4. Menutup Aib

9.1K 385 17
                                    

"Kalian?"

Tidak dinyana Kamila pulang dari toko bunganya. Wanita berwajah lembut itu lekas mendekati kami. Refleks sang suami melepas genggaman tangannya padaku.

"Sayang ... su-dah pulang?" Agak terdengar sumbang suara Kak Sabiru saat bertanya. Aku yakin dia pasti canggung. Ketahuan sedang mendekatiku. Dasar laki-laki brengsek!

"Aku yang seharusnya nanya begitu. Tumben pulang cepet?" tukas Kamila tenang. Sama sekali tidak ada raut cemburu atau sejenisnya. Mukanya tampak datar saja.

"Ya ... pekerjaan udah beres semua. Kebetulan lagi ... emmm sedikit gak enak badan. Jadi ... ya milih pulang awal." Kak Sabiru mengakhiri jawabannya dengan seringai kaku. Aku yakin dia pasti tengah berbohong.

"Begitu? Terus ini kenapa pecahan gelas berserakan gini?" lanjut Kamila. Kali ini dia menatapku.

"Itu ... ada kucing lewat, Mil. Aku lagi minum kaget. Jatuh deh gelasnya," jawabku pelan. Ikut berdusta.

Jarak umurku dengan Kamila hanya terpaut tiga tahun. Namun, tubuh ini lebih tinggi darinya, sehingga banyak yang mengira kalau aku adalah kakaknya. Di bawah asuhan Ayah, pria itu tidak pernah mengajariku memanggil Kamila dengan sebutan Kakak. Sampai kini aku terbiasa memanggil nama saja.

"Oh. Terus kenapa tanganmu dipegang oleh Mas Sabiru?" tanya Kamila selidik.

Tentu saja aku tergagap jadinya. Apa lagi saat mata Kamila menatap intens. Aku seperti tengah diinterogasi.

"Gak kenapa-napa. Tadi Nabila mengeluh jarinya kena pecahan gelas. Aku cuma memeriksa sebentar, " sergah Kak Sabiru menyambar. Lalu terlihat Kak Sabiru menarik tubuh sang istri untuk menghadapnya. "Sayang ... sepertinya aku masuk angin. Tolong kerokin aku, ya," lanjutnya sedikit merayu.

Belum sempat Kamila mengiyakan permintaan, Kak Sabiru sudah terlebih dahulu menarik lengannya berlalu. Meninggalkan aku yang masih terdiam.

"Bila ... tolong beresin pecahan gelasnya!" perintah Kamila sembari terseok mengikuti langkah sang suami.

Lekas kupunguti kepingan-kepingan gelas yang berserakan itu. Hatiku sama hancurnya dengan gelas ini. Hancur lebur. Hanya luka lara yang tersisa.

"Auwww ...."

Aku mendesis lirih. Tak sengaja serpihan beling itu mengenai jariku. Perih terasa. Air mataku menetes saat wajah Zayn yang menawan terbayang di mata. Masih pantaskah diriku mendampinginya kelak? Lalu menggeleng marah, saat wajah Kak Sabiru dengan adegan kebejatannya melintas di mata.

Pria itu benar-benar brengsek. Sudah jahat pandai pula dia berdusta. Aku tak yakin kalau dia setia. Kasihan Kamila. Aku harus membalasnya, tapi bagaimana caranya? Kamila begitu mencintainya. Demikian Ibu, wanita surgaku itu juga sangat menyayangi pria laknat itu.

Setelah memasukan semua serpihan beling itu ke pengki dan membuangnya ke tong sampah, aku kembali ke meja makan. Melanjutkan niat untuk mengisi perut. Namun, baru dua suap nasi bibirku sudah malas mengunyah.

Dengan langkah lunglai aku berjalan menuju kamar. Menjatuhkan badan di ranjang dan kembali menangisi jalan hidup. Kenapa aku jadi secengeng ini? Sebentar-bentar menangis. Padahal aku terkenal sebagai anak yang kuat dan sabar.

Dari kecil hidupku memang sudah dipenuhi drama. Perlakuan dingin Ayah dan kasarnya ibu tiri sudah menjadi makanan sehari-hari. Ketegaranku sudah teruji sejak dini. Namun, di ujian Tuhan kali ini aku merasa kalah. Terenggutnya kegadisan oleh orang yang begitu kuhormati benar-benar menghujam batin. Aku tak tahu sampai kapan bisa menutupi aib ini.

Ponsel yang menjerit di nakas membuatku menghentikan tangis. Nama Zayn tertera di layar. Pemuda itu melakukan panggilan video. Tak mau tahu tengah dirundung duka, lekas kuelap dua sudut mata dengan punggung tangan. Begitu layar ponsel kuusap, wajah semringah Zayn muncul.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang