38

374 53 2
                                    

Selama setahun menempuh perjalanan lebih dari sekedar teman dan sahabat, pagi itu Emil datang ke rumah Gia membawa sebuket bunga anggrek bulan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Emil, hari Sabtu bukannya bangun siang, berolahraga, atau bermain play station seperti biasa, ia justru menyambangi pasar bunga daerah Rawabelong menjelang subuh demi mendapatkan tanaman indah nan segar tersebut.

Emil sengaja bersandar diri di depan pagar. Biarlah kata hatinya sibuk merangkai kalimat terbaik untuk tujuannya hari ini, sebelum pintu utama terbuka menampakkan Inka versi berdaster motif beruang.

"Emil?" Si calon kakak ipar mengerjap kaget. "Ngagetin, sumpah! Kenapa nggak mencet bel atau ketok pintu sih?"

"Hehe.. Assalamu'alaikum, Kak. Maaf kalo ngagetin. Gia ada?"

"Wa'alaikumsalam. Gia ada di kamar, tapi kayaknya masih tidur, ayo masuk dulu." Inka menggelengkan kepala tak percaya, bingung terhadap perilaku anak muda zaman sekarang. "Romantis banget sih udah ngapel jam segini bawa bunga.."

Kekehan Emil menular pada Inka yang ikut tertawa menanggapi. "Biasa aja kok, Kak."

"Dasar. Kamu mau sekalian sarapan bareng kita, nggak, Mil?" Tawar Inka, namun lekas ditepis Emil.

"Nggak usah repot-repot, Kak. Sebenernya saya ke sini mau minta izin buat ajak Gia keluar rumah seharian, kalo Kak Inka nggak keberatan." Ucap pria berkaus putih polos yang dilapisi jaket denim hitam itu jujur.

Berhubung tak ingin banyak ikut campur, Inka lantas tersenyum mengiyakan.

"Ya udah, saya bangunin Gia dulu. Tunggu sebentar, ya?"

Walau tanpa Inka ketahui, debaran jantung Emil hampir sama persis dengan dentuman lagu EDM sekelas The Chainsmokers.

***

Hati wanita mana tak bermekaran tatkala disambangi pujaan cinta, diserahkan bunga yang langsung diletakkan dalam vas hias di kamar, meski harus buru-buru mandi dan berpakaian sebisanya.

Bahkan, tak ada waktu untuk memilih dandanan cocok karena tidak ingin sang pangeran menunggu terlalu lama. Jadilah pelembab, tabir surya, BB cushion, serta peach lip tint berhasil menyempurnakan kontur wajahnya sebaik mungkin.

Tepat ketika si gadis dan pria matang kasual itu berhadapan di meja warung nasi kuning sambil melahap pesanan masing-masing didampingi kopi susu tubruk panas, dengan percaya diri, salah satu di antara mereka mengatakan bahwa...

"Kamu cantik banget hari ini, Gi. Heran, dari awal kita ketemu sampe sekarang, bisa-bisanya aku nggak bosen sama cantiknya kamu."

Dialah Emil, pelaku perona pipi alami kekasihnya.

"M-makasih, Mil." Respon Gia agak terbata. "Tumben lho kamu ngajak sarapan pas weekend, padahal tadinya aku mau ke apartemenmu nanti sore."

"Aku pengen kita isi bensin sama-sama, soalnya aku mau kita pergi ke beberapa tempat seharian. Just the two of us." Jelas Emil gamblang. "Dan kamu nggak usah khawatir, aku udah siapin semua yang sekiranya nanti kita butuhin di mobil."

Mimpikah Gia kini?

Jangan-jangan... Emil hendak mengajaknya ke kebun binatang, kebun teh, kebun stroberi, atau malah kebun tauge?

"Emang kita mau ke mana, Lio? Kok kayaknya kamu udah well-prepared banget tanpa sepengetahuanku?" Lirik Gia curiga sembari meneguk kopinya.

Emil baru menyelesaikan suapan terakhir, sebelum jemari kanannya menyentuh pipi kiri lembut Gia.

"Nanti kamu bakal tahu sendiri, Gi. Yang jelas, aku bisa jamin kalau kita nggak akan menyesal sama apa yang udah kita lewati hari ini."

***

Destinasi pertama mereka adalah kamar bayi di Rumah Sakit Ramashinta.

Tentu Gia memekik riang perlahan ketika seorang perawat wanita memberi mereka berdua akses masuk, setelah mensterilkan diri masing-masing.

Terima kasih kepada Dokter Erwan, alias suami mantan kekasih Cakra yang juga merupakan kawan baru Emil, sebagai sang penyedia priviledge.

Seorang bayi laki-laki di atas ranjang kecil berseprai hijau muda, sedikit menarik perhatian Gia ditemani Emil di sampingnya.

"Aku boleh gendong dia, nggak?" Pinta Gia bernada imut di balik masker.

Perawat yang bertugas mendampingi mereka itu mengangguk. Terang saja, Gia tanpa ragu mengangkat pelan bayi berumur dua hari itu, kemudian ditimangnya hati-hati.

"Emil, lihat deh. Lucu banget dia tuh. Bibirnya kayak kamu pas lagi bobok, terus alisnya juga tebel, anteng pula." Cerocos Gia.

Tidak tahu saja Gia, Emil hampir terbang menembus atap begitu mendengar suara keibuan pacarnya kembali muncul ke permukaan.

Terlalu asyik memandangi si makhluk hidup menggemaskan, membuat Gia agak waspada dan menatap gelisah sana sini.

"Eh, tapi nggak apa-apa nih kita ke sini?  Jangan sampe kita dikira penculik sama emak bapaknya."

Bagaimana Emil dan perawat bayi itu tidak tertawa?

"Hahahahh! Nggak, sayang. Bayi yang kamu gendong itu anak pertama Cakra sama Nira. Namanya Nara. Sini, aku kok jadi pengen ikut gendong."

Perlahan, Nara diambil alih oleh Emil dibantu Gia yang terbengong-bengong.

"Astaghfirullah! Nira udah melahirkan, Mil?!" Bisik Gia takjub. "Kamu kok nggak bilang dari awal?? Tahu gini aku bisa bawain sesuatu buat ibu sama anaknya!"

"Kado dari kita udah kukasih kemaren pas mampir ke sini, Gi. Aku emang baru ngajak kamu hari ini, biar bisa lebih leluasa. Soalnya keadaan Nira masih lemah buat terima tamu. Lagian kita emang dibolehin mereka buat jenguk Nara, asal jangan lama-lama."

"Oh, gitu.. semoga Nira bisa cepet pulih dari persalinan ya, Mil."

"Aamiin, honey."

Pengertian, kebapakan, dewasa, dan menenangkan.

Sungguh keterlaluan jika Gia meremehkan sosok Emil yang tidak berhenti membinarkan pandangan matanya di hadapan Nara Selaras Andrian, membuat Gia diam-diam bersyukur atas kebaikan Tuhan berupa Emil di hidupnya.

"Makasih udah bawa aku ketemu Nara ya, Mil." Tangan Gia terulur, menggenggam jempol Nara yang keluar dari kain selimut yang membungkus hangat tubuhnya. "Halo, Nara. Ini Tante Gia. Nanti kita main bareng ya, sayang.."

"Gia,"

Gadis itu mendongak, memperhatikan Emil yang masih belum mau berpisah dengan Nara.

"Semoga anak kita kelak juga bisa main bareng Nara ya, sayang?"

Mati kutulah Gia di tempat.



***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang