat, tapi Mas minta Adek harus janji kalo Adek bakal sembuh ya?" Pinta Riko.

"Iya, Adek janji bakal sembuh Mas." Jawab Riko yang masih terlihat tenang.

"Kalo Adek janji mau sembuh, Adek harus ikut kemoterapi ya Dek?" Tanya Riko.

Raka yang mendengarnya pun hanya diam dan masih memerhatikan mata sang kakak dengan tatapan sayunya. Sedangkan Bunda dan Ayah yang berada di sana pun hanya ikut diam tak ingin berkata apapun karena sungguh mereka tidak tega jika harus mengatakannya pada bungsu mereka.

"Adek kan kuat, mau ya Dek, katanya mau sembuh." Tanya Riko mengulangi karena tak kunjung mendapat respon dari sang adik.

"Adek takut Mas." Jawab Raka yang sudah meneteskan air matanya.

"Hey kok nangis, jangan takut, ada Mas, Bunda ada Ayah juga." Ucap Riko seraya menghilangkan air mata yang mengalir di pipi sang adik.

Bunda yang melihat si bungsu menangis itu langsung membawanya ke dalam pelukan hangatnya bahkan ia sendiri ikut meneteskan buliran bening itu. Sedangkan Ayah memilih memalingkan wajahnya ke arah lain berusaha untuk menghalau air mata yang jika ia bekedip saja langsung mengalir.

"Dek, jangan nangis nanti malah sesek." Kata Riko yang air matanya sudah menetes dan langsung dihapus kasar oleh tangannya sendiri.

Raka melepaskan pelukan erat tersebut dan memandangi wajah semua keluarganya satu persatu dan ketika ia melihat ke arah kakak satu-satunya itu, Riko langsung meraih wajah sang adik dan membenarkan letak nasal canulla yang sedikit bergeser dari hidung Raka serta memegang kedua pipi sang adik.

Menatap matanya lekat hingga ia bisa melihat jika sang adik menganggukkan kepalanya seolah menjawab 'iya' dari pertanyaan Riko yang memintanya untuk mengikuti pengobatan kemoterapi.

"Makasih Dek, makasih. Mas yakin Adek bakal sembuh, Mas yakin." Riko langsung memeluk tubuh ringkih itu, mendekapnya erat hingga ia merasa tidak mau untuk melepaskannya.

---

"Ayah sama Bunda pulang aja, biar Mas yang jagain Adek." Raka sudah memejamkan matanya dan Riko masih setia mengelus pucuk kepala sang adik yang telah terlelap.

"Tapi nanti kalo Adek kenapa-napa gimana Mas?" Tanya Bunda.

"Kan ada Mas Riko Bun, Bunda sama Ayah pulang aja gakpapa kok. Lagian besok juga Mas kuliahnya siang, siang banget malah habis dhuhur." Ucap Riko meyakinkan kedua orang tuanya.

"Iya deh Mas, tapi kalo ada apa-apa langsung telepon orang rumah ya." Jawab Ayah dan Bunda hanya mengikutinya saja, namun sebenarnya ia tidak ingin pulang meninggalkan kedua putranya tersebut, tapi Riko tetaplah sulungnya yang tidak mau dibantah oleh siapapun.

"Bunda sama Ayah pulang ya, inget kalo ada apa-apa langsung telpon." Peringat Bunda yang baru saja mencium kening kedua putranya tersebut. Sang Ayah juga melakukan hal yang sama seperti istrinya itu.

"Iya hati-hati Yah, Bun." Jawab Riko.

Kedua orang tuanya itu sudah keluar dari kamar rawat Raka. Tersisalah Riko yang masih setia terjaga sembari memerhatikan setiap inci wajah sang adik ketika terlelap.

Lucu. Satu kata itu yang bisa mewakilkan rupa sang adik ketika tertidur. Ia tidak pernah menyangka jika adik manjanya itu bisa memiliki penyakit separah itu.

Riko pun memilih membaringkan tubuh lelahnya di ranjang sebelah Raka dan ikut memejamkan matanya.

Tentang PERGI (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang