15. Kejutan bag. 1

8.1K 575 37
                                    

Bag. 1

Setelah menempuh perjalanan yang terasa menjemukan bagiku, sampailah kami di peraduan mungil ini. Kembali dengan cekatan Elma membimbingku berjalan. Padahal sudah ditolak halus agar tidak usah melakukan hal itu. Karena aku sudah merasa sehat dan bugar. Namun, gadis itu bersikeras menggandeng lenganku memasuki rumah.

Ibu menyambut kami di pintu rumah dengan semringah. Senyum Ibu semakin lebar saat mendapat kecupan sayang dari Elma. Keduanya begitu akrab layaknya ibu dan anak. Seperti yang sudah-sudah, sikap ceria dan ceplas-ceplos Elma membuat suasana rumah menjadi hangat.

"Tante masak apa?" tanya Elma begitu memasuki ruang tengah.

"Belum bikin apa-apa. Tante baru nyampe rumah setengah jam yang lalu."

"Ya udah aku bantuin, yuk! Lapar nih," ujar Elma sembari mendorong mesra tubuh Ibu menuju dapur.

Aku sendiri langsung menuju kamar diikuti Kak Sabiru. Dengan tenang pria itu memindahkan baju-bajuku dari tas besar ke lemari. Tiba-tiba lelaki itu menghentikan aksinya. Aku bangkit berdiri saat melihat Kak Sabiru memegang sebuah kotak besar berisi semua barang-barang pemberian Zayn.

"Gak usah pegang kotak itu! Taruh balik ke tempatnya," titahku dingin.

"Kamu masih saja menyimpan kenangan tentang Zayn?" tanya Kak Sabiru masih tetap memegang kotak berwarna merah itu.

"Bukan urusanmu!" sambarku cepat sambil merebut kotak itu dari tangan kekar itu.

"Bila, aku tahu hingga kini belum ada cinta untukmu dariku. Tapi, setidaknya tolong hargai perasaanku," pintanya kalem. Aku hanya bisa menggeleng pelan mendengarnya. Tidak bakalan aku mencintaimu, Sabir. Jeritku dalam hati. "Hatiku sakit setiap kali melihat jari manismu kosong tanpa cincin pernikahan kita. Tapi, lebih sakit lagi saat tahu kamu masih saja memikirkan Zayn," lanjut Kak Sabiru dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Ya sudah, kalau kamu merasa tersiksa dengan kelakuanku. Ceraikan saja aku! Gampang kan?" Aku berkata dengan tenang sembari menatap tajam iris hitam Kak Sabiru.

Mendengar perkataan tajamku, loloslah embun-embun di pelupuk mata Kak Sabiru. Ya ... pria itu meneteskan air mata. Namun, dengan cepat segera ia hapus buliran bening itu.

"Gak akan," sahut Kak Sabiru tegas. "Walau sampai kini hatiku juga belum terlalu cinta ke padamu. Namun, aku akan tetap memegang janjiku pada Kamila, yaitu tetap menjadikanmu sebagai istriku." Usai berkata seperti itu, Kak Sabiru melangkah pergi.

Meninggalkan aku yang terbungkam mendengar penuturan tegasnya barusan. Mendadak pipiku telah basah oleh air mata. Hatiku tertohok keras saat mendengar ucapan Kak Sabiru tadi. Ya ... Kak Sabiru tidak pernah mencintai aku. Kasih sayang dan perhatiannya selama ini ternyata bentuk kesetiaannya pada janji Kamila. Sialan! Aku tergugu dalam tangis. Air mata ini semakin deras membanjiri kedua pipi saat membuka kotak kenangan dari Zayn.

Dengan terduduk sedih di ranjang kuamati barang-barang pemberian Zayn. Ada boneka sapi, jepit rambut, dan syal. Ada pula topi yang masih sering kupakai untuk berjalan pagi. Lalu sebuah pashmina cantik berwarna hijau pastel. Kuambil kain halus itu, lantas memeluknya. Berangan tengah memeluk Zayn.

"Kamu cantik kalo pakai pashmina ini, Bil." Pujian Zayn padaku setiap kali memakai kain penutup ini kembali terngiang di telinga.

Zayn ... aku merindukanmu. Sedang apa dirimu sekarang? Masihkah kamu mengingatku? Ah ... aku mendesah lara. Merutuki segala kebodohan diri, kenapa dulu aku harus memutus kontak pemuda itu? Kenapa dulu tidak mencoba berterus terang saja pada dia? Siapa tahu Zayn mau menerimaku apa adanya.

"Bila." Gegas kuusap air mata saat mendengar namaku dipanggil Ibu. "Ayo makan siang! Masakan sudah siap," ajak Ibu di belakangku. Wanita itu tidak masuk kamar. Syukurlah ... dia jadi tidak perlu tahu aku habis menangis.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang