Rindu Ibu

6.3K 329 24
                                    

#Mahkota_yang_Terenggut

Rindu Ibu

Pagi itu ada yang berbeda dengan Kak Sabiru. Usai menunaikan sholat subuh pria itu masih saja bergeming di tempatnya. Lama sekali. Tadinya tak kuhiraukan lepas kami berjamaah bersama, dirinya memilih untuk mendaras al quran. Aku sendiri melangkah ke halaman rumah. Menghirup udara pagi yang masih segar. Pendemi ini menahan keinginannku berjalan kaki memutari taman kompleks.

Melihat Ibu tengah asyik merawat tanamannya, aku mendekat ikut membantu. Kami berbincang ringan. Sementara Paman terlihat mulai sibuk memandikan burung kesayangan. Usai menyirami bunga-bunga, aku dan Ibu menuju dapur untuk membuat sarapan. Kami berniat membuat bubur ayam.

Satu jam berlalu. Bubur ayam, cakue, dan sate puyuh telah terhidang di meja makan. Saatnya menyantap makanan. Paman sendiri sudah duduk tanpa perlu dipanggil.

"Tumben dari tadi Sabir belum kelihatan batang hidungnya. Memangnya dia tidak masuk kerja?" Ibu bertanya . Tangannya sibuk menuangkan bubur ayam dari mangkok besar ke mangkok Paman.

"Sebentar aku panggil dia."

Aku bangkit berdiri. Berjalan pelan menuju kamar pribadi. Ketika kubuka pintu tampak Kak Sabiru masih setia duduk di atas sajadah panjang berwarna merah. Matanya terpejam dengan kedua pipi yang basah. Ada pigura dalam dekapannya.

Pelan aku mendekat, lalu duduk di sampingnya. "Ingat Kamila, ya?" tanyaku lirih.

Kak Sabiru membuka mata. Menoleh sejenak ke arahku, lantas lekas menghapus air matanya dengan pungung tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih setia memeluk  frame kecil itu.

"Ya ... ini ramadhan pertamaku tanpa dia," sahutnya lirih dan parau. Sepertinya dia habis menangis lama. Dan untuk kedua kalinya aku melihat dia serapuh ini. Pertama kali adalah saat dia kehilangan Kamila. Dirinya sangat mencintai Kamila. Jadi wajar kalau dia bersikap melankolis seperti ini. Aku memaklumi. "Dan ... ini tahun ke dua puluh ramadhan tanpa ... Ibu," lanjut lirih. Kembali butiran bening itu luruh di kedua pipinya.

"Sama ... ini pun ramadhan pertamaku tanpa Ayah dan Mila." Suaraku pun terdengar tergetar karena tiba-tiba  saja ada rasa rindu yang teramat sangat  menyerang dada.

Terdengar Kak Sabiru membesit hidung yang sepertinya mampat akibat tangisnya.

"Hari ini ... jika ibu masih ada, usianya tepat menginjak angka lima puluh tahun." Kak Sabiru memberi tahu.

"Lima puluh tahun?" Aku mengulang ucapannya dengan nada bertanya. Setara dengan Ibuku rupanya.

"Ya ... ibu melahirkanku di usia muda. Dua puluh satu tahun." Kak Sabiru bertutur seraya menyodorkan pigura kecil yang sedari ia dekap. Aku terkesima. Gambar seorang wanita muda berparas manis dengan anak kecil berusia sekitar sembilan tahunan. Garis mukanya mirip sekali dengan Kak Sabiru. Ternyata aku salah kira. Kukira dia mendekap fotonya Kamila. "Beliau masih sangat muda saat dipanggil Tuhan. Tiga puluh tahun." Kak Sabiru menjeda ceritanya. Mendongak ke atas. Seakan mencegah agar bendungan air matanya tidak kembali runtuh. "Aku belum sempat ... belum sempat ... mengucap kata maaf dan terima kasih saat ia menghembuskan napas terakhir," lanjutnya lirih dan tertatih. Pertahanannya sia-sia. Pria itu kembali menitikan air mata.

Kemudian tanpa diminta meluncurlah kisah dari bibirnya. Siang itu, dua puluh tahun silam. Saat umur Kak Sabiru baru sembilan tahun, tiba-tiba dirinya dijemput ibu Kiara yang notabene adalah tetangganya di sekolah dengan wajah yang murung. Walau ibu Kiara tidak memberi tahu alasan apa sampai dia dijemput, tapi Kak Sabiru bisa menduga kalau ada sesuatu hal buruk yang telah terjadi pada ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit.

"Dan benar saja begitu sampai rumah ... jasad Ibuku sudah terbujur kaku," tutur Kak Sabiru tersedu. "Padahal ... pagi harinya, beliau baru saja menisahati agar aku terus rajin belajar ketika membesuknya sebelum pergi ke sekolah," lanjutnya menunduk dengan mata yang semakin basah. "Tak kusangka ... tak kusangka ... itu terakhir kalinya aku berbincang dengan ibu." Kak Sabiru tergugu. Bagai anak kecil pria itu memeluk kedua kaki. Membenamkan muka basahnya pada lulutnya.

Aku iba melihat itu. Namun, karena bingung tak tahu cara menenangkan, akhirnya hanya bisa mengusap bahunya pelan.

"Memang ibumu sakit apa?" Hati-hati aku bertanya.

"Tekanan batin." Kak Sabiru menjawab masih dengan wajah yang tersembunyi.

"Tekanan batin?" Aku penasaran.

Kak Sabiru mengangkat wajahnya. Pelan dia mengangguk.

"Apa yang membuat ibumu tertekan?" Kembaliaku bertanya.

Kak Sabiru membuang muka. Menghirup oksigen banyak-banyak. "Ayahku," jawabnya dengan semakin parau.

"Memang ... apa yang dilakukan ayahmu pada ibumu?" Aku yang tertarik mendengar kisah itu semakin penasaran.

"Banyak ... yang pasti dia telah menyakiti hati aku, ibu, dan juga kakek."

"Oh." Aku menyahut pendek. Tak mau lagi mengupas. Namun, rasa kepo terus saja menggerogoti pikiran. Mumpung suasananya pas. Kapan lagi aku bisa menggali informasi tentang keluarga Kak Sabiru yang cenderung penuh misteri itu. "Emmm ... kalo boleh tahu, apa ayahmu masih hidup?" Akhirnya terlontar pertanyaan itu dari bibirku. Kak Sabiru menatapku. Mengangguk tenang untuk menjawab. "Di mana sekarang?" Aku semakin berani bertanya.

"Jauh ... di pulau sebrang."

"Apa kalian masih sering berhubungan?"

Kak Sabiru menggeleng. "Bahkan di hari ibu dikebumikan, dia tidak hadir."

"Kenapa?" Aku terharu kaget mendengarnya.

"Entah ... hingga detik ini kami belum pernah bertatap muka lagi." Walau berusaha tegar saat berbicara, tapi aku yakin Kak Sabiru tengah meredam emosi kesedihan yang mendalam. "Pria yang kejam." Aku terhenyak saat mendengar Kak Sabiru mengumpat pelan. "Dia pikir ... hidupku cukup hanya dijejali uang saja," lanjutnya getir.

"Maksudmu?" Aku semakin tak paham apa maksud ucapannya.

Kak Sabiru menatapku sejenak. Ketika melihat aku memincing, dia menggeleng pelan. "Sudahlah ... tidak usah lagi mengingat lelaki jahat itu!" suruh Kak Sabiru bangkit berdiri. "Hari ini aku mau mengunjungi makam Kamila dan Ibu. Kamu mau ikut?" Kak Sabiru bertanya sembari mengulurkan tangan.

Aku meraih tangan itu untuk bangkit berdiri. "Ya."

"Ya ... sudah, aku pergi mandi dulu."

"Ya, kami menunggumu untuk sarapan," ujarku.

Kak Sabiru mengangguk. Kembali menghapus sisa-sisa air mata di pipi. Kemudian kami melangkah ke luar kamar. Dia menuju kamar mandi, sedang aku ke meja makan.

Fin.

Siapa yang kangen Nabila, Sabiru, dan Zayn? Novelnya masih bisa dipesan ya. Tapi ikut pengiriman kloter kedua. Yuk yang mau tau tentang seluk beluk Sabiru bisa kepoin novelnya dengan menghubungi nomer wa ku 082226806109. Ato marketer di bawah ini. Lav yu oll😍😘

Daftar Marketer Ketje

1.SUMATRA
Lia Musanaf
WA http://wa.me/062811667783

2. JAWA TIMUR dan BALI
Novie Purwanti
WA : http://bit.ly/Dodolanè-Novie

3. JAWA TENGAH
Ida Nur Awaria (Melayani kiriman ke Hongkong dan Taiwan)
WA : wa.me/6282134665558

Elin Khanin
Wa.me/62085292915308

4. KALIMANTAN
Nur Saridah
Wa: https://bit.ly/2HaXSEm
0852 4609 6642

5. JABODETABEK dan JABAR
Umi Choirul Hidayah
Wa : wa.me/6285779649713

Mey Shofiyah
Wa : wa.me/6282258125569

6. Sulawesi Tengah

http://bit.ly/Salmiati_QyAnOlshop
7. Sulawesi selatan

Andi Anis Magfiroh
085298906091

Mahkota yang Terenggut (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang