39

381 47 2
                                    

Bingung Gia dibuat oleh tingkah Emil di taman RPTRA Kalijodo sekarang.

Usai menghabiskan sandwich beserta chicken wings buatan Emil sebagai makan siang, bermain layang-layang digagas oleh pria berahang tegas nan manis itu, demi membakar kalori.

"Kamu sih enak.. anak cowok emang biasa main layangan. Aku mana pernah?"

"Nah.. justru itu, Gi. Aku mau tahu setinggi apa layanganmu dibanding punyaku."

"Terus, kalo udah gini.. kudu ngapain?"

Gia melilitkan gulungan benang di telapak tangan, ekspresi wajahnya penuh tanda tanya.

"Perhatiin baik-baik, Yang."

Emil mengangkat rangkaian buluh bambu berlapis kertas bergambar, lantas berlari sambil menoleh ke belakang, membiarkan layangan miliknya terbang dalam kendali benang di tangannya.

"Woah!" Gia terperangah, menyaksikan benda tersebut diterbangkan Emil cukup jauh. "Aku juga mau coba, ah!"

"Ayo, Yang!"

Dipengaruhi ajakan Emil, Gia tak mau kalah. Awalnya, ia sulit menyeimbangkan arah angin, lama kelamaan rambut Gia turut berkibar menikmati permainan mereka berdua.

"Waahh.. lihat, Mil, punyaku! Hampir ke atas samain layangan kamu!"

"Coba ditarik sedikit, Yang."

Instruksi Emil menggembirakan Gia. Kini layangan kupu-kupu dan burung gagak hitam itu bersanding, bergoyang mengikuti hembusan udara pukul dua siang, tak peduli rasa panas menyengat keduanya.

"Dulu waktu aku masih SD, aku sering ajak Denaya ke lapangan setiap habis kerjain PR, sebelum disuruh mama mandi sore." Emil mulai berkisah. "Nggak kehitung berapa kali layangan kita putus. Entah nyangkut di kabel tiang listrik, nyasar di genteng tetangga, bahkan pernah hilang kebawa angin."

"Gia, kalau suatu hari nanti hubungan kita berada di ujung kekuatan layang-layang ini, seperti tersangkut, jatuh, atau benang perasaan yang terkait di hati kita berdua merenggang, kuharap kamu mengerti.."

"..aku nggak akan biarin itu semua terjadi."

"Aku akan tetap sayang kamu, cintai kamu, apapun keadaannya."

Bodohnya Gia meremehkan kegiatan mengenang masa kecil sang kekasih kali ini. Tak diduga, filosofi tersembunyi tengah terucap di setiap sentuhan kalimatnya.

Kedua benda indah itu masih berusaha dikontrol Emil dan Gia. Benar, hanya mereka, tidak ada oknum pengganggu lain. Pengunjung di sekitar pun dianggap suara-suara tak berkepentingan yang perlu dihormati.

"Kamu tahu, nggak, Mil? Ada kalanya kita butuh waktu rileks begini di luar ruangan. Jadi, bukan cuma kamu aja yang bisa curahin apa yang perlu aku tahu, tapi aku juga bisa leluasa bilang.. kalau aku seneeenngg banget hari ini!"

Emil mengalihkan pandangannya pada Gia, yang belum berhenti memainkan benang di tangannya.

"Seneng karena aku bisa dapet sisi diri kamu yang selalu lembut dan perhatian. Kukira setelah Ibu Sesil nggak ada, kamu bakal berpikir ulang soal rencana kita. Tapi hari ini, kamu berhasil buktiin kalau kamu udah lebih kuat dari yang kuharapkan."

"Terima kasih ya, Emilio. Aku juga sayang kamu."

Mereka saling menyisihkan senyum di antara tatap.

Bersyukur, perkenalan masa lalu itu mampu berujung pada senja bahagia.

***

"Kita mau ke mana lagi habis ini?" Gia menoleh ke arah Emil, tengah mengemudikan kendaraannya meski hujan turun cukup deras.

Emil tampak berpikir. "Baltic, mau?"

Terlalu hafal akan sifat si cowok yang menyukai dessert, Gia mengangguk yakin.

"Mau bangeeet! Aku pengen banget dari dulu ke sana tapi nggak ada yang ajak. Huhuu.." rengeknya gemas.

"Hahaha. Iya, sayang, we're on the waayy~"

"Siap, Pak Bos Setiawan!"

Sela tawa bergabung, menemani dua pasang pendengaran itu menikmati alunan lagu The Corrs bertajuk Irresistible dari saluran radio yang Emil setel sepanjang jalan.

Kurang dari satu jam, mereka berdua sampai di toko es krim yang berdiri sejak tahun 1939. Disambut oleh seorang karyawan, Emil keburu menghambur ke freezer box.

"Gia, kamu mau rasa apa aja?"

Antusias betul si bapak. Gia sampai tak kuasa menahan senyum geli.

"Hmm.. aku mau rasa cokelat sama kopyor deh," si gadis mengambil dua cup kecil.

"Oke. Aku pilih alpukat, durian, sama kacang merah kalau gitu. Kamu tunggu di mobil, ya? Aku mau bayar dulu." Suruh Emil.

Hujan telah berhenti menyegarkan udara. Angin sepoi-sepoi dari jendela mobil terbuka, sukses membuat Emil dan Gia sejenak melupakan kesibukan masing-masing, tidak berhenti menyendok dan mencicipi rasa manis otentik di tangan masing-masing.

"Enak?"

"Paraahh! Makasih banyak, Lioo.." Gia memejamkan mata begitu sesendok penuh es krim cokelat mengisi sejuk tenggorokannya.

"My pleasure, my dear. But.."

Telunjuk Emil segera menyingkirkan bekas es krim mencair di sudut bibir Gia.

"Hati-hati makannya. Nggak lucu kalau aku cium kamu di sini, kan?" Emil membisik rendah, mendirikan bulu kuduk Gia.

"Kayak kamu berani cium aku aja di tengah keramaian gini."

"Oh, nantangin?"

Jangan tanya bagaimana Emil bisa mengeksekusi hal itu, tepat ketika Gia sulit mengelak namun diterima cukup baik.

Terdiam, Gia mengulum sendok kayu kecilnya, meski mangkuk plastik di tangannya sudah kosong.

"Besok-besok pake lip tint lagi, ya, Gi? Enak, manis, lumer di mulutku kecampur es krim rasa kopyor. Heheheee.."

"EMIIILLL!! KALAU TADI ADA ORANG LAIN LIHAT, GIMANAAA?!"

***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang