35

338 61 1
                                    

22.25 WIB.

Ibu Aya masih menetap di kamar Denaya, menenangkan histeria si adik bungsu yang diketahui pingsan berkali-kali, begitu dirasa terlambat pulang ke rumah.

Sementara Pak Chandra dan Nicky menemani Om Dewa menyambut tamu datang dan pergi, mengikuti pengajian yang baru akan usai pukul sebelas nanti.

Berbeda dengan gelapnya aura di halaman belakang, di mana terdapat Gia dan Emil saling duduk bersebelahan, belum mau mengucap sebaris kata walau hanya sekedar sapa.

Jika terus terdiam, Gia tahu ini takkan beres. Apalagi pemakaman akan dilaksanakan besok pagi, tak baik bila ketegangan ini tak juga mencair.

"Emil, kamu mau minum apa?"

Pertama kali Gia bersuara, Emil menggeleng di waktu yang sama.

"Aku ambilin air putih, mau? Kamu belum ganti baju, kopermu belum ditaruh di kamar, makan sama minum pasti terakhir di pesawat, kan? Sebentar, ya."

Panjang lebar kalimat yang Gia usahakan, namun pergelangan tangan tertahan lebih dahulu didapatkan.

"Tolong, Gia.." seraknya nada Emil memohon, membuat Gia sedikit khawatir. "Tolong jangan pergi tinggalin aku sendiri dulu."

Mengerti, Gia mengelus punggung tangan kekasihnya.

"Kamu mau apa? Apa yang bisa aku bantu buat kamu, Mil?"

Peluk yang mereka nantikan, terpaksa terealisasi lebih cepat dari dugaan Gia. Bahu kemeja gadis itu memang terasa basah, namun tak sebanding dengan perasaan Emil sekarang.

Setengah jam dilalui keduanya dalam dekapan. Gia tidak berhenti menepuk-nepuk lembut punggung Emil yang menggetarkan tangis.

Berharap agar semuanya terlampiaskan tanpa sisa.

"Aku udah nggak punya mama, Gia.. mamaku udah nggak ada.."

Kali ketiga Emil mengucapkan, Gia selalu membalasnya dengan berbisik...

"Ikhlasin, Mil. Kamu harus ikhlas, ada Allah, ada papa kamu, Denaya, aku, keluargaku, temen-temen kamu. Sabar, ya?"

Persendian pria itu sedikit melemah, mengagetkan Gia yang harus sedikit menopang tubuhnya.

"Emil? Emil?!! Astaghfirullah. Bang Nickyy! Papaa! Mamaa! Duh.. Ya Allah, Emil.." Gia berseru panik ketika wajah Emil memucat dan tidak sadarkan diri.

Nicky berlari menuju ke halaman belakang ditemani Inka yang baru saja sampai di kediaman Keluarga Setiawan. Mereka bertiga sama-sama shock melihat Emil.

"Ya Allah!" Inka lalu membantu Gia menegakkan tubuh Emil. "Gi, tolong kamu ambil air putih sama minyak angin di tas Kakak."

"I-iya, Kak."

"Nggak usah.."

Mereka bertiga bertatapan kala mendengar Emil membuka matanya perlahan.

"Mil, lo yakin nggak apa-apa? Mau tiduran di kamar? Lo jetlag, man. Butuh istirahat." Ujar Bang Nicky. "Inka, tolong temenin papa sama Om Dewa di depan dulu, ya?"

Inka mengangguk menurut, meninggalkan mereka dan kembali bertugas menjadi wakil keluarga dadakan di ruang tamu.

"Kalian kalo ada apa-apa, kasih tahu aku. Oke?"

"Makasih, Kak." Gia benar-benar bersyukur, banyak sekali bantuan hari ini.

"Kakak, bantu Abang papah Emil ke kamarnya. Ayo,"

"Iya, Bang."

***

Jujur, tak pernah sekali pun Gia menemukan Emil sehancur ini. Betapa hati, jiwa, dan raganya buyar berkeping-keping, ditambah lagi semua rasanya terlalu cepat untuk mereka semua pahami.

Nicky yang biasanya bersikap nyeleneh dan selonong boy, menunjukkan sisi dewasa yang juga jarang Gia rasakan. Lelaki itu lebih banyak diam, telaten menggantikan baju calon adik iparnya di tempat tidur, menempelkan plester kompres demam di dahinya.

"Kak, udah makan? Makan dulu gih, Inka beliin KFC tadi. Terserah mau makan di sini atau di belakang, soalnya papa, mama, sama Abang udah ngambil."

"Kakak boleh makan di sini, Bang?" Pintanya hampir menangis. "Kakak jadi ikut nggak kuat lihatnya, Bang."

"Boleh, sayang.." dibelainya kepala si adik tersayang. "Tolong bawain makanan buat Emil juga, ya. Sama air putih botolan yang banyak, kalo nggak salah ada di dalem kardus depan pintu dapur."

Tangan Gia yang terulur ingin memutar kenop pintu berhenti, memandang sang kakak sedikit takut.

"Bang..."

"Kakak nggak usah khawatir. Kita sekeluarga bakal nginep di sini, seenggaknya sampe lusa pagi."

Ketahuilah, Gia..

Betapa banyak pihak yang merestui hubunganmu dengan Emil, baik di masa bahagia mau pun saat kesulitan mendalam menyergap.

***

"Ibu beruntung bisa ketemu kamu, Gia. Kamu anaknya dewasa dan matang, sama kayak Emil. Tenang rasanya hati Ibu, kalau tahu anak sebaik kamu yang bakal jadi calon istri anak Ibu."

"Ibu tahu, Emil sayang banget sama kamu, Gia. Kalian yang akur, ya? Jangan gampang salah paham. Apalagi kalau nanti kalian udah menikah, harus bisa harmonis terus pokoknya. Oke?"

Diam-diam, tubuh Gia merosot bersandar di dinding dapur, mengenang segala petuah Ibu Sesil dahulu, menangis di bawah tumpuan sepasang lututnya.

***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang