8. Kamila sayang, Kamila malang

9K 473 35
                                    

Usai mendengar kabar kecelakaan yang disampaikan polisi, kami bertiga segera berangkat ke rumah sakit. Tadinya Paman melarang aku dan Ibu untuk tidak perlu ikut dulu karena malam sudah semakin larut. Namun, Ibu memaksa. Wanita itu ingin tahu keadaan putri sulungnya. Aku sendiri juga tidak mau ditinggal sendiri di rumah.

Taksi adalah tumpangan yang kami pilih. Didesak rasa kecemasan yang teramat Ibu menyuruh supir taksi untuk mempercepat laju kendaraan. Menurut Ibu, ia tak mau terlambat datang lantas menyesal karenanya. Mendengar itu Paman berujar bahwa jangan berprangka buruk dulu.

"Alloh itu sesuai prasangka hambaNya. Maka berprasangkalah yang baik. Berdoa saja kalo Mila dan Sabir tidak kenapa-napa, Mbak."

"Paman benar. Ibu yang tenang, ya."

Aku menimpali omongan Paman sembari mendekap Ibu dan mengelus-elus bahunya. Ibu mengangguk lemah, tapi raut mukanya masih jelas menampakan rasa kekhawatiran.

Jalanan sedikit lenggang, supir taksi leluasa menjalankan kendaraan. Pria beruban itu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Sehingga kami tiba di rumah sakit lebih cepat dari waktu biasanya.

Pak supir mengucap kata terima kasih saat Paman memberi uang lebih padanya. Setelah mendapat balas anggukan dari Paman, pria itu lekas melesatkan kembali tumpangannya ke jalan raya. Kami sendiri bergegas menuju lobby rumah sakit. Melangkah cepat menuju bagian informasi.

Langsung Paman bertanya pada petugas yang jaga di mana letak kamar Kamila dan Sabir. Ternyata Kamila tengah berada di ruang ICU. Sedangkan suaminya baru saja dipindah ke ruang inap biasa. Itu berarti keadaan Kamila sepertinya lebih buruk dari Kak Sabiru. Hatiku semakin diliputi rasa khawatir. Roman muka Ibu dan Paman pun memancarkan rasa kecemasan.

Bergegas kami menuju kamar di mana Kamila di rawat. Paman dan Ibu masuk terlebih dahulu, sedang aku menunggu di luar. Rasa ketakutan yang teramat membuat mulut dan hatiku tak luput merapal doa. Memohon pada Tuhan agar Kamila dan suaminya lekas diberi pertolongan.

"Bila!"

Aku menoleh ke pintu. Ternyata Paman yang memanggil. Pria itu telah melepas baju khususnya. Dia menghampiriku yang masih setia duduk di kursi tunggu.

"Bagaimana keadaan Mila, Paman?" tanyaku cemas.

Paman Hasan tak lekas menjawab. Terdengar dia menghela napas, lalu menghembuskan perlahan. "Kamu lihatlah sendiri. Sekarang Paman akan melihat kondisi Sabir." Usai berkata seperti itu Paman berlalu.

Tak sabar ingin mengetahui kondisi Kamila, bergegas aku memakai baju khusus, masuk ke ruang rawatnya. Pelan-pelan kubuka pintu. Tampak Ibu tengah duduk sembari mengelus-elus lengan Kamila. Mata Ibu telah basah oleh lelehan air mata. Aku mendekat.

Ahhh ... kasihan Kamila, aku menghirup napas. Dada ini terasa sesak melihat kondisi sang kakak tersayang. Sekujur tubuh wanita itu penuh luka. Perban melilit dahi mulusnya. Hidungnya tertutup alat bantu pernapasan. Beberapa selang juga menancap pada tubuhnya.

Ruangan terasa mencekam. Hanya bunyi alat monitor jantung yang terdengar. Aku dan Ibu sama-sama terdiam. Namun, hatiku terus saja merapal doa. Sepertinya Ibu pun melakukan hal yang sama. Itu terlihat dari mulutnya berkomat-kamit.

Aktivitas itu terhenti setelah mendengar pintu kaca diketuk. Ketika kami toleh ternyata Paman pelakunya. Pria itu memberi tanda agar kami ke luar. Setelah bergantian mengecup pipi Kamila, kami berdua ke luar ruangan.

"Malam semakin larut. Sebaiknya Mbak Maryam dan Bila pulang saja. Biar mereka aku yang jaga," usul Paman begitu kami menemuinya.

"Tidak, San. Aku mau ikut jaga Kamila. Kalo ada apa-apa dengan dia sama suaminya bagaimana? Kamar mereka kan berjauhan." Ibu menolak. Wanita itu memilih untuk duduk di bangku tunggu. "Oh ya bagaimana keadaan Sabir?" tanya Ibu kemudian.

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang