*Emilio's Point of View*
Katanya Once sama Ahmad Dhani sih.. cinta bukan sekedar kata-kata, buaian, belaian, peraduan, melainkan ruang dan waktu.
Mereka pasti juga tahu, cinta adalah hal paling menyiksa. Bayangkan.. bagaimana harus mengatur kasih, sayang, rindu, welas, memberi, dan menerima, di kala kadang tak bisa melawan keadaan bertarung dengan benci, amarah, dan dusta. Sulit? Tentu.
Tapi bagi gue, cinta adalah satu dan nggak tergantikan.
Aquilegia Danantri.
Nama yang nggak pernah absen setiap habis shalat wajib dan sunnah, pengaruh mood gue sejak jemput mama pulang dari restoran saat itu, sekaligus alasan utama gue nggak boleh putus asa dan semangat bekerja keras.
Dua tahun coy, gokil sih gue rasa. Ya kali gue udah mau rencanain nikah sama pujaan mimpi, eehh.. bagian pusat minta gue stay di Canberra.
Dan entah kapan bisa pulang ke Jakarta.
Andai itu namanya bukan Canberra tapi Cianjur, serius.. gue rela pulang ke rumah saban weekend, demi bokap, nyokap, dan Gia.
Ya udahlah ya, namanya udah jadi bubur ayam dan cuma bisa dinikmati. Yang penting gue masih sayang sama Gia.
Sejauh mata memandang.
Seluas bumi terhampar.
Sebiru langit membentang.
Seindah matahari bersinar.
Selama itulah cinta gue terhadap Gia senantiasa dibaur lapang.
***
Kadang gue bingung sama konsep jodoh, di mana dulu pernah Cakra jabarkan kepada istrinya, Nira.
Kebetulan, gue nggak sengaja nguping pas mereka obrolin itu di pantry kantor.
Salah satu konsep itu adalah, kita nggak bisa memilih dengan siapa dan di mana kita berjodoh. Apakah dia dari keluarga berada atau bukan, berpendidikan atau bermodal pengalaman hidup, bagaimana pun fisiknya.
Yang jelas, ketulusan dalam sebuah perasaan itu mutlak, ketika jodoh yang dimaksud mampu menemani jalan usia kita hingga ujung waktu.
Asek.. kayak lagunya Sheila On 7, ya kan?
Oke, lanjut.
Kenapa gue bingung? Soalnya gue nggak menemukan setulus apa perasaan gue sama Gia.
Sebelum kalian semua cap gue sebagai fakboi, kalian harus tahu. Nggak semua cowok pandai mengungkapkan apa yang mereka rasakan ke pasangannya.
Masalahnya begini, bruh. Gue nggak tahu apa yang gue lakukan selama ini tulus atau nggak. Gue cuma takut kehilangan Gia, gue berusaha supaya Gia nyaman sama gue dan sebaliknya, gue pun nggak menuntut Gia harus menjadi cewek feminin pada umumnya.
Gue tahu, gue belum sepenuhnya bisa mewujudkan diri gue seperti apa yang Gia mau. Tapi gue sadar, gue bakal jadi papa dan bokapnya Gia. Suatu hari, tanggung jawab keluarga ada di tangan gue, nggak lucu kalau gue jadi cowok pengecut yang banyak bangsatnya.
Maaf-maaf aja, gue bukan Jesse.
Untungnya, Gia jarang banget kayak cewek lain yang suka teriak-teriak di mobil kalau kita pas lagi jalan. Contohnya..
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...