Ini baru bulan ketiga, mengingat rencana pernikahan Gia dan Emil harus ditunda karena tanggung jawab pekerjaan yang mengharuskan Emil berada di Canberra selama dua tahun, tanpa sadar lambat laun sedikit menyiksa batin masing-masing.
Seluruh pegawai di Toko Star Crush itu memahami mengapa sang pemilik kurang semangat seperti biasanya. Meski omzet hampir mencapai target menjelang closing, tak ada satu mulut pun berani menyuarakan tanya, mengenai lesunya cara Gia berbicara pada pelanggan.
"Sakit, Mbak?"
Seorang pelajar SMA berjilbab yang membeli spray cologne, kuas lukis, dan buku sketsa, mendadak bertanya penasaran ketika Gia memindai barcode di depan layar POS.
"Oh, nggak." Elak Gia halus. "85.000, Dek."
Si pelajar menyerahkan uang tunai pas. Transaksi selesai, tak lupa rasa terima kasih Gia terucap manis.
Bahaya. Bahkan orang lain saja tahu persis keadaan Gia jauh dari kata baik-baik saja.
"Ngomong-ngomong, masnya udah lama nggak kelihatan ya, Mbak."
Seorang ibu yang mengantri di belakang pelajar tadi berceletuk ringan, ketika gunting di tangan Gia hendak memotong lembaran selotip.
Kening Gia berkerut. "Hah? Siapa, Bu?"
"Itu lho, mas-mas yang kadang suka bantuin Mbak bungkusin barang pakai kertas kado di kasir. Orangnya rapi, murah senyum, telinganya ditindik."
Ternyata Emil yang dimaksud, kawan-kawan.
"Oohh.. hahahahh! Itu pacar saya, Bu. Dia ada tugas kerja di luar negeri, makanya jarang dateng ke sini."
"Wohalahh.. pantes.. sebenernya saya pernah iseng perhatiin kalian setiap belanja di sini. Kalian kalau ngobrol tuh emang akrab banget sampe agak mesra segala. Ternyata beneran pacaran? Wiihh.. semoga jodoh, ya."
"Aamiin, Bu. Terima kasih doanya."
Senyum masam sang gadis terkulum rapat. Perasaan boleh mendung, namun melayani pembeli tetap nomor satu.
Meski dirasa pedih tapi nyata. Tinggal menunggu kapan bendungan rindu ini terbongkar mengalir dan bermuara pada hati yang dituju.
***
Sehabis mengganjal perut dengan persediaan Snickers di laci, menggosok gigi, dan mencuci muka, Gia segera memeluk guling dan meringkuk di atas ranjang.
Tadi mengantuk, sekarang malah segar bugar. Bingung, apa maunya tubuh Gia?
Hingga sebuah ponsel di tepi bantal mulai menarik perhatiannya.
"Chat Emil atau nggak usah, ya?"
"Tapi kalo nggak dibales lagi gimana?"
"Huuu... tapi gue kangeeenn.."
"Halah.. terserah deh dibalas atau nggak. Yang penting hati gue lega!"
Emilio
Sayang
Aku mau tidur
Kamu baik2 di sana
Gute nacht ❤Tawa kecil gadis berkaus lengan panjang abu-abu dengan training pants Adidas itu mengudara, meratapi kebodohannya menunggu respon yang entah kapan akan hadir kala satu jam terlewati.
"Gila, ya? Kayak gini mau tahan dua tahun?! Bisa sakit malarindu tropikangen guueee!"
***
Brighton Clear House, 3rd Floor. 02.20 AM.
"Astaghfirullahal adzim, Ya Allah..." desah Emil ketika menyadari dirinya tertidur di sofa ruang kerja pribadinya.
Diusapnya wajah penuh ekspresi kantuk itu, Emil lalu meminum sisa air putih dalam gelas di dekatnya.
Pesan Gia yang diterima pada pukul satu malam waktu ibukota negara Australia, mengakibatkan napas Emil terhembus tak beraturan.
Kesal mencerna setiap kata dari pesan yang Emil baca.
Sesal membumbung tinggi rencana semula yang telah tiada.
Percuma, marah-marah takkan membantu apapun. Keluar dari ruang kerja, Emil lantas memasuki kamar mandi, sekedar mempersiapkan diri untuk shalat tahajud.
Sajadah kemudian digelar Emil di atas lantai berkarpet. Namun sebelum mengucap kalimat niat, senyum Emil terlukis tipis lebih dulu.
Bagaimana pun, dibutuhkan usaha keras agar Gia tak lepas dari jangkauannya.
My Aquilegia ❤
Bon nuit giaku
Sorry aku ketiduran
Gimana kabarmu hari ini?
Ceritain semua via e-mail ya sayang
Luv U ❤Emilio
Emil!
Alhamdulillah akhirnya kamu bales!
😭😭😭❤❤❤
Yes captain!
Please always check your inbox today!
Me luv U too ❤Sejuknya hawa dini hari, melintaskan ruang bersyukur bagi Emil dalam mengagumi Gia yang rela belum tidur, demi mendapatkan balasan pesan darinya.
"Ya Allah, seindah inikah LDR berbeda benua?"
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...