11. Pernikahan

7.6K 435 31
                                    

Akhirnya, hari itu pun tiba. Masa yang paling kutakutan dan sangat ingin dihindari. Namun, sayangnya aku tak kuasa melakukannya. Sehingga hati hanya bisa berpasrah dan melafadzkan nama Tuhan. Berharap semoga pernikahan ini memang memberi kebaikan kepadaku juga pada janin ini.

Siang itu, Ibu menyewa seorang juru rias untuk memoles wajahku. Sebuah kebaya putih berpayet emas yang sengaja Ibu pesan pada seorang desainer telah melekat di badan. Selendang sutera putih menutupi rambut yang telah disanggul dengan ronce melati. Semua yang kukenakan tampak begitu apik dan tertata. Berkali-kali juru rias dan Ibu memuji kecantikanku. Namun, aku tak bahagia.

Waktu yang cuma sebentar nyatanya tidak membuat Ibu kesusahan mempersiapkan segalanya. Tanpa campur tangan dariku nyatanya dia mampu melakukannya. Segala pernak-pernik pernikahan ini, benar-benar Ibu dan Kak Sabiru yang mempersiapkan. Kadang dibantu Paman juga.

Setelah semua dirasa siap, Ibu membimbingku ke luar kamar menuju ruang tengah. Kami memang sepakat menggelar pernikahan ini di rumah dan hanya mengundang segelintir orang terdekat saja.

Wanita itu mendudukanku bersebelahan dengan Kak Sabiru. Di mana pria itu mengenakan jas dan peci putih senada dengan kebayaku. Perasaan gugup ini membuatku harus menundukkan wajah. Aku tak mampu menatap para hadirin. Rasa takut dan malu ini betul-betul terasa menyiksa.

Acara pun dimulai. Kak Sabiru mulai menghadap Pak Penghulu. Sementara Paman dan teman Kak Sabiru menjadi saksi dalam pernikahan ini. Wali pernikahan adalah hakim karena paman tidak bisa menjadi wali. Dia saudara dari pihak Ibu itulah alasannya.

Dengan tenang dan tidak terlalu lantang, tapi terdengar mantap. Kak Sabiru mulai mengucap janji suci itu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Ghania binti almarhum Abdul Qodir. Dengan mas kawin seperangkat alat salat dan sebuah kalung emas seberat sepuluh gram. Dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?" Penghulu bertanya.

"Sah."

"Sah."

"Alhamdulillah ...." Terdengar Kak Sabiru bersyukur lirih.

Pria itu menoleh. Senyum tipis mengukir di bibirnya. Dia mengulurkan tangan. Aku tertegun, sejenak melirik ke Ibu. Wanita itu memberi kode agar aku membalas jabatan itu. Dengan ragu kuraih tangan Kak Sabiru, lalu mencium punggung tangannya sebagai tanda bakti seorang istri. Sedikit merasa kaget saat pria itu mengecup pucuk kepala sekilas.

"Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a bainakuma fi khair."

Doa para hadirin terdengar seperti lebah yang berdengung di telinga. Sekali lagi aku merasa tak bahagia. Bukan pernikahan seperti ini yang kuharapkan.

Zayn. Dengan dialah aku ingin bersanding. Wajah Zaynlah yang selalu terbayang dalam setiap ingatan. Namanya pun senantiasa tersemat dalam sujud panjangku. Namun, inilah kenyataannya. Detik ini aku sudah sah secara agama dan negara menjadi istri dari Kak Sabiru! Pria yang selama tiga bulan ini sangat kubenci.

Setelah acara pemakaian cincin, penandatanganan surat nikah, dan khutbah pernikahan acara pun usai sudah. Para tamu dipersilahkan menyantap hidangan. Aku sendiri yang merasa begitu lelah bergegas menuju kamar.

Kebaya ketat yang terasa menyesakan ini lekas kubuka. Lalu menggantinya dengan gamis baru pemberian Kak Sabiru beberapa hari yang lalu. Sebenarnya hati ini enggan bila harus memakai barang pemberian pria itu. Namun, Ibu berujar kalau aku harus mulai membiasakan diri bersikap baik padanya. Membuang rasa dendam di jiwa katanya.

Tak berselang lama, juru rias masuk ke kamar. Wanita muda kutaksir berumur awal tiga puluhan itu membantuku mencopoti semua atribut pernikahan. Berkali-kali dia memuji ketampanan wajah Kak Sabiru. Katanya, aku beruntung mendapat suami yang sopan dan bersahaja seperti Kak Sabiru. Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Ahhh ... andai dia tahu kelakuan jahat Kak Sabiru, pasti dia memuja setinggi itu. Setelah mengemasi semua perlengkapan make-up dan pernak-perniknya, wanita itu pamit undur diri.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang