12. Hampa

7.9K 459 55
                                    

Sejatinya pernikahan itu adalah ibadah terpanjang dalam hidup kita. Penyatuan dua insan yang saling mencintai dan saling mendukung satu sama lain. Berbeda dengan pernikahanku ini.

Biduk pernikahan yang kujalani bersama Kak Sabiru adalah suatu formalitas dan pengakuan status saja. Tidak ada cinta di antara kami. Bahkan hingga detik ini, aku masih saja menaruh kebencian yang teramat pada lelaki itu.

Berkali-kali Ibu dan Paman menasihati agar aku lekas membuang jauh rasa dendam itu. Memerintah pula supaya aku mulai belajar mencintai Kak Sabiru. Walau bibir ini berkata iya, tetapi hatiku menolak. Karena memaafkan kesalahan orang yang telah membuat hidup kita hancur, itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu. Dan entah kapan aku bisa memaafkan kesalahan Kak Sabiru.

Seperti pada pagi hari itu. Setelah tiga hari mengambil cuti untuk pelaksaanaan pernikahan kami, hari ini Kak Sabiru sudah mulai berangkat kerja lagi. Pria itu mandi lebih pagi. Dan aku sama sekali tidak peduli.

Kami memang sudah satu kamar, tetapi masih jarang berbincang. Karena aku sendiri yang sengaja menghindar. Jadi setelah menyelesaikan kewajiban dua rakaat, aku memilih pergi ke luar rumah untuk berolah raga. Membiarkan lelaki itu mempersiapkan keperluannya seorang diri.

Jalan pagi adalah olah raga yang kupilih sesuai anjuran dokter. Di samping simple, jalan pagi juga sangat baik buat persalinan kelak. Karena akan memperkuat otot paha dan panggul.

Setelah mengikat tali sepatu dan merapikan rambut yang tertutup topi, aku lekas menuju pintu dengan semangat. Rasanya sudah tidak sabar ingin menghirup segarnya udara pagi yang belum tercemar. Namun, baru saja akan membuka handle pintu, Ibu memanggil. Otomatis aku berhenti dan menolehnya.

"Mau ke mana?" tanya Ibu mendekat. Matanya memindaiku dari ujung kaki hingga kepala. Mungkin sedikit heran karena biasanya aku jarang ke luar pagi. Apalagi saat melihat penampilanku yang terlihat trandy dengan topi bisbol di kepala, Ibu semakin mengernyit heran.

"Aku mau jalan pagi muterin kompleks, Bu," jawabku pelan.

"Sabir hari ini mulai berangkat kerja kan?" Ibu mengingatkan.

"Iya. Memangnya kenapa?" sahutku santai.

"Astaghfirullah hal azim, Bila," sebut Ibu dengan sambil mengelus dada. "Suami mau berangkat kerja ya diurusin dulu. Siapkan keperluannya, buatkan dia sarapan. Bila perlu bawakan bekal untuk makan siang." Ibu menerangkan dengan seksama.

Melihat aku yang diam terpaku dan tak lekas mematuhi perintahnya, Ibu segera memegang kedua bahuku.

"Sekarang kamu adalah istri Sabir dari tiga hari yang lalu. Dan tugas seorang istri adalah berbakti ke pada suaminya."

Ibu berkata sambil menatap manik hitamku. Mungkin dia berharap lewat tatapannya, aku bisa dan mau melaksanakan segala perkataan dan perintahnya.

"Mungkin kalo suaminya orang lain, aku bisa langsung berbakti. Tapi, ini Kak Sabir. Pria yang setengah mati sangat kubenci, Bu," ujarku getir.

Mendengar itu Ibu tampak tertegun. Dibingkainya wajahku. Hati-hati dia berkata, "Berapa kali ibu bilang, memaafkan seseorang adalah suatu kemulian, Bila. Ridha Alloh akan kamu dapatkan bila kamu tulus memaafkan Sabiru. Ingat, dia adalah ayah dari calon bayimu."

Tidak mau berdebat dengan Ibu, aku mengiyakan perintahnya dengan bergegas kembali ke kamar. Namun, ketika sudah di dalam, aku justru bingung hendak melakukan apa. Kak Sabiru belum juga selesai membersihkan badan. Akhirnya, setelah berpikir sejenak kubuka salah satu pintu lemari yang terdiri dari tiga pintu itu.

Melihat tumpukan baju-baju pria itu. Dua hari yang lalu Kak Sabiru sendiri yang menaruh beberapa pakaiannya di sini. Entah masih tersisa atau tidak busananya di kamar pribadi dia yang dulu.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang