Sup Iga yang Unik

6.2K 352 28
                                    

"La, bangun!"

Sayup-sayup terdengar suara mengalun lembut di telinga. Kuabaikan saja karena rasa malas dan kantuk yang masih bersarang. Namun, suara sayup itu lama-lama bertambah kuat dan terjadi guncangan di badan juga. "Bangun, La! Mau ikut puasa tidak? Ini udah mau jam empat."

Sahur? Seketika aku membuka mata. Tampak Kak Sabiru tengah duduk di ranjang sembari menatapku.

"Jam berapa sekarang?" Masih dengan malas aku bertanya.

"Tuh!" Kak Sabiru menunjuk jam bundar di dinding. Pukul empat pagi kurang lima belas menit. "Masih niat ikut puasa kan?" Kak Sabiru bertanya penuh perhatian.

"Tentu." Aku menjawab dan lekas bangkit duduk.

"Yodah ... lekas ke dapur. Kita buat makanan sahur, yuk! Mumpung belom imsyak." Sebelum baku sempat menjawab pria itu sudah terlebih dulu melangkah ke luar kamar.

Aku sendiri yang masih terkantuk-kantuk bangkit berdiri. Setelah menguap sebentar baru melangkah pelan menuju dapur. Namun, agak sedikit terkejut saat melihat meja makan masih kosong tanpa hidang tersaji. Ada apa? Memang Ibu gak masak sahur?

Sembari berjalan tiba-tiba aku teringat kejadian sore tadi. Saat mau sholat taraweh di rumah, Ibu merasa sakit perut. Dan malangnya itu bukan sakit perut biasa. Ibu terkena diare. Mungkin efek dari kalapnya dia makan makanan berbuka.

Mengingat itu aku geli sendiri. Ibu macam anak kecil saja. Begitu bedug adzan maghrib berkumandang semua makanan ia santap tanpa permisi. Akibatnya perutnya mulas-mulas sampai tengah malam. Kami sekeluarga sampai dibuat repot jadinya. Tengah malam Kak Sabiru harus pergi mencari obat diare. Untung masih ada apotik yang buka. Makanya wajar kami telat bangun begini.

Ketika sampai dapur, tampak Kak Sabiru dan Paman tengah sibuk meracik makanan. Keduanya bahu membahu membuat makanan sahur...

"Eh ... udah bangun, La?" Paman yang menyadari kedatanganku menyapa. Aku mengangguk pelan. "Masih ingin ikut puasa?" tanya Paman sambil mengiris bawang merah.

"Ya dong." Aku menjawab sembari mendekati pria paruh baya itu.

"Orang hamil diperbolehkan tidak puasa jika tidak kuat."

"Insya Alloh aku kuat, Paman," selaku segera. "Sini biar aku yang masak. Paman duduk manis aja di meja makan," lanjutku meminta alih tugas.

"Ya ... sudah. Paman juga masih ngantuk sebenarnya." Pria dengan kumis sedikit memutih itu mundur. Memberi tempat agar aku leluasa melanjutkan tugasnya. "Paman mau bangunkan ibumu," terusnya dengan melangkahkan kaki pergi.

"Ini tinggal diapain, Paman?" Setengah berteriak aku bertanya.

"Tinggal nambah bawang goreng dan garam," seru Paman dari luar dapur.

Dengan menahan rasa kantuk aku menuruti instruksi Paman, yaitu menambahkan garam dan bawang goreng. Dua sendok garam kumasukkan ke panci berisi sup iga ini.

"La, cobain ini!" Kak Sabiru memerintah agar aku mencoba semur ayam buatannya. Aku yang hendak mencicipi sup iga buatan sendiri(maksudnya buatan Paman yang belum rampung tadi. Hihi) terpaksa menundanya. Beralih mencoba sesendok kuah hitam yang disodorkan Kak Sabiru "Enak?" Pria itu bertanya selepas aku mengecap cairan manis nikmat itu.

"Ya. Mantap!" Aku menjawab dengan membulatkan jempol dan telunjuk.

Kak Sabiru tersenyum senang. "Cobain ini juga." Pria itu menyodorkan sepiring udang tepung goreng.

"Pasti enak," sahutku enggan, karena hendak mencicipi sup iga tadi.

"Cobain dulu! Takut ada yang kurang." Kak Sabiru sedikit memaksa.

Aku mendengus pelan, lantas menyomot barang sebiji. Mengigit pelan udang tersebut. "Enak. Krunchi ...." Aku memuji dengan jujur membuat Kak Sabiru melebarkan senyuman. "Bangun jam berapa kamu? Udah siap dua menu?" tanyaku sedikit heran.

"Jam tiga tadi. Masak bareng Paman."

"Oh." Kembali aku hendak mencicipi sup iga.

"Bila ... Sabir ... udah mau imsyak ini." Terdengar Paman berseru.

"Ya, Paman! Ini udah siap." Kak Sabiru yang menjawab.

Tangan pria itu cekatan mengambil nampan, lalu memindahkan mangkok berisi semur ayam dan piring udang goreng ke nampan tersebut. Tak lupa juga dia sekalian membawa sup iga buatanku. Penuh kehati-hatian dirinya menuju meja makan sembari membawa semua makanan tersebut. Aku sendiri mengikutinya di belakang.

"Eh ... Ibu. Udah sehat, Bu? Perutnya udah baikan?" Kak Sabiru bertanya begitu sampai meja makan. Ibu dengan wajah pucatnya mengangguk pelan.

Ketika pria itu menyiapkan semua, aku ikut membantu. Kami duduk berdampingan. Kuambil sepiring nasi untuknya. "Terima kasih," ucapnya manis, lalu segera mengambil sup iga buatanku.

Aku sendiri kembali mengisi piring kosong untuk diisi nasi yang kemudian kuberikan pada Paman. "Bagaimana? Enak supnya?" Aku bertanya saat melihat Kak Sabiru tampak tertegun mengecap kuah itu.

"Eummm ... ya ... enakkk." Kak Sabiru menjawab sambil mengiris. Barisan gigi putihnya tersembul. Aku senang mendengarnya. Kembali kuisi piring kosong untuk Ibu. "Jangan, Paman!" Aku memincing heran saat mendengar Kak Sabiru menghalangi Paman mengambil sup. Pria itu menggaruk kepalanya ketika aku sedikit mendelik ke arahnya. "Anu ... Paman, itu ... aku suka banget sup itu. Jadi ... biar aku habisin sendiri, ya. Kalian makan semur sama udangnya aja," ujar Kak Sabiru dengan sesekali menggigit bibir bawahnya. Aku, Paman, dan Ibu melongo mendengarnya.

"Dasar aneh!" gerutuku sengaja kukeraskan agar Kak Sabiru mendengar.

Benar saja. Pria itu mendengarnya. Dirinya kembali meringis sembari menarik mangkok berisi sup itu tepat di hadapannya. "Maaf ... bukannya kemaruk, tapi ini makanan kesukaanku," ucapnya masih dengan senyuman kaku.

Aku, Paman, dan Ibu diam saja tak menanggapi. Lalu dikarenakan waktu yang sebentar lagi mendekati imsyak, kami berempat makan sahur dengan sedikit cepat. Tidak ada yang bersuara. Kak Sabiru hanya memakan sup iga saja dan sedikit nasi. Sama sekali tidak menyentuh menu lain yang lain. Bahkan dia hanya menyisakan sedikit kuah di mangkok besar itu. Sungguh terlalu!

Kemudian kedua orang tuaku lekas melangkah pergi begitu selesai makan sahur. Meninggalkan aku dan Kak Sabiru yang akan membereskan semua.

"Heran ... memang seumur hidupmu belum makan sup iga?" sindirku sebal.

Kak Sabiru tersenyum kecil dan menggeleng. "Sup buatanmu luar biasa unik. Makanya cukup aku saja yang menikmatinya," jawab Kak Sabiru santai.

Mendengar kata unik seketika hatiku diliputi rasa takut. Jangan-jangan ada yang salah dengan sup tersebut. Maka ketika tangan pria itu mengambil mangkok besar itu, aku menghalangi. Cepat kuambil sendok, lantas mulai mencicipinya. Seketika mataku membelalak mengecap rasa kuah tersebut.

"Unik kan?" Kak Sabiru bertanya dengan senyum yang dikulum.

Aku mengangguk lemah. Ya ... ini sup rasanya unik. Manis banget seperti kolak. Keras aku menepuk jidat. Sepertinya saat terkantuk tadi bukan garam yang kutabur melainkan gula pasir. Terdengar Kak Sabiru terkekeh kecil. Aku menunduk malu.

"Dah ... duduk manis aja, biar aku yang beresin semua."

Kak Sabiru berlalu sembari membawa piring-piring kotor menuju bak pencucian piring. Ah ... pria itu. Dia baru saja menyelamatkan aku dari rasa malu. Coba kalau sup itu sampai dimakan Ibu dan Paman, pasti sampai maghrib nanti Ibu akan terus menceramahiku.

Pelan aku beringsut dari duduk. Berjalan tenang mendekati pria tegap itu.

"Makasih ya," ucapku tulus.

Kak Sabiru menoleh. Tersenyum sembari membulatkan jempol dan telunjuknya.

End

Siapa yang kangen mereka? Novelnya masih bisa dipesan ya😊
Silahkan hubungi nomor wanku ini
081225224075. Selamat menjalankan ibadah puasa semua 🤗

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang