Inside Your Closed Arms

12.9K 1.9K 74
                                    

Setelah pembukaan dan art performance selesai, kupikir suasana akan jadi lebih kalem. Apparently, the party just started. Galeri berubah menjadi mirip lounge, dengan musik berdentam dan lampu warna-warni. It's New Year's Eve anyway. People are expecting every place to party 'til the sun comes up.

Sejujurnya, aku capek. Kurang tidur bermalam-malam, cuma makan sedikit, butuh udara dan malas beramah tamah lebih lanjut sama orang banyak. Dimi dan Fifi mampir, tapi harus lanjut ke rumah orangtua Fifi di Kelapa Gading. Teman-teman eks-kantorku datang dan kami seru-seruan sebentar, tapi harus pulang duluan karena ada yang masuk shift pagi, dan ada yang belum tidur sejak kemarin. Ganis juga ada, dia datang sendiri, dan sekarang sudah gabung dengan banyak orang yang jadi teman barunya.

Dania datang gak lama sebelum tengah malam, tanpa Gerry. Kami berpelukan lama banget, dan ngobrol di luar setelah keliling.

"Gue gak tahu kalau...Elio bakalan pergi gitu aja. Gue juga gak tahu kalau lo sempat ketemuan ama Ren di Raffles. Maafin gue, Nyi. Should I call him and explain things?" ia bertanya dengan mata berkaca-kaca.

"Gak usah. Gue juga belum berusaha hubungi Elio lagi sejak waktu itu. Gue masih speechless. Gue marah karena dia gitu amat sama gue. Tapi gue tau, gue salah...."

"Lo bisa cerita semuanya ama Elio. Gak seharusnya gue minta lo jaga rahasia gue, Nyi..."

"Why, then?"
"Why, what?"
"Why you should make everything a secret? And, from your own husband."

Dania menghela nafas dalam-dalam. Kami duduk di depan taman tempat patungku berada. Dibandingkan suasana hingar bingar di dalam galeri, area outdoor ini terasa seperti oase dengan udara Jakarta tengah malam yang agak kalem dan berangin.

"I've told you. Gue gak mau ngeduluin Dimi sama Fifi. Gue juga gak siap punya anak. Tapi Gerry pengen banget, dan semua orang kayak maksa gue buru-buru hamil beranak...", Dania mulai menangis, "I hate that marriage makes me losing my choices, my freedom, my whole life, and myself..."

Aku mengusap-usap pundak Dania yang mulai sesenggukan serius. Dengan Dimi dan Denias, well...mereka senang banget setelah menikah: ada yang ngurusin, temenin, sayang-sayangin... Little did I know that for women, marriage could mean a different state of life. Well. A new life indeed.

"I hate him!" Dania berkata, setengah berseru, "I hate our so-called modern smart house! Gue benci dia masih ninggalin piring kotor, handuk basah, sampah snack dan baju-bajunya digantung di belakang pintu. Living with him, sucks, Nyi! It suuucks...!"

Well. Aku cuma bisa memeluk adikku terkecil itu sambil menepuk-nepuk punggungnya. Masalahku, gak ada apa-apanya sih dibanding urusan rumah tangga. I mean, when you're dating, you still have chances to go and meet other people. When you got married, you've made vow. With God. That's tough.

Dan tiba-tiba, Rini muncul di hadapan kami.

"Hi, I heard you hate your husband. Me too." Ia berkata cepat, menarik kami berdiri dari bangku taman ke arah gerumbulan semak-semak.

Kami berdua, gak paham apa-apa, tapi ngikutin Rini sambil bingung.
"Rini," ia menyalami Dania asal, sementara kami berdesakan di balik dedaunan. Nia memandang Rini shock, masih bengong.

"He's here!" Ia berbisik tertahan.
"Who's here?" Aku dan Nia bertanya sama-sama.
"Elio!"
"Lo bilang dia gak bakalan datang!" Aku panik. Aku seneng sih dia datang. Tapi aku gak siap. Aku belum mikirin mau ngomong apaan!
"Ssssssshhhtt, there he is!" Nia berbisik.

Elio berjalan ke arah taman, sendirian, pakai ransel, dalam seragam liputan. Dan dia semacam bukti kalau hidup gak adil: he still looked good. Selama seminggu penuh, aku kangenin, bayangin, nangisin, mimpiin dia, dan sekarang dia berdiri beberapa meter dariku. Looking gorgeous like always.

Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang