Opening Night

11.9K 1.7K 131
                                    

Aku terbangun gara-gara ketukan super keras dan beruntun dari pintu depan. Butuh waktu lebih lama dari biasanya untukku bangkit dan berjalan, tapi tamuku gak berhenti mengetuk.
Tebakanku Dania. Atau Dimi.

Aku membuka pintu dan berdiri di depanku, adalah Rini.
Belum sempat aku membuka mulut, dia sudah melayangkan tamparan super keras di pipiku.
It really wakes me up.

"That, because I thought you're dead already. I called you for days." Rini melangkah masuk ke dalam rumah, melewatiku begitu saja.
Ia duduk di sofa dan menepuk tempat di sampingnya. Aku menutup pintu dan duduk di sebelah Rini. Seperti biasa, dia terlihat flawless, dan tercium kayak habis mandi di parfum mahal.

Ia menepuk pipiku.
"Tell me the truth. I always know you can be dumb, but you're not a liar."
Aku memutar mata.
"Keep rolling your eyes. You might find your brain there," ujarnya sinis. Tapi aku ketawa untuk pertama kalinya dalam...berapa lama aku begini yak?

"Did you really meet Ren in Raffles?" Rini menatapku tajam.
Aku mengangguk.
"How?"
"Gak sengaja. Gue nginep di sana nemenin Dania..."
Dan mengalirlah cerita itu. Sebagian orang hanya tau sebagian dari kisah hari itu. Aku cerita semuanya pada Rini. Dia mendengarkan dari awal sampai akhir, tanpa bicara, hanya memandangiku dengan bitchy resting face-nya yang ikonik.

Aku pamit ke kamar mandi sebentar, lalu mengambil minum untukku dan Rini, dan kembali duduk di sebelahnya.

"How are you?" Ia bertanya.
"Surviving," jawabku, mengangkat bahu.

"Today is the opening day," Rini berkata. Opening day... Oh right. Pameran Ren. "I'll get you ready and we'll go there."
"No."
Rini gila. Aku ke pameran Ren itu semacam legitimasi kalau aku emang ada apa-apa sama dia.

"I'll get Elio there, you can tell him the same, exact story you told me before. You can fix this."
"Gak bisa. Aku udah janji sama Nia, dan perjanjiannya jelas banget: Elio dan suaminya gak boleh tau. It's a Sister Sacred Secret."

Rini menggelengkan kepala, "I love you, but you're stupid. And we're still going...after we cut some of your ugly hair."

It's amazing what kind of power Rini had over me. Dia menarikku ke kamar mandi, sementara ia membongkar lemari.
Dia menyiapkan pakaian di atas kasur: jeans dan kemeja oversized hitam...wait, it's Elio's. Aku gak bisa menahan air mata sambil memakainya, dan Rini masuk kamar, membawa ponselku di tangannya.

"You have hundreds thousands messages. Hundreds missed-calls..."

"Did Elio call me?" Aku bertanya, berharap, sedikiiiiittttt...aja.

"Bitch, please. Elio got cumlaude from Mizzou, worked for Al Jazeera, and now he's an aspiring journo in the cpuntry. He's smart. He wouldn't call any of his exes. At all."
I am now one of his exes.

"Stop crying. We're going, now." Ia menarikku keluar kamar, menuju pintu depan.

***

First stop: Roger's.
Dengan alasan biar aku bangun, aku nyetirin mobilnya Rini menuju Bandung, langsung ke salon yang selama ini cuma kulewati begitu saja. Seringnya, sambil komentar dalam hati: yeaaa...I won't waste my money there.

Tapi trus aku masuk, langsung digiring ke tempat cuci rambut, ke kursi potong, dan 40 menit kemudian, punya potongan rambut baru yang...TOTALLY WORTH THE PRICE.
Damn.

Sebelumnya, rambutku berpotongan lurus, seringnya diikat kuncir biar gak berantakan, kubiarkan panjang sampai tengah punggung. Gara-gara tindakan impulsif memotong rambut geje beberapa hari lalu, bentuknya jadi parah banget. Akhirnya si mas stylist memutuskan untuk memotongnya sedikit di atas bahu, dengan layer dan poni panjang.

Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang