"Ibu Sesil sakit, Kak, dirawat di Siloam. Kakak udah tahu?"
Tangan Gia berhenti mengoleskan Nutella ke atas selembar roti gandum, menatap kaget sosok mama yang memberitakannya pukul setengah tujuh pagi ini.
"Mama tahu dari mana kalau mamanya Emil masuk rumah sakit?"
"Papa kan tukeran nomer HP sama papanya Emil, semalem dikasih tahu. Kasihan mereka, anak-anaknya di luar negeri semua."
Terpekur tanpa nafsu, Gia meletakkan spreader ke atas piring, menyerahkan botol selai cokelat itu kepada Nicky yang ikut mengambil setangkup roti.
"Kakak mau jenguk sebelum buka toko deh, sekalian bawain oleh-oleh."
Mama tersenyum. "Nggak apa-apa, Kak?"
"Nggak, Ma. Kunci toko dibawa pegawai Kakak kok, nggak usah khawatir kesiangan. Kakak bisa pergi bolak-balik naik busway kayak biasa." Ucap si gadis menenangkan.
"Titip salam Abang ke orang tua Emil, ya." Kata Nicky.
"Siap, Bang."
Hanya di pagi hari, kedua saudara itu terlihat akur. Sepulang kerja kelak, pasti genderang perang berebut remote TV dan lauk masakan mama akan kembali ditabuhkan Nicky dan Gia.
"Ya udah, habisin sarapan kalian. Mama tinggal belanja dulu ke tukang sayur di depan, ya?"
Sepeninggal mama, kecemasan mendera Gia. Sehari sebelumnya, ia memang belum mengontak Emil sama sekali.
Apakah Emil sudah mengetahui hal ini? Akankah pria itu kembali kemari?
Sampai sebuah kunci Honda New CRV dilemparkan Nicky ke atas meja, Gia tersentak dari lamunan singkat.
"Apaan nih?"
"Kunci mobil lah. Ya kali tiket Premiere XXI."
"Kakak tahu, siapa juga yang bilang itu cincin kawin." hela napas Gia memberat. "Maksudnya, kenapa dikasih ke Kakak?"
"Udah pake aja sih, Kak, nggak usah kebanyakan nanya. Di dashboard juga ada Flazz, udah Abang isi saldonya kalau nanti kamu lewat jalan tol."
Wadidaw, perhatian sekali tuan muda Danantri ini. Sepasang mata Gia bahkan berbinar memukau memandang terang kakaknya.
***
"ICU, Sus??" Suara Gia memekik rendah di hadapan seorang perawat, saat menanyakan keberadaan mama Emil di meja resepsionis.
"Betul, Bu. Silakan ikuti koridor sebelah kanan, nanti Ibu bisa temukan papan penanda ruangannya di mana."
"O-oke. Terima kasih, Suster."
"Sama-sama, Ibu."
Langkah kilat Gia, ekspresi wajah tergesa, seringkali mensugestinya agar tetap berpikir positif, dan tidak bertindak gegabah.
Sesampai di ruang tunggu, tepat di depan pintu besar unit bersteril itu, Gia mendapati sosok yang dihormati dan disayanginya mendorong keluar pintu tersebut, diiringi wajah-wajah lain yang sama pucatnya.
Ada apa ini? Sebenarnya apa yang telah terjadi?
"Om Dewa!" Gia memanggil akrab papa Emil dan Denaya, mencium tangannya.
"Nak Gia? Kamu ke sini sama siapa?"
"Sendiri, Om. Gimana kabar Ibu Sesil? Kenapa bisa ada di ICU, Om?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...