*Emilio's Point of View*
Selesai mandi dan makan malam, kuputuskan untuk menyalakan laptop demi mengecek dan membereskan pekerjaan yang sama sekali tidak kusentuh seharian.
Menunggu di ruang pribadi Gia, PUBG-an, tidur, minum kopi, dan makan cemilan sampai toko tutup merupakan aktivitas gaji butaku demi meluruhkan racun dalam pemikiranku di usia setengah abad ini. Biarlah, toh Cakra mengizinkanku. Dia malah mengkhawatirkanku, bersyukur bila aku hari ini diurus Gia.
Entah bagaimana dapat kujelaskan betapa beruntung diriku memilikinya.
Yang jelas, akhir tahun lalu, mama meminta tolong padaku menjemputnya di restoran kawasan Mega Kuningan. Karena restoran tempat beliau hendak membelikanku dan papa makan malam ternyata tutup. Sesampai di sana, mama ternyata menungguku bersama seorang gadis berparas manis, berpenampilan simpel dengan kemeja lengan pendek dan celana pensil panjang hitam plus flat shoes biru muda.
Gila, ini hari bidadari jatuh dari langit apa gimana?
"Emil, ini teh Gia. Tadi dia nemenin mama nungguin kamu." Ucap mama ketika kami berdua saling melempar senyum sapa.
"Halo, kenalin. Gia."
"Halo, saya Emil."
Lima detik berselang, mama menepuk bahuku di samping kemudi.
"Emil, si Gia ini kawan baru kamu. Tolong anter dia pulang ke rumahnya dulu, ya?"
Tidak masalah bagiku. "Sip, Ma. Maaf, Gia, kamu mau dianter ke mana?"
Mendadak raut mukanya tampak ragu dan tidak enak saat kutatap sekilas lewat kaca spion begitu kubawa mobil papa keluar dari area restoran.
"Ke daerah Penjaringan, Emil. Maaf merepotkan."
"Nggak apa-apa, Gi. Santai aja."
Sepanjang perjalanan itu, mama dan Gia lebih banyak mengobrol tanpa berniat kuresapi untuk didengarkan, berhubung nggak minat juga.
Yang bikin kaget, tiba-tiba Gia mengajakku bicara.
"Emil ambil jurusan apa?"
Untung saja tadi mama menyebut tempat kuliahku di mana, pakai acara dibilang aku bisa menyelesaikan kewajiban dalam tujuh semester pula.
Nggak mau sombong, tapi mau gimana? Cantik bener nih cewek. Sayang kalau dilewatkan.
"Komputerisasi akuntansi. Kamu kuliah juga?" Tanyaku balik.
"Iya, teknik kimia UGM." Jawabnya.
Mampus.. pinter banget doi. "Kamu asli orang sini?"
Kulihat dia mengangguk lagi. Mama tertawa geli. Yah elah.. ketahuan deh aku hobi curi-curi pandang selama menyusuri jalan tol.
"Iya. Selama kuliah di Jogja, dari awal masuk sampe lulus, aku nge-kos."
"Kamu kok bisa sih tinggal mandiri begitu? Terus kalau kamu sakit, butuh makan, nyuci, dan segala macemnya gimana?" Mama menanggapi.
"Kalau sakit biasa bisa beli obat di apotek kok, Bu, sama jaga makan dan minum aja supaya jangan kebanyakan gorengan, pedes, dingin. Kalau udah parah, ada dokter praktik deket kos. Makan seringnya beli, Bu.. hehe.. tapi kadang-kadang masak sih.. yang simpel aja. Cuci setrika pake jasa laundry."
Sebentar, aku nggak salah dengar? Gia memanggil mama dengan sebutan 'ibu'? Bukan 'tante'?
Mampus daku kala itu. Apa aku terserang virus love at the first sight?
Namun kemungkinan besar sih.. benar sekali.
"Mil, kok kamu diem aja sih?" Senggol mama di sebelahku. Sejak tadi, mama sulit menahan tawa. Bahkan beberapa kali memujiku.
Kenapa sih, Ma? Senang sudah punya target calon menantu? Selamat, mama berhasil.
"Ya terus aku harus ngapain?" Kekehku.
"Duh, Gia. Maaf. Emil ini anaknya kaku, pemalu pula, nggak bisa ngomong kalau nggak diajak ngomong."
APAAN SIH, MAMA? GROGI NIH.
"Nggak apa-apa, Bu." Gia menyahut kalem. Mantap betul. "Emil, kalau jurusan komputerisasi akuntansi di Binus itu masuknya ke university atau international?"
Pertanyaan termudah, tentu dapat kujawab sempurna. Namun sayang seribu sayang, yang keluar dari mulutku justru adalah...
"Ooh.. itu masuknya ke departemen IT, fakultas ilmu komputer. Enak sih sebenernya, dosen yang ngajar tuh merangkap jadi praktisi, kita bisa tahu penerapan ilmu di kuliah sama dunia kerja gimana. Dan sebenernya, aku seneng sih sama kerjaanku yang sekarang."
Oh, Tuhan.. seorang Emil mendadak cerewet di depan mama dan seorang gadis yang baru dikenal setengah jam lalu. Mana jawabanku malah nggak nyambung.. puas sudah tawa mama malam itu.
Dan saat gadis itu menutup pintu mobil, mengucapkan terima kasih kepadaku dan mama, buru-buru kususul sebelum dia membuka pintu pagar.
"Gia, boleh minta nomer HP kamu, nggak?"
Gaskeun, brother. Diberi cuma-cuma, tentu esok dan seterusnya takkan kusalah gunakan, hingga di mana kami memutuskan untuk berkomitmen lebih serius setelah berkomunikasi beberapa bulan.
Tidak banyak yang tahu hal ini, selain keluargaku dan Cakra.
Sampai di situ, sudah paham kan tentang bagaimana awal kami bertemu?
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanficCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...