Part 5(Pov Sabiru)

8.4K 434 35
                                    

Semenjak peristiwa kelam itu terjadi, hubunganku dengan Nabila menjadi renggang. Gadis itu tampak sekali membenciku. Selalu menghindar bila aku mendekat. Bahkan berani berkata kasar saat aku beberapa kali mencoba meminta maaf darinya.

"Cihhh ... maafmu tidak bisa mengembalikan keperawanan," cibirnya sinis suatu pagi. Matanya mendelik. Ada amarah pada tatapannya itu.

"Apa yang harus kuperbuat untuk mendapat maaf darimu, La?" tanyaku pelan.

"Pergi ke neraka sana! Baru aku mau memaafkanmu," jawab Nabila terdengar sangat kasar.

Aku tidak marah saat gadis itu berucap demikian. Karena apa yang kulakukan memang suatu kejahatan yang tak termaafkan. Namun, di sini bukan hanya dia yang terluka. Aku pun sama tersiksanya. Setiap hari aku selalu didera rasa bersalah dan berdosa.

Bukan cuma rasa bersalah pada Nabila, tapi juga pada Kamila. Aku sangat mencintai wanita itu. Selalu berusaha untuk membahagiakan hidupnya. Tak bisa kubayangkan kalau nanti dia tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dia wanita yang lembut, tetapi juga rapuh. Kamila tidak sekuat Nabila, baik fisik dan hatinya. Aku takut jiwanya akan terguncang bila aku berterus terang, tapi aku juga tidak mau dianggap pria pengecut. Aku harus menerima segala resiko atas semua perbuatan.

*

Seperti pada saat pagi itu, ketika kami sedang sarapan bersama. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba Nabila mengutarakan niat untuk memilih tinggal bersama Paman Hasan. Tentu saja itu membuat Kamila dan Ibu menjadi heran.

Perubahan sikap yang terjadi pada Nabila, sangat disadari oleh Kamila dan Ibu. Nabila yang ceria dan supel mendadak menjadi pendiam. Dan yang lebih menggangu hati Kamila adalah kasarnya sikap Nabila padaku. Sehingga ia menyimpulkan bahwa Nabila tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

"Aku baik-baik saja. Tidak ada yang kusembunyikan."

Nabila mengakhiri perdebatan dirinya dengan sang kakak. Gadis itu memilih tetap tutup mulut saat Kamila mendesaknya untuk bercerita. Kokoh pendirian Nabila membuat aku semakin merasa bersalah dan kasihan padanya.

Aku ingin berkata jujur, tapi Nabila justru ingin tabir rahasia ini tetap tertutup rapat. Aku memaklumi. Menurutku, gadis itu tidak ingin kakak dan ibunda tercintanya akan terguncang bila kami bicara. Ahhh ... sungguh Bila gadis yang berhati mulia. Rela berkorban walau diri sendiri hancur.

Ketika gadis itu meninggalkan meja makan sebelum sarapannya habis, tiba-tiba tubuhnya terhuyung. Beruntung jarak dudukku tidak begitu jauh dengan langkahnya. Sehingga dengan sigap dapat kusambar tubuh ramping itu. Wajahnya terlihat begitu pucat.

"Bila ... kamu tidak apa-apa?" tanya Kamila dan Ibu bersamaan.

Keduanya mendekat. Kekhawatiran tampak jelas di raut wajah ibu dan anak itu. Sementara Nabila hanya menggeleng lemah. Gadis itu sempat menolak saat tahu aku tengah menopang tubuh lemahnya.

"Apa yang terjadi padamu, Nak?" Ibu ikut menimpali dengan khawatir.

Nabila masih belum juga menjawab. Aku membantu memapahnya duduk kembali ke meja makan. Namun, baru di langkah kedua lajang itu jatuh pingsan.

"La ... La. Bangun, La!" Aku mencoba menyadarkan gadis itu.

"Bawa ke kamarnya, Mas!"

Aku mengiyakan perintah Kamila. Lekas kubopong tubuh Nabila, lalu berjalan menuju kamar pribadinya. Pelan-pelan kurebahkan tubuh gadis itu.

"Sebenarnya apa yang menimpa anak gadisku ini," cemas Ibu Maryam sembari mengelus rambut sang putri.

Tak lama kemudian Kamila datang dengan sebotol minyak angin di tangan. Lekas ia membuka tutupnya dan mulai mendekatkan benda itu ke lubang hidung Nabila. Namun, Nabila belum juga tampak mau membuka mulut. Itu semakin membuat Kamila dan Ibu beberapa kali mendesah gelisah.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang