12

443 58 5
                                    

"Assalamu'alaikum, Giaku. Makan, yuk!"

Dua kantung plastik besar diangkat Emil tinggi-tinggi ketika memasuki toko, melebarkan senyum Gia meski terkejut. Ada angin musonkah, penyebab Emil tidak berada di kantornya pukul 12.40 WIB ini?

"Dibilangin nggak usah jauh-jauh ke sini. Ngapain sih?" Gia mengeluh kecil, menghampiri sang kekasih.

"Emang nggak boleh makan bareng pacar sendiri?"

"Bukan gitu. Kamu dari kantor ke sini tuh.. astaga, Emil.. kejauhan."

"Kata siapa aku dari kantor? Aku habis anter mama kok."

"Kok nggak ngantor? Nganter Ibu Sesil ke daerah mana?"

Cengiran Emil semakin mengembang biakkan curiga di hati Gia.

"Sengaja. Kerjaanku buat hari ini udah beres semalem, tinggal tunggu komando pimpinan atas aja kalo ada yang kurang. Mumpung lagi bebas, nggak ada salahnya berbakti sama ibu suri ke Pondok Indah, sekalian ngapel ke tempat kerjamu. Hehe.."

Rona pipi memerah Gia mengundang Emil agar mencubitnya pelan, dan tentu saja dilakoni, mengeluarkan siulan jahil dari para pegawai toko.

Emil sih senang saja, tak memikirkan perasaan Gia yang terlambung melayang.

"Ya udah, kamu langsung ke ruanganku aja dulu. Nanti aku nyusul." Suruh Gia tak tahan.

"Eh, sebentar."

Empat kotak makan food grade ditata dan diletakkan Emil di atas meja kasir.

"Aku udah beliin makan siang buat karyawan kamu ya, Gi. Di luar mendung banget, kasihan kalau nanti mereka kejebak hujan dan susah balik ke toko." Jelas Emil kepada Gia.

Sebentar, pegawai hanya tiga orang, mengapa Emil menyediakan empat macam?

Sebelum semua orang bertanya, Emil buru-buru melanjutkan kalimatnya.

"Itu ada nasi sama ayam kremes. Ayamnya paha utuh semua buat tiga porsi. Nah, satu lagi tuh isinya dim sum. Dibagi-bagi, ya. Ayo, Gi."

"Terima kasih banyak, Pak Emil, Bu Gia!"

Ketiga karyawan muda itu berseru senang, melukiskan senyum tulus Emil dan Gia yang berlalu naik ke lantai dua.

"Kapan gue bisa punya kisah cinta seenak Pak Emil sama Ibu Gia..." salah satu di antaranya berucap, diangguki setuju oleh lainnya.

Yang tanpa disadari, ditertawakan keras oleh Emil dan Gia setelah menutup pintu ruang kerja gadis bergaun terusan merah jambu itu.

***

"Kamu terlalu cheese cake buat aku yang klepon, tahu nggak?"

"Jadi manusia itu harus peka, Gia. Mereka selama ini udah banyak bantu kamu di toko, digaji layak sama kamu, nggak ada salahnya aku menghargai kesetiaan mereka untuk tetap berada di bawah kepemimpinanmu. Coba kalau nggak ada mereka... tepar kamu, Yang, urus tempat segede gini sendirian."

Sejenak, Gia terperangah.

Cintanya sedang terjalin dengan seorang malaikatkah? Mengapa lembut sekali perasaan lelaki kesayangannya itu?

"Emil, kamu..."

"Dari tadi ngomong terus, nggak laper gitu, Yang? Aku beliin mie ayam bangka yang di deket Baywalk Mall itu, lho. Kesukaanmu, kan?"

"Astaga, Emil!! Kamu jalan dari jam berapa?? Itu jauh banget!"

"Keluar rumah sih jam tujuh pagi. Yaa.. sambil jalan-jalan, cari makan deh buat kita. Gimana? Oke, kan?"

Dengan telaten, Emil memindahkan isi kotak makan ke dalam mangkuk beling yang Gia sediakan. Tak lupa, ia menuangkan seluruh kuah untuk dirinya sendiri ditambah sambal saja, dan setengah porsi kuah plus sedikit kecap untuk Gia.

Mereka berdua kemudian menikmati hidangan siang itu, tanpa dirisau cakap tak berarti selama kurang dari lima belas menit.

"Aku nggak tahu mau bilang apa, selain terima kasih banyak untuk semuanya hari ini." Kata Gia sambil menggigit pangsit rebusnya. Ternyata benar-benar enak!

"Sama-sama, sayang. Aku juga seneng, kita berdua masih bisa sempet ketemu kayak sekarang." Balas Emil tak kalah sumringah. "Toko rame, Gi?"

Jeda beberapa detik terjadi kala Emil menunggu Gia menelan.

"Biasa aja. Cuma ada satu reservasi bingkisan seserahan via offline pas sebelum kamu dateng."

"Oh ya? Isinya apa aja?"

Tawa kecil Gia menguar. "Ih, Bapak kok pengen tahu banget, ya?"

Reaksi Emil hanya mengangkat bahu, meneruskan mengunyah makanan, hingga Gia pun semangat bercerita.

"Kalau nggak salah nih, ya. Ada satu set kosmetik, baju kerja, gaun pesta, sepatu, dompet, tas, parfum, perlengkapan mandi, sama perhiasan."

Kepala Emil terangguk paham. "Mahal ya, Yang?"

"Kelihatannya sih bermerek semua pas tadi aku cek. Ada kali di atas 15 juta."

"Gia,"

"Apa?" Sahut wanita muda itu cuek, perlahan menyedot es teh manisnya.

"Kamu sendiri pengen seserahan apa dariku?"

Subhanallah.

Mendadak dan tiba-tiba macam tahu bulat saja bapak kepala koordinator divisi accounting tampan ini.

"K-kok.. kamu nanya gitu, Lio?"

"Lho, bukannya sebagai pihak laki-laki harus tahu kebutuhan calon mempelai wanita?"

BUKAN ITU MAKSUD GUE, SETIAWAN!!

"Terserah kamu aja."

Suara Gia hampir tak terdengar, mendekatkan telinga Emil ke arah bibir mungil berwarna soft peach itu.

"Apa, Gi?"

"Ya, terserah kamu mau kasih aku seserahan apa aja, asal nggak memberatkan kamu dan keluarga."

Giliran Emil menertawakan kegugupan Gia.

"Maksudku, kamu mau merek barangnya apa? Terus selain keperluanmu dari kepala sampe ujung kaki, ada special request, nggak? Kamu mau aku cari itu semua sendiri atau ditemenin sama kamu sekalian?"

Mampus kau, anak bungsunya Pak Dani.

"Nggak tahu, belum kepikiran sampe situ." Jawab Gia akhirnya, saking tak sanggup meneruskan.

"Fine. Sekarang kamu udah tahu kan, Gia?"

"Tahu apa?"

"Aku nggak akan pernah lepasin kamu."

Emil menaikkan ujung alis, membuat Gia menimpuk wajah tampan itu dengan sebuah bantal duduk di sampingnya.

"Bodo ah! Habisin mie kamu dulu, baru kita ngomong lagi!" Tegas Gia, terlanjur malu setengah mati.

Sungguh, menggoda si gadis pujaan merupakan penambah rasa terbaik bagi Emil dalam menjalani weekdays-nya yang bagai neraka jahanam.

Walau pun tak ada setitik niat bercanda terselip di sana, mengungkap sirat tipis bahwa Emil pantang mempermainkan perasaan Gia, berharap seluruh niat suci itu akan terwujud tepat pada masanya.





***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang