Pukul 01.40 pagi, Emil keluar kamar usai melakukan conference call bersama para pimpinan audit dari Canberra. Ia terkejut saat menemukan Gia tertidur di sofa dalam kondisi TV masih menyala, terlihat pulas sehingga Emil melangkah mendekati kekasihnya. Dibenahi geraian rambut berantakan itu, ditepuk-tepuk pipi chubby berwarna kulit seputih susu, membuka matanya perlahan-lahan.
"Emil."
"Pindah tidur di kamar gih, Yang. Cuci muka dulu, ganti baju."
Mengangguk, Gia berusaha bangun dibantu Emil.
"Kok kamu masih melek juga sih?" Tanya Gia, memberi space bagi Emil duduk di sampingnya.
"Biasa.. apalagi kalau bukan beresin kekacauan kemaren?"
"Terus gimana?"
"Aman, Yang." Jempol kiri Emil terangkat jumawa, menggelikan benak Gia.
"Bagus. Itu baru lelakiku." Pipi Emil dicubit lembut oleh Gia, membuat mereka berdua tertawa.
Sepasang tangan Emil terentang. "Mau peluk, boleh?"
"Minta peluk terus. Nggak engap emangnya?"
"Nggak bakal."
Jadilah duo teletubbies itu menyalurkan kenyamanan masing-masing, diiringi backsound film Con Air yang tayang di stasiun televisi swasta, mengalunkan lagu How Do I Live dari Trisha Yearwood.
"Gia,"
Mata boleh merem, mulut tetap berucap. Itulah Emil.
"Makasih."
Cengiran Gia mengudara indah. "Kenapa berterima kasih sama aku? Emang aku ngapain?"
"Kamu mau ada di saat sulit dan senangku. Kamu pun mau mendukungku di waktu darurat. Kamu tahu, Gi? Aku takut di-PHK."
Sepercik cemas merambat, membuat Gia mengelus kepala dan punggung Emil agar tetap tenang.
"Aku takut banget, Gi. Kalau sampe itu terjadi, harga diriku bisa anjlok di matamu. Nggak guna banget aku jadi pasangan kamu. Tahu sendiri, kalau bukan kekuatan orang dalem, susah banget dapet kerjaan jaman sekarang. Aku pengen bisa bertahan di karierku, paling nggak... supaya aku ada modal buat bahagiain orang tua, dan juga kamu."
"Nggak bisa rasanya bayangin kamu mau pergi tinggalin aku, Gia."
Perkataan seorang manusia pada jam tengah malam memang tak pernah Gia abaikan. Kecamuk nafsu dan kejujuran Emil sedang terajut rapi untuk menentukan langkah Gia selanjutnya. Tentu, tak ada sedikit pun keinginan gadis itu untuk melangkah menjauhi separuh jiwanya.
"Kamu tahu? Apa yang kurasain pertama kali pas kita ketemu?"
"A-apa?"
Sialan banget gue ketahuan gugupnya. Pantes nih anak cekikikan.
"Aku hafal gimana sifat mama tiap ketemu cewek yang deket sama aku. Pas lihat mama bisa se-soft itu dan welcome banget sama kamu, nggak ragu lagi buatku ngerti kalau hatiku cuma bisa buat kamu miliki, Gia."
Ada tetes air mata jatuh di bagian tengkuk Emil. Sensasi basah itu lantas melonggarkan pelukannya, memandang Gia teduh tanpa bermaksud menghentikannya tersapu haru.
"Kok nangis?" Emil menggumam. Jari jemarinya mengusap wajah Gia yang memerah.
"Nggak.. aku cuma.. nggak nyangka.. kamu bakal bilang gitu." Lirih Gia sesenggukan. "Aku boleh gantian tanya?"
"Sure."
"Apa kamu nggak masalah dengan yang kulakukan sekarang? I mean, aku bukan wanita karier yang kerja di perusahaan bergengsi, meski dulu belajar keras di jurusan yang susah. Aku cuma.. yahh.. bikin hobiku jadi bermakna dan menghasilkan. Itu aja."
"Kamu menduga apa tentangku, pas kasih tahu kalau kamu adalah pemilik toko kado?"
"Kamu suka cewek keibuan yang bisa urus rumah tangga."
"Itu bener." Emil merangkul bahu Gia lebih dekat. Degup jantung lelaki itu bahkan dapat Gia rasakan tak beraturan. "Terus?"
"Kamu suka cewek mandiri yang punya karier cemerlang."
"Bener kok."
"Tapi aku nggak seperti kamu, Emil. Aku nggak pake baju formal dan sepatu hak tinggi, cari duit di kantor gedung pencakar langit."
"Ngapain kamu kayak aku, Gi? Kan kamu bosnya, pegawaimu ada tiga. Kurang apa? Nggak ada."
"Tapi..."
Sebuah ciuman berhasil Emil curi di bibir Gia.
"Kalau aku mempermasalahkan pekerjaanmu, aku nggak akan biarin kamu ada di hidupku, Gia. Apa aku harus buktiin hal lain supaya kamu percaya sama aku?"
Gia bukanlah anak SMA yang sering deg-degan beradu tatap dengan gebetan, namun terlalu lama berada di dekat romantisme seorang Emil, Gia sulit berkata-kata.
Menghindari sentuhan Emil di sudut bawah bibirnya pun ia tak mampu.
"Stay with me, Aquilegia, please.."
Setelah itu, Gia berhenti menangis. Diberinya Emil seulas senyuman hangat bak sinar rembulan.
Cobalah mengerti perasaan Emil, bagaimana mau berpindah ke lain hati?
"Istirahat, sayang. Besok kita masih harus sama-sama cari nafkah." Kata Emil akhirnya, dituruti oleh Gia, menuntun keduanya melangkah terpisah ke kamar masing-masing.
Tak lupa Gia menekan tombol power off di remote TV, sebelum menutup pintu kamar dan mengganti kemeja serta jeans-nya dengan baju tidur, yang sengaja ia tinggalkan beberapa pasang di lemari pakaian kamar tamu itu.
Maklum. Dulu, setelah dua minggu mereka resmi berpasangan, Gia jadi sering menginap di apartemen Emil. Baik mama Gia dan mama Emil sama-sama ingin keduanya mendalami sifat dan kebiasaan masing-masing, supaya jika sudah menikah nanti tidak perlu beradaptasi lagi.
Bermodal kepercayaan akan kedewasaan mereka menjalani hubungan, para orang tua yakin bahwa anaknya tidak akan melampaui batas norma dan agama. Dan jika sampai hal itu terlanjur menjadi nyata, siap-siap saja akan konsekuensi di masa depan yang jelas memberatkan tanggung jawab masing-masing.
Baru akan mengoleskan krim malam di wajah, pesan singkat dari Emil hadir mencerahkan perasaan Gia saat membacanya.
Emilio
Tahu nggak bedanya kamu & oatmeal?
Nggak ada
Karena...
Kalian sama2 bikin jantungku sehat ❤"Apa siiihh... Emiill... astagaaa. Hahahahahah!!"
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...