Part 17 (Ibu)

7.4K 856 95
                                    

Kak Sabiru benar-benar memenuhi ucapannya. Perhatian lembut yang biasa kurasakan setiap hari, kini  telah berganti dengan perangai dingin. Sama sekali tidak ada sapa dari pria itu. Kembali jarak di antara kami tercipta. Dan kali ini tidak hanya jauh, tapi ada jurang di tengahnya.

Sepertinya dia sungguh-sungguh tersinggung dengan ucapanku tempo hari. Biar saja! Aku tidak peduli. Semakin dia merasa muak denganku, akan semakin cepat perpisahan kami kelak.

Walau demikian, Kak Sabiru itu pintar sekali berdrama. Di depan Ibu dan Paman, dia sama sekali tidak menunjukkan perangai dinginnya. Seperti tidak ada masalah di antara kami. Dan aku pun melakukan hal yang sama. Tetap mengantar dirinya sampai depan halaman dengan pura-pura memasang senyum manis. Atau menyambut kepulangannya dengan wajah yang berbinar. Seolah sangat menanti kehadiran pria itu.

Jadwal rutin pemeriksaan kandungan pun Kak Sabiru selalu menyempatkan diri untuk ikut mengantar. Walau dalam perjalanan kami saling membisu satu sama lain. Sama sekali tidak ada suara di antara kami. Dia fokus mengemudikan mobil dan aku yang lebih suka membuang muka dengan melihat jalanan. Lalu kami akan kembali memasang wajah semringah di hadapan Dokter Tama. Ahhh ... sungguh memuakan berpura-pura seperti itu.

Sayangnya akting kami dicurigai oleh Ibu. Instingnya sebagai seorang Ibu sangat kuat. Seringnya Kak Sabiru pulang telat dengan melewatkan makan malam, membuat Ibu selalu bertanya apakah kami ada masalah. Ketika baik aku maupun Kak Sabiru menjawab bahwa kami baik-baik saja, Ibu masih tidak percaya. Apalagi saat beberapa kali dia memergoki Kak Sabiru tidur di kamar lamanya. Wanita itu sangat yakin kalau ada sesuatu yang kami sembunyikan.

“Tidak ada apa-apa di antara kami, Bu. Biasa saja. Kami kan memang bukan pasangan romantis seperti pasutri yang lain,” sangkalku meyakinkan. Ketika Ibu mendesakku untuk berkata jujur.

“Iya ibu tahu, tapi kali ini sepertinya masalah kalian cukup serius.” Wanita itu mendatangi kamarku yang masih menyala lampunya. Padahal sudah hampir larut malam. Aku sendiri memang belum bisa memejamkan mata karena tadi siang sudah cukup lama terlekap. “Katakan pada ibu! Apa yang membuat Sabir marah padamu,” cecar Ibu kembali mendesakku untuk bicara jujur.

Aku menghela napas sejenak. Buku yang tengah dibaca kututup segera. Ada jeda. Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Ibu. Berpikir. Baiklah ... sepertinya jujur lebih baik.

“Dia marah saat tahu Zayn memberiku kado ulang tahun.” Akhirnya aku bicara.

“Pasti bukan cuma itu,” tebak Ibu begitu yakin.

“Ya.” Aku menjawab tenang. Ada jeda. “Dia memintaku untuk melupakan Zayn. Dan aku tidak bisa melakukan itu,” lanjutku ringan.

Ibu menggeleng-geleng pelan. Sepertinya dia akan kesal. “Kenapa tidak bisa?” tanya Ibu pelan. Ternyata dugaanku keliru. Ibu tidak marah atau mungkin ... belum.

“Berapa kali aku harus bilang, Bu? Zayn itu cinta pertama sekaligus cinta sejatiku. Aku gak akan pernah melupakan dia.”

“Tapi suamimu adalah Sabir. Berdosa bila saat ini kamu masih memikirkan pria lain dalam hidupmu. Kamu harus menghilangkan nama Zayn dalam hatimu, La,” nasihat Ibu sembari menatapku lekat.

“Jangan paksa aku untuk melupakan Zayn, Bu! Itu sulit.”

“Tapi kamu harus melakukannya! Hargai perasaan Sabir.”

Berganti aku yang menatap Ibu dengan intens. Ada gelenyar lara, saat wanita yang katanya mengandungku selama sembilan bulan itu begitu otoriter memaksaku untuk mematuhi perintahnya.

“Sebenarnya yang anaknya Ibu, aku atau dia sih? Kenapa Ibu selalu memikirkan perasaan dia dibanding perasaanku?” tanyaku dengan mata yang mulai berkabut. Tak lama kabut itu berubah menjadi embun yang menitik di pipi.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang