End of An Era

14.7K 2.3K 294
                                    

"Ayolaaaaah!" Dimi setengah menarik badanku dari kasur.
"Dimboy, males gueee aaaaah...", aku menarik ujung ranjang, bertahan mati-matian. Tapi tentu saja gagal. Yang kulawan adalah kakakku yang berbadan mirip petinju, dengan kekuatan kurang lebih serupa.

Aku terjatuh ke lantai berkarpet, sementara Dimi menyeringai puas. Ditambah kepalanya yang gak berambut dan wajah penuh aura keculasan, dia cocok banget jadi mafia.

"Gue malessss," jawabku, berdiri dan menggosok-gosok lenganku yang pertama menghantam lantai.

"Tau. Tapi acara Dania belum selesai, cuy," ia menimpali, membuka koper yang kubawa dan mulai mengacak-ngacak isinya. Kelakuannya gak berubah sejak kami kecil dulu. Gak ada banget respect sama barang dan keinginan seseorang. Dimi always get what he wants. Ia mengeluarkan beberapa pakaian dengan asal dan melemparnya ke kasur.

"Nih. Pakai baju. Gue tungguin sambil boker," ia berkata sebelum masuk ke kamar mandi.

Habis acara siang, aku tidur siang, lanjut ngemil dan santai-santai di kamarku, melihat-lihat berbagai foto bunga yang dikirim fotografer...sampai Dimi datang jam 19 malam. Aku tau banget dia bakalan tetap menyeretku pakai piyama ke party-nya Nia kalau perlu, jadi aku akhirnya mengambil pakaian yang sudah kusiapkan dari dalam koper.

***

Salah satu hal yang kupelajari dari Ibu adalah skincare routine nya yang super simpel dan efektif. Berkat kebiasaan baik ini, mepet-mepet banget aku cuma perlu nyisir dan lipstikan ke kondangan supaya keliatan agak rapi. And I did, few times before. Thanks to the no-makeup-makeup trend.

Malam ini pun, aku cuma menyisir dan menjepit rambut, pakai lipstik merah, dan mengenakan LBD andalan. Karena seharian pakai lensa kontak, my glasses are back on.

"Nah. Lumayan...," Dimi komentar, keluar dari kamar mandi.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk. Aku masih sibuk memasuk-masukkan barang ke clutch yang akan kubawa.
"Siapa, Nyi?"
"Orang sebelah kali..."
Mengingat yang tau kamarku disini adalah orang-orang yang gak pernah mengetuk pintu, besar kemungkinan itu...penghuni kamar di samping, atau depan.

Dimi tidur-tiduran sambil buka handphone.
Dan ketukan itu terdengar lagi. Lebih keras.
Kami saling berpandangan.

"Buka, sih. Ini kan kamar lo...", Dimi mengedikkan bahu. Malas, aku melangkah ke pintu.

"Hi, Nika. Maaf, aku baru bisa free barusan, jadi ga sempat ke akad nikah..."
Anditya. Flesh and bones. Aku menahan nafas saat melihatnya. Dia adalah orang terakhir yang ada di pikiranku, bakalan datang ke nikahan Nia. Meskipun dia punya undangan dan bahkan seragam.

Ia berhenti bicara. Dimi sudah berdiri di belakangku.
"Siapa?" nyaris bersamaan, keduanya bertanya.

"Ditya, ini kakakku, Dimitri," aku buru-buru berkata.
"Kak Dimi. Saya Anditya," Ditya langsung berubah ramah, menyalami Dimi yang terlihat bingung. Tapi ia sambil cengengesan iye-iye aje.

Kami bertiga jalan menuju venue pesta malam, sambil basa-basi singkat. Dimi masih gak ngeh kalau Ditya ini pacarku dan terlihat bingung.
Kebingungan yang sama muncul di wajah lebih banyak anggota keluarga, saat aku mengenalkannya.
Duh. Tanpa bisa kucegah, aku membandingkan reaksi keluargaku tadi pagi ketika aku menggandeng Elio, dan saat ini.

"Kamu marah sama aku?" akhirnya, Ditya dan aku duduk di salah satu meja yang terisi beberapa orang sibuk berponsel-ria. "Kan aku sudah bilang kemarin-kemarin, kalau sempat, aku datang. Aku udah di sini, lho. At least give me an appreciation."

"Thankyou for coming," jawabku sambil minum.

"Aku gak terima ya diginiin," Ditya berkata pelan, "Aku gak tau kamu cerita apa sama keluarga kamu. Yang jelas, mereka kelihatan gak suka aku di sini. I don't feel like I'm belong here. Ini nih yang aku kuatirin selama ini, kenapa aku ragu-ragu untuk ketemu keluarga kamu. Kan? Kejadian kan? Hhh... Harusnya aku gak kesini sekalian. Udah jauh, capek, sampai sini dicuekin, dijudesin..."

Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang