Part 14(Siapa Sabiru Itu?)

9K 566 67
                                    

Darah. Mataku terbelalak kaget saat melihat cairan merah itu mulai menetes membasahi kaki. Sementara perut ini mulai diserang rasa sakit yang teramat sangat. Seperti ada dua tangan yang meremas-remas perutku dengan kasar.

"Ya Alloh ... darah, Bila," seru Kak Sabiru kaget. Ketakutan tampak sekali terpancar dari wajahnya. "Sakit?" cemasnya padaku. Pertanyaan bodoh! Tidakkah ia mendengar rintihanku? Bahkan aku mulai mengerang lara. "Ayo sekarang kita ke rumah sakit!" ajaknya kemudian.

Kemudian tanpa menunggu persetujuanku, pria itu lekas mengangkat tubuh ini. Tergesa-gesa dia berjalan sembari membopongku. Sementara aku semakin merasakan sakit yang luar biasa. Tak kuat menahan rasa lara ini, aku memejamkan mata sembari terus mendesis.

"Bertahanlah, Bila! Kamu kuat." Kak Sabiru menenangkanku.

Namun, aku menggeleng. Rasa sakit ini membuatku berpikir mungkinkah bayi ini akan selamat? Bila tidak, tak apalah. Toh aku juga tidak mengharapkan kehadirannya di dunia ini.

"Sabir ... ada apa ini?"

Di pintu ruang tamu, kami berpapasan dengan Paman Hasan yang baru saja pulang kerja.

"Sakiiit, Paman." Aku menyahuti dengan rintihan.

"Paman, tolong carikan taksi. Nabila habis terpeleset," suruh Kak Sabiru dengan nada khawatirnya.

"Iya."

Kulihat Paman cepat berlari pergi. Sementara Kak Sabiru semakin mempercepat langkahnya ke luar rumah.

"Bertahanlah, Bila." Lagi Kak Sabiru berujar menguatkan. Aku menggeleng lemah. "Kamu harus kuat demi anak kita, La." Kak Sabiru meminta.

"Tapi, sakiiit banget," desisku dengan air mata yang mulai terurai. Rasa nyeri ini membuatku harus kembali memejamkan mata dan semakin kuat melingkarkan tangan di leher pria itu.

"Sabar. Sebentar lagi paman akan datang."

Namun, hingga beberapa waktu lamanya Paman Hasan belum muncul juga. Terdengar Kak Sabiru menggerutu tak jelas karena lamanya Paman Hasan mencari taksi. Pasti ia sangat cemas. Dan seumur-umur baru kudengar pria ini mengumpat kesal. Karena selama ini yang kutahu dia adalah pria kalem yang jarang menampakkan wajah emosi. Tak lama berselang, dengan mata tertutup aku mendengar suara mobil mendekat.

"Ayo, Sabir!"

Terdengar suara Paman berseru dan kurasakan langkah Kak Sabiru berjalan tergesa. Tak lama kemudian, saat membuka mata kami sudah berada dalam sebuah mobil taksi. Dengan Paman Hasan duduk di sebelah sopir. Kak Sabiru menyuruh sopir untuk melajukan kendaraannya ke sebuah rumah sakit terdekat.

Mulutku terus saja merintih. Rasa sakit yang teramat ini membuatku tak sadar mencengkeram kedua lengan Kak Sabiru. Semakin perut ini bagaikan diremas-remas, semakin kuat pula kucengkeram lengan Kak Sabiru.

"Tolong dipercepat lagi, Pak! Kasihan istri saya kesakitan sekali." Terdengar Kak Sabiru memerintah.

"Baik, Pak," sahut sopir taksi.

Kak Sabiru kembali menguatkan dengan mengelus-elus lembut bahuku. Aku yang tengah menahan lara hanya bisa terdiam, saat pria itu beberapa kali mendaratkan kecupan pada kening dan pucuk rambut. Andai dalam keadaan sehat sudah kutampar lelaki ini. Berani-beraninya dia melakukan hal itu. Sayang keadaanku begitu lemah jadi hanya bisa tergolek pasrah saja.

Kemudian setelah beberapa kali Kak Sabiru meneriakkan untuk mempercepat laju kendaraan pada sang sopir, tibalah kami di rumah sakit. Dibantu Paman, Kak Sabiru ke luar dari mobil dan terus mendekap erat tubuhku. Dengan mata yang masih tertutup kurasakan dia berjalan cepat. Terus saja ia melangkah panjang bahkan setengah berlari. Sementara mata ini masih saja terpejam saat ia merebahkan badanku di brankar.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang