1. Malam Terkutuk

22.9K 510 9
                                    

Sungguh tiada pernah terbayangkan. Bila kedatanganku ke kota ini adalah suatu kesalahan besar. Begitu jauh aku berlayar dari luar pulau menyeberangi lautan demi bertemu Ibu dan kakak kandung tercinta. Namun, bukan bahagia yang didapat melainkan penderitaan panjang yang tak berkesudahan.

Masih teringat jelas dalam ingatan. Siang itu kala ayah menghembuskan napas terakhir dan baru saja dimakamkan telepon dari ibu bergema. Dia dan kakak kandungku mengucap bela sungkawa. Meminta maaf karena tidak bisa turut hadir melayat karena jarak yang memisahkan.

"Aku sendirian di sini, Bu. Istri Ayah sejak dulu tidak pernah menyayangiku. Aku takut, Ibu." Aku bertutur sedih pada Ibu di telepon. Jilbab hitam yang kupakai saat mengikuti upacara pemakaman Ayah basah oleh air mata yang terus saja membanjiri pipi.

"Sabar, Nak. Nabila anak yang kuat." Terdengar suara Ibu dari seberang menguatkan hatiku. Namun, itu justru memperkuat isakan tangisku. "Bila Nabila merasa kesepian datanglah ke rumah ibu. Tinggallah bersama ibu dan Kamila," lanjutnya kemudian.

Mendengar saran Ibu rasa sesak yang menghimpit dada sedikit terlegakan. Ketakutan akan perangai ibu tiri yang akan semakin jahat padaku setelah Ayah tiada lenyap sudah. Dengan mengangguk-angguk mantap aku mengiyakan permintaan Ibu.

Maka di malam ketujuh kepergian Ayah, setelah acara tahlilan selesai dengan keberanian yang dipaksa aku menemui ibu tiri. Wanita yang sudah menjadi ibu sambung selama empat belas tahun terakhir.

"Ada apa?" tanya ibu tiriku datar begitu melihat diriku memasuki kamar pribadinya. Matanya menatap tak suka padaku.

"Ada yang mau Bila utarakan, Bu." Aku menjawab dengan tenang.

"Apa?" Kembali ibu tiri bertanya.

Dirinya yang sedang berbaring lekas bangkit duduk. Lalu menyuruh anak kandungnya yang tengah memijitinya berlalu dari ruangan. Dengan patuh adik tiri perempuanku menuruti perintah sang ibu.

"Aku ingin tinggal dengan Ibu kandungku," jawabku pelan.

"Kamu yakin?" Mata ibu tiri menatapku intens, lantas tersenyum miring. Sepertinya ia merasa bahagia mendengar niatku. Apalagi saat dengan mantap aku mengangguk. Wanita bertubuh subur itu mengendikan bahu. "Terserah. Kamu sudah besar. Sudah bisa menentukan jalan hidup sendiri," ujarnya dingin. Kembali aku hanya mengangguk pelan menanggapi ujarannya. "Tapi, aku tidak bisa mengantarmu, La," lanjutnya lagi.

"Tidak apa. Aku bisa pergi sendiri," sahutku yakin.

Namun, pada kenyataannya aku tidak pergi sendiri ke rumah ibu. Aku menyeberangi lautan bersama Zayn, kekasih tercinta. Pemuda yang sudah dua tahun terakhir mengisi rongga hidupku. Itu dikarenakan diumur yang sudah menginjak dua puluh dua tahun, baru kali ini aku menempuh perjalanan sejauh ini.

Setelah dua hari tiga malam perjalanan melelahkan itu berakhir. Aku dan Zayn selamat menginjakkan kaki di peraduan mungil Ibu. Sebuah hunian asri yang terletak di pinggiran kota Jakarta.

Orang yang pertama kali menyambut kedatangan adalah Kamila. Kakak perempuanku yang hidup bersama Ibu. Wanita bertubuh mungil nan manis itu memelukku penuh haru. Kami saling terisak dalam dekapan. Lima belas tahun terpisah bukanlah waktu yang sebentar. Wajar saja bila kami saling merindu.

"Ya ... Alloh, Bila. Akhirnya, Tuhan mempertemukan kita," syukur Kamila sembari melepas pelukan. Wanita berhijab merah muda itu membingkai wajahku, lalu merapikan anak rambutku yang menjuntai menutupi pipi. "Ayo masuk! Hey ... siapa dia?" tanyanya kemudian saat menyadari ada sosok tegap di belakangku.

"Dia Zayn." Aku mengenalkan kekasih hati. Dengan sopan Zayn mengulurkan tangan. Namun, Kamila hanya menangkupkan kedua tangan di dada. Ah ... sungguh sholeha kakakku itu. "Dia adalah calonku." Aku berbisik lirih di telinga Kamila.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang