28

362 52 7
                                    

"Kami sekeluarga siap menerima keputusan Gia sama Nak Emil, kalau memang dirasa sudah cukup saling mengenal dan mau diresmikan, kami nggak akan memaksa, semampunya kalian saja bisanya kapan."

Ucapan papa di ruang tamu melukiskan bunga mekar dalam benak Emil dan Gia, yang duduk berhadapan dibatasi oleh meja rendah, di mana mereka kini saling membiaskan senyum.

"Gimana, Kak?" Papa menyenggol bahu Gia yang diapit oleh dirinya dan mama.

"Gimana apanya, Pa?"

"Kakak beneran setuju jadi calon istri Emil?"

"Kan Kakak udah bilang sama Emil semalem, Pa."

"Kan Papa, mama, sama Abang belom denger, Kak."

"Iya, Kakak setuju."

Papa, mama, dan Nicky kompak mengucap kalimat hamdalah. Tidak peduli perasaan Gia terhempas malu saat menemukan cahaya di bola mata kekasihnya.

"Kakak bantu Mama di dapur dulu, yuk." Ajak mama, menarik tangan pasrah Gia. "Nak Emil nanti sarapan bareng kita, ya."

"Siap, Tante. Terima kasih, maaf merepotkan."

Sambil meminum segelas teh manis hangat, entah mengapa Emil merasa pandangan Nicky terus menusuk ke arahnya.

Menangkap akan terjadi aura interogasi terselubung antar lelaki, papa berusaha menengahi begitu mama dan Gia terdengar sibuk di belakang sana.

"Nak Emil santai aja. Kita bisa ngobrol dulu sambil tunggu nasi gorengnya siap."

"Sebenarnya ada yang mau saya tanyakan, Om." Jawab Emil setengah meragu.

Gestur tangan papa kemudian bergerak maju cukup luwes.

"Silakan, Nak Emil, mau tanya apa?"

"Asal jangan tanya cewek gue sekarang siapa, ya, Mil. Soalnya ada gebetan yang baru gue PDKT-in kemaren."

Kelakar Nicky di tengah mengunyah cookies ternyata mampu merilekskan tawa bagi kedua orang lainnya.

"Apa Om, Tante, sama Bang Nicky nggak masalah dengan status sosial keluarga saya yang sederhana? Papa saya pensiunan Pertamina dua tahun lalu, mama cuma ibu RT biasa."

"Maaf, Om, Bang Nicky, untuk saat ini.. saya baru bisa membahagiakan Gia dengan apartemen dua kamar di daerah Sudirman, satu mobil, dan satu motor pribadi. Maaf, apabila saya belum bisa menghidupi Gia sebaik dan sebanyak yang Om dan Abang berikan kepada Gia selama ini, karena saya masih harus menanggung kebutuhan papa dan mama saya di rumah."

Meski pun Gia bercerita cukup lengkap tentang latar belakang Emil, tetap saja papa dan Nicky tertarik mendengar kejujuran itu dari mulut narasumbernya secara langsung.

"Gila, lo hebat banget, Mil. Nggak kebayang perjuangan lo selama ini bayar kuliahnya Denaya, iuran, sama kebutuhan seisi rumah sejak orang tua kalian pensiun. Wih, mantep itu sih." Respon Nicky seraya menggaruk kepalanya takjub.

"Makasih, Bang. Tapi itu emang udah tugas saya sebagai anak pertama laki-laki di keluarga." Emil menyahut datar, bersikeras menahan haru.

"Nak Emil,"

Teguran papa mengangkat wajah pucat itu setengah percaya diri.

"Kita sekeluarga nggak pernah menilai harta, tahta, dan kekuasaan yang dimiliki oleh orang lain."

"Derajat manusia itu sejatinya sama, Nak. Bukan hak prerogratif Om, tante, atau abangnya Gia yang menentukan Nak Emil pantas atau tidak menjadi calon anggota keluarga, tapi gimana hati nurani kalian bergerak untuk saling menyayangi dan menerima kurang lebih satu sama lain."

"Om bangga sama Nak Emil, di usia segini, Nak Emil mau mengalah dan rela jadi the bread winner of family. Jujur, Om pengen berterima kasih, Nak Emil dan keluarga udah baik sama Gia selama ini."

"Terima kasih banyak, Om. Saya lega banget dengernya." Emil berucap hangat.

Inilah sisi lain papa yang baru saja Emil dapatkan.

Tidak semua orang tua mau memandang berlian memukau dari segala arah tanpa cela, dan Emil mensyukuri hal itu ada dalam diri papa Nicky dan Gia, sukses membunuh kerisauannya.

"Ngomong-ngomong, Om pengen tahu. Kalau Gia nginep di apartemen Nak Emil, kalian sekalian nabung buat ngasih Nicky keponakan juga, nggak?"

Hampir saja Emil menelan jelly beserta cup plastiknya.

"Waduh, maaf. Saya baru berani soal itu sama Gia kalau udah halal, Om. Hehe."

Sikap papa memang selalu santai, namun sukses menghelakan napas Nicky cukup berat.

"Duh, Papa kok malah ngebet pengen punya cucu sih?"

"Oh jelas dong, Bang. Biar Abang semangat deketin mbak-mbak di kantor kelurahan itu. Jangan mau kalah sama si kakak!"

"Astaghfirullah, PAPAAAA!"

"BAHAHAHAHAHAHHH!" Yang diserukan penuh emosi, malah asyik tertawa heboh.

"Sabar ya, Bang."

Dibelainya bahu calon kakak ipar prihatin, walau Emil menahan geli sekuat tenaga, sampai tulang iganya terasa bergetar hebat.



***BERSAMBUNG***

"Alhamdulillah, untung gue nggak kalah ganteng." - Nicky.

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang