Acara makan malam di rumah Keluarga Setiawan cukup tentram. Mama dan Denaya bergantian bercerita, papa fokus mendengarkan, sementara Emil cenderung lebih suka mengaduk-aduk nasi beserta lauk di piringnya.
"Oh ya, application S2-ku keterima lho, Pa, Ma, Mas!" Si bungsu mengumumkan riang.
Ketiga orang anggota lainnya bersorak heboh.
"Aku tetep ambil jurusan desain, Showa Women's University di Jepang. Visa, transkrip IPK yang udah dilegalisir dan di-translate, sama lain-lainnya oke semua. Alias beres."
"Bagus. Berarti dokumen penting siap semuanya, ya? Kamu ambil beasiswa atau daftar konvensional?"
Cengiran kuda Denaya menular kepada papa dan mama seketika.
"Heheee.. konvensional, Pa. Soal biaya sih Papa sama Mama tenang aja, aku bisa sambil kerja di sana buat biayain kuliah sama living cost. Kebetulan banget, dua minggu lalu aku dapet acceptance letter dari perusahaan web design yang kantornya deket sama kampusku di sana."
"Anak Mama udah mandiri banget sekarang," mama membelai lengan Denaya bangga. "Kapan berangkat?"
"Wisudaku minggu depan, jadi.. aku berangkat tanggal 2 bulan depan, Ma, soalnya tanggal 10 udah masuk kerja."
"Tiket pesawat sama tempat tinggal gimana?" Emil angkat bicara.
"Aku sewa apartemen studio lewat aplikasi penginapan gitu, terus juga udah kubayar enam bulan ke depan, tiket pesawat baru aja pesen jam dua pagi tadi. Mumpung murah, kapan lagi?"
"Kok bisa?! Dapet duit dari mana lo? Ngepet? Huahahahahah!" Gelak Emil diikuti papa dan mama.
Selembar serbet dilayangkan Denaya ke wajah kakaknya.
"Gila apa! Aku tuh rela jadi anak baik-baik di rumah sejak kelas 12, nggak nongkrong, ngafe, nonton, bahkan nggak jajan di kampus... biar aku bisa meniti karier di Studio Ghibli, Mas Emiiill!"
Emil terbelalak kagum. "Elo yang gila, Dek! Tabungan lo sebanyak itu?? Terus bayar uang kuliah S2 lo gimana, bambang?!"
"Ya kerja lah, Mas! Gimana sih! Aku sengaja ambil kelas malem biar murah, jadi.. Papa, Mama, sama Mas Emil nggak perlu khawatir. Oke?"
Haru melanda empat orang anggota keluarga yang berkumpul di meja makan itu.
Papa yang menginjak masa pensiun dan mama sang pelaksana pengerjaan rumah tangga, cukup berbangga hati mendapati usaha keras Denaya dalam mewujudkan mimpinya sebagai desainer grafis. Meski kendala finansial merupakan momok utama keluarga, namun Denaya mampu mengatasi di usianya yang terbilang di ujung masa belia.
Di balik senyum teduh Emil memeluk Denaya, ada sekilas rasa protektif menyiksa, bagaimana bila si gadis kecil mulai jauh dari jangkauannya?
Membayangkan Denaya merantau sendiri di negeri sakura, bergantung pada kemampuan diri sendiri, tanpa beasiswa pula. Sanggupkah?
Drama keluarga cemara berlangsung, jangankan dihentikan, mereka berempat kini saling sigap membantu. Membereskan meja makan, mencuci piring, gelas, dan peralatan lainnya, serta bercengkrama menonton film pilihan papa...
... demi merayakan keberhasilan seorang Denaya Setiawan.
***
"Kapan mau packing? Biar Mas bantuin."
Lelaki berkaus sleeveless putih plus celana training abu-abu itu memasuki kamar Denaya, di saat si penghuni tengah asyik chatting dengan Gia dan teman-teman lainnya, sekedar berbagi berita bahagia.
"Eh, Mas Emil. Sini duduk, Mas!"
Tangan Denaya menepuk-nepuk sisi ranjang, dituruti oleh si kakak sulung
"Besok sore aku mulai packing buku sama baju dulu, Mas. Soalnya, aku mau ke toko Mbak Gia dulu, sekalian mau kabarin dia kalo calon adek iparnya bakal lanjut kuliah lagi." Celotehnya riang.
"Dek,"
"Ya, Mas?"
Hela napas Emil seolah mengajak Denaya ikut menyandarkan diri di kaki ranjang. Pandangan keduanya menerawang ke langit-langit kamar.
"Kamu inget, nggak, dulu kamu nggak mau pulang ke rumah kalo nggak dijemput pulang sekolah sama Mas. Nggak peduli naik sepeda atau jalan kaki. Kamu juga suka bagi satu es krim buat dimakan berdua sama Mas, main hujan-hujanan bareng, habisin tepung terigu mama buat kita jadiin bedak mainan, rebutan kroket keju. Terus kita juga sempet bantu mama jualan kacang bawang di sekolah, pas kita denger papa pindah kerja habis dipecat, gara-gara kita takut nggak punya uang saku."
"Pas kamu SMP, suka sama temen sekelas, dan waktu tahu kamu ternyata bertepuk sebelah tangan, kamu kerjanya cuma nangis seharian. Baru mau makan kalo Mas suapin, terus milih tidur di kamar Mas, akhirnya malah nemenin Mas begadang nugas kuliah."
"Those were the days, Denaya, can't believe you've grown up very well and proud me so much."
Percuma sok kuat mendengar lontaran Emil mengenang masa kecil mereka. Karena isak kecil Denaya kontan membuat mereka berpelukan lebih erat.
"Denaya sayang Mas Emil, Denaya nggak akan lupa betapa bersyukurnya punya abang kayak Mas Emil."
"Maaf kalo Denaya sering nyusahin Mas, bikin kesel Mas Emil, sampe Mas harus rela berkorban buat bayarin kuliah dan wisuda Denaya sejak papa pensiun."
"Terima kasih banyak, Mas.."
Kecupan ringan Emil tertuju di pipi kanan Denaya, yang membulat lucu dan lembut, bagai mochi tersebut.
"Terima kasih juga, Den, kamu udah lahir ke dunia jadi adek Mas satu-satunya."
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
FanfictionCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...