Closer, Inside

15K 2.3K 102
                                    

Aku membuka mata dan mendapati diriku terbaring di sofa. Kedip-kedip sebentar, aku baru ingat kalau ini adalah ruang tengah rumah Eyangku, aku gak mesti kerja hari ini, dan...

Elio! Astaga. Aku buru-buru bangkit dari posisi tidurku di sofa. Dan seperti dikomando, sosok itu muncul dari dapur, membawa dua mug di tangannya. Kalau ada kompetisi #IWokeUpLikeThis tentu dia yang menang. Elio sudah membuka sweaternya yang tebal, kini cuma pakai kaos bertuliskan Jethro Tull Big Fan punyanya Dimi (karena Denias badannya super slim) dan training pants abu-abu.

"Kita ketiduran disitu semalam," ia duduk dan memberiku mug berisi teh panas manis. Aku menyesapnya pelan-pelan.
"Aku lagi buat French Toast. Sebentar ya," Elio menyimpan gelasnya di meja dan bergerak balik menuju dapur.

Baru kurasakan handphone-ku bergetar dalam saku sweater. Alarm buat rangkaian bunga untuk ulangtahun narsum, besok. Bisalah ya, aku kirim via pos aja.

Aku masih gabung di grup apartemen ternyata...dan banyak mention untukku, tapi males banget kubaca. Ada chat dari teman-teman kantor. Kebanyakan nanya tentang foto, gosip resign, kepo soal Elio. Malas amat.
Di grup keluarga, Dania mengirim foto lagi siap-siap snorkeling. Asyiknya.

"Any news?" Elio kembali, membawa sepiring besar french toast--roti celup susu dan telur yang dipanggang di atas wajan. Wanginya enak, bikin lapar.

"Aku sudah ditanya-tanyain orang-orang tentang resign dan foto kita kemarin...", jawabku.
Ia duduk di sampingku, minum sambil merangkulku mendekat, "Separah itu ya?".

Tanganku mengambil potongan roti, dan makan. MY GOD.
"Elio! Enak banget!" komentarku.
Dia tersenyum lebar, dengan muka super bangga, menatapku makan sampai potongan ketiga.

"Kamu gak makan?" Lama-lama gak enak hati juga, masa aku yang habisin sarapan kami.

"Aku masih penasaran soal kantor. Keliatannya aman-aman aja sih di grup whatsapp-ku," ia menjawab.
Ya mungkin ada grup lain yang khusus membahas kita, yang tentu saja gak bakalan mengikutsertakan kamu, Elio.

"Hmmm...okay...", aku membuka satu-satu chat orang-orang.

"Mas Dio ngomel, bilang gak approve resignku. Anak sekred ngerasa belum dapat instruksi tambahan soal kerjaan yang kutinggal. Tim riset nanyain tentang isu nikah diam-diam..."

"Ke aku gak ada yang tanya apa-apa, lho." Elio berkomentar.

"Ya, gak ada lah. You're the better person of this story. Kamu gak resign, jabatan kamu di kantor oke, fans kamu banyak. And you're the eye candy. Orang-orang pasti tanya ke aku, 'kok bisa?' karena mereka pikir it's impossible for a girl like me to hang out with someone like you," jawabku, "No worries. Besok kamu akan ngantor dan gak bakalan ada yang ngungkit apapun soal ini."

Kami sama-sama diam setelahnya. Karena Elio tahu banget yang aku bilang betulan akan kejadian. Orang-orang pasti akan mengabaikan kalau dalam masalah kemarin itu, ada dia juga. Itu semacam kenormalan yang terjadi saat lo kece: people tend to understand you instantly.

"So...", aku memulai.
"So, what are we doing today?"
Rabu pagi. Di desa. Sama Elio.
"So many!"

***

Memang gak semua orang betah sih, menghabiskan sepanjang waktu mereka denganku berkegiatan di rumahnya Eyang. Biasanya nih, sehari dua hari, saudara dan sepupu-sepupuku masih ada yang ngikut. Hari ketiga sudah sibuk lain-lain. Hari kelima, sudah bolak-balik kota karena bosan.

Habis sarapan, nyuci dan jemur baju, aku dan Elio pakai boots karet lalu jalan-jalan pagi. Mengunjungi rumah Teh Wati yang setia jagain rumahnya Eyang selama ini, lalu ke bukit besar dengan pemandangan kota, bunga-bunga liar dan ilalang. Setelahnya, aku ke kebun Eyang. Ada banyak tanaman sayur dan bunga yang juga dirawat suaminya Teh Wati. I love checking them one by one, and talk to them. Aku petik beberapa bunga, tomat, kubis dan cabe rawit.

Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang