Guilty pleasure bagi Emil selain keripik kentang dan cokelat adalah es krim. Tak tanggung-tanggung, double scoop serta soda float bisa dihabiskan dalam satu jam.
Pertama kali Gia mengetahui hal itu saat mereka berjalan-jalan di Emporium Pluit, menggenggam cup berisi es krim rasa pilihan masing-masing. Gia masih menyisakan setengah scoop, Emil langsung mengajaknya ke Sour Sally.
Di sanalah senyum di bibir Gia terkulai maklum. Ia mulai mengenali kebiasaan Emil sedikit demi sedikit.
"Yang, tolong pilihin topping-nya dong." Ujar Emil bernada agak manja, menarik perhatian Gia untuk melihat-lihat menu board.
"Kiwi sama leci aja, mau? Kamu belum makan buah hari ini." Usul Gia, lantas dikonfirmasikan Emil kepada petugas kasir.
"Oke. Kiwi sama leci ya, Mbak. Pake almond juga."
Nurut amat, masnya?
Kembali menelusuri setiap lantai di sebuah mall dekat rumah Gia, baik Emil mau pun Gia antusias melihat-lihat display setiap toko yang mereka lewati. Walau cup es krim Gia telah terbuang, Emil secara sukarela membagi frozen yogurt-nya beberapa suap sampai Gia merasa cukup.
"Kamu nggak mau beli novel baru?" Telunjuk Emil mengarah pada toko buku di depan, dijawab gelengan dan senyum Gia.
"Novel dari kamu pas awal kita ketemu aja belum selesai kubaca, Mil. Kapan-kapan aja."
"Eh, siapa tahu ada yang baru dan lebih bagus lagi. Nggak apa-apa, Gi, lihat dulu aja."
"Nggak usah, Mil.."
"Eit, masa' aku aja yang seneng malem ini? Gantian dong. Yuk."
Sulit mengelak saat Emil menarik pergelangan tangan Gia, mengarungi dunia literasi bersama.
"Ehm.. Emil," sela Gia saat sepasang mata sang kekasih bergerilya mencari bacaan yang tepat. "Aku sebenernya nggak pengen beli buku baru. Serius."
Lelaki itu menoleh bingung. "Terus?"
"Hehe.. aku mau lihat-lihat stationary kit lucu aja sih, lumayan buat inspirasi isi tokoku. Boleh, ya?"
"Lho, yang bilang nggak boleh siapa, sayang? Ayo."
Tuhan, andai Gia dapat menyusuri jalan tak bernestapa, dan Emil adalah destinasi berharganya, sungguh.. ia tak dapat mengungkap hal selain rasa syukur membumbung jauh ke atas awan.
"ATK kamu masih lengkap?"
Suara Gia terdengar samar, berhubung Emil berkonsentrasi menatap cara Gia menyingkirkan anak rambutnya ke belakang telinga. Terpesonakah ia?
"Emil."
"Hah? Iya, apa?"
Decak geli Gia sontak meronakan wajah Emil. "Tuh kan, bengong lagi.. perlengkapan kamu di kantor masih ada, nggak? Butuh correction pen, tinta pena isi ulang, atau apa?"
"Ada semua kok. Tenang aja."
Hampir setengah jam mereka berkeliling, Gia memutuskan untuk membeli sepasang pena couple berwarna merah dan putih, mumpung ada penawaran diskon.
"Nggak usah, aku aja." Tahan Emil tatkala Gia hendak menyerahkan kartu debit, diganti oleh sejumlah tunai dari dalam dompet Emil untuk membayar.
"Makasih, kamu mau aku beliin apa?"
Inilah salah satu faktor mengapa Emil semakin hari semakin menyukai Gia.
There must be take and give action, means best feedback of her.
"Cobain brown sugar boba milk tea, mau? Penasaran. Orang-orang di kantor termasuk Nira, suka pesen kalo habis rapat. Seenak apa sih?"
"Oohalah.. kamu belum pernah?"
"Memang kamu udah?"
"Kelihatannya?"
"Belum."
"Ya udah, bareng kalau gitu."
Selama Emil menggamit lengan Gia menuju tempat minuman kekinian yang dimaksud, selama itulah Gia tak ingin kemesraan ini janganlah cepat berlalu.
Sama seperti lirik lagu kesukaan papa dan mamanya di tahun 1988.
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...