The Unwanted(s)

12.7K 2.1K 83
                                    

One of the worst feelings, is unwanted. Especially when you're being good this whole time.

I don't get my heart broken by Ditya because he doesn't love me. It's because I feel he always make me an option.

Tonight it gets so clear: I was never even an option. I'm just a pass-by.

***

"Cuy..."
"Hmmm..."
"Nyinyi, bangun."
Aku menarik selimut hingga menutupi kepala. Nia menyibaknya, dan aku terpaksa membuka mata.

Nia berdiri di atasku, sudah rapi dalam setelan kerjanya. Semua jendela sudah dibuka, sampai seakan-akan sinar matahari yang menyilaukan masuk dari semua celah.
Aku bangun sambil menyipitkan mata.
"Gue harus ngantor bentar lagi. Gerry udah cabs. Gue harus kasitau lo tentang cara kunci rumah...", ia mengulurkan gelas berisi minuman hangat.

"Gue cabut juga deh," aku bangun dari posisi tidurku di sofa dan minum susu coklat yang diberikan Nia.

Adikku terakhir ini lagi mondar-mandir di ruang tengah, mencoba beberapa sepatu.
"No, no, no, stay. It's okay. Gue cuma perlu kasitau lo kalau rumah gue ini ada alarmnya di beberapa titik..."
Dania as always gak peduli dan lanjut nyerocos soal pin dan tempat mana aja yang mesti dimasukin pin berbeda untuk apa aja.
Aku memandangi rumah kecil Dania dan Gerry. Mereka bangun rumah millenials yang minimalis dan punya fitur smart-house sebelum nikah. Jadi gak butuh kunci, cuma handphone, dan basically ini rumah buat orang bossy abis. Bisa mati-nyalain semua alat elektronik, termasuk ngecek isi kulkas. Uber cool. Perks of having a techno mogul as your in laws, I suppose.

"I'm outta here."
Aku menghabiskan isi gelas dan bangkit, sadar diri gak bakalan bisa sukses menghafal semua pin dan passwords dan langkah-langkah ngunci rumah super modern Dania.

"Lo mau kemana?"
"Balik lah."
"Are you okay?" Dania mengerutkan kening padaku.

Semalam, betulan hujan deras banget dan sempat terpikir untuk ke rumah Ibu. Tapi terus aku masih pengen pulang karena lagi galau. Tapi lalu di jalan banjir dan akhirnya aku tidur di sofanya Nia.

"Gak papa gue, cuma semalem ngeri mesti terobos banjir aja. Malah gue khawatir ama rumah Eyang sekarang...", jawabku, mengambil kunci mobil, "Thanks yaaa. Gue balik dulu."

"No problemo," Dania mencium pipiku, "Take care."

Back to the road!

***

Empat puluh menit kemudian, aku sampai di halaman. Dan nyaris kena serangan jantung demi melihat mobil Elio parkir di depan rumah.

Shit.
Aku meraih tasku (yang kutinggal di mobil semalaman) dan mengambil ponsel. Belasan panggilan tak terjawab, semuanya dari Elio.
Ia menungguku di depan pintu rumah, kedua tangan terlipat, wajah serius dan ekspresi mau ngomel panjang lebar.

Aku berdiri di hadapannya, masih amazed dengan kehadirannya sekarang. Jam 7.30 pagi, di teras rumahku.
"I've been worried sick..."
Aku memeluknya sebelum ia lebih banyak ngomel.

"Maaf Elio. Maaf ya. Maafin aku ya...", ucapku, menenggelamkan diri di dadanya. Perlahan kurasakan kedua lengannya memelukku balik. Elio menempelkan pipinya di puncak kepalaku, sebelah tangan mengusap rambutku perlahan.
And everything feels better instantly.

"Aku masih mau ngomel sama kamu," ia berkata pelan.
"I deserve it," jawabku pasrah.

Elio melepas pelukannya dan memandangku, "I got distracted with this dress," ia mengakui sambil cemberut.

"Aku nginep di Dania. You were right, tadi malem hujan deras, banjir dan aku baru selesai jam 22.30..."
Bilang gak ya kalau aku ketemu sama Ditya?

"We should've had this conversation on the phone last night, Dani."

Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang