26

339 57 2
                                    

"Kalau goreng tempe, Nira udah bisa?"

"Goreng-gorengan sih aku ahlinya, Mbak. Cuma ya gitu, masih belom terlalu pede selain masakan Indonesia. Hehehee.."

"Nggak apa-apa, pelan-pelan aja belajarnya. Nanti lama-lama biasa kok."

Dalam hati Nira berdecak kagum, payah betul mantan atasannya itu. Punya berlian bertatahkan permata seindah ini kok baru dikenalkan sekarang.

"Gia, ada black coffee, nggak?" Iche datang menghampiri dari arah kamar.

"Ada, Kak, di lemari atas sebelah kanan. Buat Kak Kellan, ya?"

"Iya nih, Gi. Emang dasar sekali ngopi sukanya keterusan. Tapi asal jangan lebih dari lima gelas sehari, sama nggak ngerokok, nggak masalah sih."

Di sela mengaduk tumis sayuran dan ayam, Gia tersenyum simpul setiap kali menatap cara Iche melakukan sesuatu. Seperti ada aura terselubung yang menjadikannya termasuk salah satu dari tujuh bidadari tersasar di bumi.

"Nira ngapain?" Iche mengerutkan kening, mengetahui istri Cakra berbuat sesuatu pada tempe mendoan yang akan dihidangkan.

"Hehee.. aku bikinin dua saus ya, Mbak? Sambel kecap sama spicy mayo. Biar nggak bosen gitu, ada artistiknya sedikit."

"Pasti enak. Maaf kalau aku nggak banyak membantu, ya. Seharian ini Leisha nggak mau lepas soalnya." Iche menutur sedikit bersalah sambil melarutkan bubuk kopi dan air panas dalam cangkir.

"Kak Iche sama Leisha justru kudu istirahat yang banyak, biar produksi ASI Kak Iche lancar." Sahut Gia seraya menyendok sedikit kuah di wajan. "Eh, coba Kak Iche sama Nira cicipin. Udah pas belom?"

Mereka berdua menurut, dua jempol teracung sempurna untuk Gia.

"Aku jadi inget..."

Serentak Gia dan Nira memasang telinga masing-masing.

"Awal kenal Mas Kellan, kita masak mie instan sendiri-sendiri, makan di ruang tamu rumah kosku, ditemenin obat nyamuk bakar. Nggak ada romantisnya sama sekali. Hahahah!"

Tawa Iche menguar santai mengenang hal menyenangkan itu, membawa Nira dan Gia ikut merasakan hal yang sama.

"Dulu juga kenal suami pas aku masih sama mas mantan yang sekarang jadi kakak ipar." Nira tanpa sengaja mencurahkan isi hati. 

"Kalau dulu Gia sama Emil ketemunya gimana?" Sejenak, Iche tertarik. "Eit, jangan ngomong dulu! Aku kasih kopi ke suamiku sebentar!"

Dua masakan terhidang 15 menit kemudian. Tinggal menunggu nasi yang sebentar lagi matang, beef lasagna yang masih dipanggang, serta puding leci buatan Iche yang sempat dibuat sebelum Leisha menyita perhatiannya.

"Aku kenal sama ibunya Emil duluan, waktu itu aku dianter pulang pas Emil jemput ibunya di restoran, dan ada aku di situ. Ya udah.. kita ngobrol sepanjang jalan, tukeran nomer HP, ketemuan, sampe akhirnya setelah komunikasi beberapa bulan, kita mutusin buat berkomitmen."

Mumpung Leisha berada di tengah ayahanda dan kedua om sambung tampannya, tidak ada salahnya Iche dan Nira lebih intens mendengarkan.

"Emil itu orangnya baik, pekerja keras, perhatian, bisa dibilang misterius juga sih. Soalnya ada beberapa hal yang nggak aku tahu tentang dia, tapi selalu ada sisi menarik yang bikin aku nggak bisa nggak sayang sama dia, Kak, Nir."

"Aku tahu, menikah itu butuh banyak kematangan dari segala aspek. Aku sendiri nggak minta buru-buru kapan Emil mau serius, yang penting kita saling ngerti pribadi masing-masing aja dulu. Karena menurutku nggak gampang buat saling menerima kurang lebihnya pasangan dalam waktu singkat." cerita Gia tenang.

Suara oven pertanda masakan pasta itu telah matang, membuat Nira segera memakai sepasang hand glove agar dapat mengeluarkan loyang dan meletakkannya ke atas meja.

"Kamu tahu nggak, Gi?"

Telapak tangan kanan Gia tergenggam hangat oleh Iche. Senyum keibuannya pun timbul, tidak hanya mempesonakan Gia dan Nira, namun juga Kellan yang ikut menangkap momen itu melalui celah sekat rak pembatas ruangan.

"Dibanding kamu sama Nira, aku memiliki masa lalu yang gelap. Bahkan setiap kali inget tuh malu banget, berdosa parah rasanya. Tapi aku bisa sanggup jalani hidup bareng Kellan sama Leisha sekarang, itu karena aku mempertimbangkan banyak sekali keputusan demi kebahagiaan kita bertiga."

"Kalau aku boleh saran.." Iche menarik napas perlahan. "Pertahankan hubunganmu sama Emil, ya. Meski dia nyoba serong sebentar sama Kelsie di hari pernikahan Cakra sama Nira, sejujurnya dia nggak akan pernah bisa tinggalin kamu, Gia."

"Aku boleh ikut ngomong juga?" Tanya Nira, yang tentu saja diizinkan dan ditertawakan oleh Iche dan Gia.

"Heran, Cakra nemu di mana sih adek gemesin kayak kamu? Hmm?" Iche asyik menguyel-uyel pipi chubby Nira.

"Heheee.. nemu di toko kosmetik, Mbak, pas lagi galau-galaunya."

Mereka bertiga tergelak.

"Emang kamu mau ngomong apa, Nir?" Gia mengembalikan arah pembicaraan sembari menata piring, sendok, dan garpu.

"Bang Emil tuh penuh perencanaan, Mbak. Mbak Gia nggak usah terlalu mikir soal nikah, karena pasti Bang Emil udah siapin segalanya di waktu yang tepat."

"Nira bener, Gi." Iche menimpali. "Mending kita makan dulu. Gimana?"

Iche dan Nira kemudian mendatangi suami masing-masing di ruang tengah, tampak asyik memainkan play station Emil.

"Gia,"

"Apa?"

Emil menggendong Leisha, membawanya ke dapur, menunjukkannya pada Gia.

"Kok Leisha dibawa ke sini? Kasih Kak Kellan dong, Mil. Nanti dia nangis gara-gara kamu, gimana?"

"Tenang, Leisha udah kenyang bobok kok. Nggak bakal nangis."

"Ya Allah, untung aku udah cuci tangan." Pelan-pelan, Gia mengambil alih si cantik manis dari tangan Emil. "Duh, sayang... kamu kok lucu banget siih? Sama Tante Gia dulu, ya?"

"Kenapa aku baru sadar ya, Gi? Setiap kali kamu gendong Leisha, kamu kelihatan cantik banget melebihi pas pertama kali kita ketemu. Pantes mama suka sama pembawaan kamu, ternyata kamu memang calon menantu pilihannya yang terbaik."

Oh, bumi. Telanlah Gia.




***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang