"Gia,"
"Hah? Iya, Mil?"
"Kok nggak dimakan? Nggak enak?"
Tangan kanan Gia lalu memutar gulungan mie menggunakan sumpit, memaksakan diri mengisi tenaga walau terasa sangat hambar dan menyedihkan.
Sisi diri Emil berkata serupa. Ia bahkan tidak terlalu tertarik dengan US prime rib di piringnya, lebih sering memperhatikan Gia yang tidak menampakkan ekspresi cerah sejak meninggalkan rumah.
"Enak kok. Makasih kamu udah ajak aku ke sini, aku baru tahu ada tempat makan seenak ini di Jakut. Sayangnya aku nggak gitu laper, hehee..."
Beruntungnya Emil, senyum indah itu belum hilang.
"Sebenernya aku juga nggak laper banget, tapi kalau nggak makan, kita berdua bisa sakit. Nanti kena omel orang tua, ya kan?" Kata Emil, diangguki oleh Gia. "Kamu mau nonton film apa?"
"Pengen nonton Beauty and The Beast sih.."
Layar ponsel di tangan Emil siap digerakkan cepat agar dapat memesan tiket online, namun...
"Tapi nggak deh, kapan-kapan aja. Aku pengen jalan-jalan dulu sama kamu, boleh?"
"Ya masa' nggak boleh? Mau mampir ke apartemenku sekalian?"
Jidat Gia tertepuk pelan. "Aduh, iya! Deterjen, karbol, shampoo, sama mentega udah mau habis, ya? Eh, nggak usah nonton kalau gitu. Kita belanja kebutuhan kamu aja, gimana? Astagaa.. hampir aja aku lupa!"
"Ya udah. Habisin dulu makanannya, terus ke supermarket. Oke?" Emil mengujar tenang, mengusap punggung tangan bebas Gia di atas meja.
Sekali saja, Gia ingin membiarkan dirinya egois, pura-pura tidak melihat pop up message dari Kelsie yang terus bermunculan ketika ponsel Emil dan miliknya diletakkan berdampingan di dekat hiasan lilin menyala.
Segelas matcha milkshake dinikmati Gia, saat ponsel Emil menggetarkan panggilan dari sang wanita kedua.
Mode buang muka dilakukan Gia begitu Emil terlihat tak mampu mengontrol raut wajah khawatir dan gugupnya.
"Angkat aja, siapa tahu penting." Suruh Gia lembut.
Siapa tahu ini adalah hari terakhir kita bisa bersama, bukan?
"Maaf. Sebentar, Gi." Suara Emil yang melemah ditanggapi senyum tipis Gia.
Semakin merasa berdosa diri Emil setiap kali telah mengukir rasa sakit pada gadisnya itu.
"Halo, Kel."
"Emil, kamu di mana? Jadi makan malam di rumahku, nggak? Udah ditunggu papi sama mami nih dari tadi. Kalau jadi, kita makan duluan. Biar pas kamu ke sini, tinggal ngobrol aja."
"Ah, ehmm.. sorry, Kel. Aku udah makan, kalau aku besok Senin baru bisa ke sana aja habis pulang kerja, gimana?"
"Yah.. kok gitu? Papi cuma ada waktu hari ini, Mil. Senin depan tuh papi berangkat ke Makassar. Ini mumpung keluargaku lagi pada ngumpul, lho. Bukannya bagus kalau bisa bahas rencana pernikahan kita secepet mungkin?"
Gia tidak tuli.
Suara speaker Emil memang sengaja disetel cukup keras agar Gia tidak curiga dengan siapa Emil berbicara, ketika mereka memutuskan berpasangan dan menelurkan komitmen.
Suasana restoran tempat mereka bersantap pun hanya diisi empat meja di segala penjuru, terkesan sepi dan jauh dari hiruk pikuk luar, sehingga Gia dapat menangkap jelas perkataan wanita bernama Kelsie itu.
Kini, Gia dan Emil saling tatap.
"Halo, Emil?"
"Maaf, Kel. Aku nggak bisa dateng malem ini, salam buat mami sama papi kamu."
Transmisi diputuskan sepihak.
"Emil, mending kita pergi sekarang. Takutnya macet di jalan." Usul Gia sembari membuka dompet, lalu memanggil seorang server yang bertugas. "Mas, minta bill-nya, ya?"
Server itu mengiyakan dan melangkah ke kasir, memunculkan tanya bagi Emil tatkala Gia mengeluarkan sebuah kartu platinum.
"Sayang, simpen aja, biar aku yang bayar. Kakeknya Cakra udah ngutus aku buat gantiin posisi cucunya di kantor. Soalnya, Cakra pengen banget jadi guru buat anak angkatnya, si Laras. Heran itu bocah satu, dikasih fasilitas dan keuntungan di perusahaan, eh.. malah dikasih ke gue." Cerita Emil lancar, membuahkan tawa ngakak Gia.
"Ahahahah! Masa' sih? Selamat ya, pacarku, semoga kamu bisa jaga amanah itu dengan baik. Jangan tambah stres, dinikmati aja semua prosesnya."
Genggam erat tangan Gia sepertinya memancarkan aura berbeda. Di samping ucapan tulusnya, terdapat keinginan terpendam agar Emil jangan pernah melepaskannya.
"Terima kasih banyak, Gia. Semua itu berkat doa kamu juga, aku bisa sampe di sini."
Tentu, Emil pun tak henti merapalkan maaf dalam hati. Entah Gia mengerti atau tidak, tapi Emil berjanji pada dirinya sendiri untuk segera meredakan badai perasaan ini, berharap berakhir penuh keikhlasan.
"Gia,"
"Iya, Mil?"
"Kalau kamu mau pukul, tampar, siram aku, apapun itu, silakan. Aku terima. Aku emang pantes dapet itu semua. Aku bakal lebih rela kamu begitu daripada kamu terus baik sama aku, dan pura-pura nggak tahu apa yang terjadi di antara kita."
Terkesiap, situasi yang jauh dari elak realita melingkari pilihan hati Gia.
Haruskah diselesaikan sesuai saran papa?
Masihkah pantas semuanya dipertahankan?
"Jangan pikir pelampiasan emosi itu adalah yang terbaik, Emil."
"Tapi, Gi.."
"Sshh.. udah, aku nggak apa-apa. Mending sekarang kita beli dulu keperluan kamu, terus baru ke apartemen. Gimana?"
"Aku minta maaf, Gia."
"Nanti aja jelasinnya, gih bayar dulu. Udah selesai makan, kan?"
Sepeninggal Gia melangkah keluar dari restoran dan menunggu Emil selesai membubuhkan tanda tangan di atas struk, setetes tangis pilu hadir mengiba merajuk asa.
Sedih dilarung sesal bukanlah kemauan Gia ketika Emil akan jujur padanya suatu hari nanti. Hanya saja, ada satu hal yang belum dapat Gia mengerti.
Mampukah lelaki itu bertindak bijaksana dalam memilih?
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...