Curiosity...Will It Kill A Girl?

11.5K 1.6K 69
                                    

Aku masih speechless, berdiri di samping tempat tidur dan memandangi dokter menggerak-gerakkan alat di atas permukaan perut Nia.

Sebuah TV besar menampakkan gambaran USG di depan kami. Gak ada apa-apa di sana.

"Ibu, sepertinya belum ada apa-apa. Akhir-akhir ini sedang stress?"

Kudengar Dania menghembuskan nafas lega.
"Banget. Dok, kasih saya KB dong, kalau gitu."

"Nia, seriously?" pekikku gak percaya.
Adikku terakhir ini mengangguk mantap.

"Ada beberapa pilihan, Bu. Pil, suntik, susuk..."
"IUD, Dok. Saya mau IUD. 5 tahun."
"Boleh. Tunggu sebentar ya...", Dokter berjalan menjauh dan memberi instruksi pada perawat.

"Nia! Lo beneran? I mean, come on..."
"Nyi! I'm serious. I'm not ready for any baby. Not with my new job. Not with Gerry being so busy. Not with...", ia menghela nafas, "Dimi and Fifi trying so hard, for all these years..."

Ah. That's why this is become Sister Sacred Secret.

"Not even Elio and Gerry will know this story, okay?" Dania memperingatkan. Aku mengangguk.

"My body. My way." Dania. Always got everything she wants, always got them her way.

"Wait. Jadi lo mau pasang KB gak bilang-bilang laki lo sendiri?"

Dania memutar mata, "Yaiyalah. Makanya gue minta anternya sama lo, dan bukan dia."
Tapi bisa kulihat dia memang sudah super lega, tau belum waktunya punya anak. She even had her attitude back.

"You owe me big time for this."
"I got us room on Raffles. With spa vouchers. While I'm doing my seminars, you can use them."

Aku menghembuskan nafas.
Ga ada spa bisa memulihkan latihan jantung barusan. Beneran deh.

"I thought you're dying, you, stupid, stupid monkey..." sekarang aku kesal dan melempar guling kecil ke mukanya, lalu jalan ke depan meja dokter. Duduk lagi di sana.

Aku meraih ponselku untuk pertama kali. Mungkin gara-gara kepencet atau apalah, dia masuk ke silent mode.
Astaga. 17 missed calls. Elio.
Aku tentu saja gak terpikir untuk ngabarin dia.

Aku buru-buru menelpon balik.

"Dani, please. You're not answering the phone is driving me crazy..." adalah jawaban Elio saat menerima panggilanku di detik kedua.

"I'm so sorry, baby. I'm just...chilling." Aku menjawab. Chilling apaan. Yang ada aku habis nyetir kayak kesetanan super panik antar kota-antar provinsi.

"Oh...", Elio masih judes.
"Aku lagi di jalan. Mau ke spa. Karena aku pikir seharian ini gak bakalan ada yang main ke rumah, jadi aku jalan sendiri. Gak sengaja aku aktifkan silent mode. I'm clumsy and I have old phone."

Ia menghembuskan nafas.
"Kamu bisa, kan, kabarin aku dulu. Just text me. Or call. Leave a voicenote..."
"Maaf, Elio sayang."

Dia diam. Duh. Malesin deh kalau udah begini. Kudengar si bu dokter sudah masuk lagi ke balik tirai tempat Dania berbaring.

"Aku baru selesai interview. Masih di Istana Bogor sih. Kayaknya akan pulang agak sore, karena kami masih ambil sequence. Besok aku mesti ngedit di kantor. Will you be okay staying alone in Bandung?"

"I'll be fine. Minggu depan aku kan ke Jakarta, nanti aku nginep apartemen kamu."

"Oh right! For the workshop with Ren!" suara Elio mendadak terdengar lebih bersemangat.

"And the Jakarta date night!", tambahku sok ceria.
We started dating after I moved to Bandung. We never had any date in Jakarta. Not the proper one. Aku merencanakan date night di Jakarta, dan Elio is super excited. Di Bandung kami banyak menghabiskan waktu di rumah: berkebun, baca buku, jalan-jalan kaki ke bukit, lalu ke kota cari makanan. Mostly, sama keluargaku.

Bloom Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang