Tidak setiap hari toko kado Gia ramai didatangi pengunjung. Ada saat di mana gadis itu dan para pegawainya memainkan ponsel atau menonton film bersama saking tidak ada satu pun tamu yang sekedar cuci mata dari jam buka sampai tutup. Dan seringkali pula, loading barang baru dibarengi sibuk melayani pembelian sampai lupa apa itu makan.
Kalau sekarang, boleh dibilang antara sibuk dan tidak, karena ada satu dua customer sedang berdiskusi dengan store assistant mengenai frame bagus untuk hadiah ulang tahun.
Di tengah mericek stock opname dibantu salah satu pegawai magangnya yang masih kuliah, ponsel Gia berdering, menampilkan panggilan masuk dari Emil.
"Halo,"
"Hai. Ganggu, nggak?"
"Nggak, Lio. Kenapa?"
"Aku ke toko, ya?"
"Kapan?"
"Sekarang. Nih udah di jalan."
Diliriknya jam dinding, ada gerangan apa Emil bertemu muka dengan Gia jam sebelas siang ini?
"Ahh.. oke. Langsung ke ruanganku aja nanti."
"Siap, sayang."
Menghela napas, Gia menutup map hijaunya, mendadak kurang nafsu bekerja, berdiri, lalu beranjak dari lantai.
"Kalau Emil dateng, suruh ketemu saya aja di atas."
"Baik, Bu." Pegawai itu mematuhi perintah Gia, kemudian kembali fokus pada tugasnya.
***
"Kusut amat itu muka." Celetuk Emil ketika menerima segelas mug kopi susu hangat dari tangan Gia. "Makasih, sayang."
"Bingung aku tuh. Ngapain coba ke sini? Jam berapa itu nggak lihat? Kenapa nggak ngantor?"
Katakanlah ada firasat aneh menyerang benak Gia begitu sadar bahwa yang berbicara dengannya di telepon seperti bukan kebiasaan Emil.
Emil adalah pemegang teguh kualitas dalam bekerja, tidak sedikit kekecewaan Gia timbul kala hasrat ingin bertemu terpaksa ditanduskan oleh kesibukan Emil. Malah jika diingat, di awal pertemuan mereka dulu, Gia sering berdoa agar Emil mau meluangkan waktu untuk minum kopi di luar berdua.
Brunch baru terlaksana oleh sebagian eksekutif penguasa Jakarta Pusat, masa' Emil justru baru tampak seperti berangkat terlambat dari rumah?
"Come here."
Gia menuruti duduk di samping Emil, memeluk kepala lemah itu agar bersandar di bahunya.
"Aku stres, Gia."
"Kenapa?"
"Hari ini aku susah mikir, rasanya percuma dipaksa ngantor. Aku udah izin nggak masuk hari ini, tapi kuusahain kerjaan yang ketunda bakal coba kuberesin nanti malem."
"Kamu mau aku nginep di apartemen?" Gia menawarkan diri, mengagetkan Emil.
"Kamu bisa?"
"Yaa.. kalau kamu mau dan butuh. Aku tinggal bilang sama mama, pasti dibolehin. Lagian emang mau ngapain sih? Paling temenin kamu kerja aja, ya kan?"
"Serius, Gia.."
Nada bocah merengek diaktifkan Emil, membuat Gia tak dapat menahan tawa.
"Lah, bercanda nggak ada untungnya juga kali!"
Tidak terdengar sahutan dari Emil, berhubung telah terselimuti nyaman oleh aroma tubuh dan kasih sayang Gia siang itu. Sepasang mata Emil terpejam, melepaskan segala beban yang memuncak belakangan.
Dan Gia mulai mengerti, tinggal tunggu apakah Emil akan bersedia jujur atau sebaliknya.
"Pressure di kantor tuh parah banget, ada klien nolak audit berujung kasus internal, gara-gara produksi dari nelayan lebih milih buat dikasih distributor lain yang keuntungannya dua kali lipat daripada kita, dijanjiin bakal diinvestasiin equipment lebih bagus.. lebih canggih.. ya gitu deh. Ada aja saingan perusahaan main kotor." Cerita Emil di sela menikmati belaian Gia di punggung, bahu, dan poni rambutnya.
Mengerang kesal, tangan Emil tanpa sadar meremas keras punggung Gia. Tapi tetap tidak Gia hiraukan.
"Aku kesel, Gi. Aku kesel sama diriku sendiri, kenapa aku bisa kecolongan di saat itu semua udah terjadi tiga bulan. Pantes.. mau verifikasi aja susah banget, banyak halangannya."
Gia terdiam, mengindikasikan agar emosi Emil dapat puas tertuang.
"Aku ngerasa nggak becus sebagai atasan yang udah nugasin pegawaiku ke sana, aku nggak bisa kasih arahan yang bener, sampe aku harus nelen pagi-pagi dimarahin kantor pusat di Canberra lewat e-mail. Coba, Gi, baru melek. Mata sepet banget. Pas banget cek HP, nyalain wifi, aku harus baca itu semua. Capek aku, Gi, aku capek sama hidupku sendiri..."
Emil butuh telinga, hati, dan mata Gia untuk didengar, dirasa, dan ditatap menenangkan. Sebait kalimat belum meluncur dari mulut kekasih, tapi cuilan empati Gia terkoneksi pada batin Emil sangat kuat.
Dulu, ketika Gia masih bekerja di perusahaan bidang ESDM, tantangan gila dari sekitar sudah menjadi makanannya sehari-hari, yang hanya sanggup ia pikul selama dua tahun. Meski berbeda field, Gia cukup memahami perasaan Emil.
"Maaf, aku peluk kamu kelamaan." Bisik Emil tak enak hati.
Senyum Gia membalas lembut, memaksakan mereka bertukar pandang.
"Kamu tahu? Aku seneng dilibatin sama kamu soal kerjaan. Biar pun ada beberapa hal yang nggak aku ngerti, tapi aku suka cara kamu yang mau terbuka sama aku, Lio."
Erat sekali Emil merengkuh tubuh Gia setelah kalimat ampuh penenang merasuk jiwa lelaki berkemeja tartan itu. Tidak salah memang, bila satu-satunya hati tempat Emil berlindung hari ini adalah Aquilegia-nya.
***BERSAMBUNG***
![](https://img.wattpad.com/cover/212095900-288-k578883.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SAFEST PLACE ✔️
أدب الهواةCerita pendek nan manis berbalut kehidupan sehari-hari dalam hubungan percintaan Emil dan Gia. Tidak ada konflik berarti, hanya perjalanan dalam mendewasakan masing-masing sebelum mencapai tujuan penting saat restu keluarga telah di tangan. Sebelum...