BAB 10

185 37 0
                                    

HOSEOK POV

"Kau tadi cerdik, deh," kata Jimin, "memilih tempat yang ber-AC." Dia dan Hoseok baru saja menyurvei museum. Kini mereka duduk-duduk di jembatan yang melintang di Sungai Kladeos, kaki keduanya menjuntai di atas air selagi mereka menunggu Yoongi dan Wendy menyelesaikan peninjauan puing-puing. Di kiri mereka, lembah Olympia berdenyar di tengah panasnya siang. Di kanan mereka, lapangan parkir disesaki bus pariwisata. Untung Argo II dijangkarkan tiga puluh meter di udara, sebab mereka takkan mendapat tempat parkir. Hoseok melemparkan batu ke permukaan sungai. Dia berharap semoga Wendy dan Yoongi cepat kembali. Dia merasa kikuk, nongkrong dengan Jimin. Salah satu sebabnya, Hoseok tidak tahu basa-basi apa yang mesti dia obrolkan dengan cowok yang baru pulang dari Tartarus. Nonton episode Doctor Who yang terakhir, tidak? Oh, iya ya. Kau kan sedang sibuk tersaruk-saruk di Lubang Petaka Kekal!

Jimin sudah cukup mengintimidasi, bahkan sebelum masuk ke Tartarus—bisa mendatangkan angin topan, pernah berduel melawan bajak laut, membunuh raksasa di Koloseum Sekarang singkat kata, sesudah kejadian di Tartarus, kesannya Jimin telah lulus ke level yang lebih tinggi, semakin keren dan semakin jagoan. Hoseok malah susah membayangkan Jimin sebagai rekan seperkemahannya. Mereka berdua tidak pernah berada di Perkemahan Blasteran pada waktu bersamaan. Kalung kulit milik Jimin diganduli empat bandul yang mewakili pungkasnya empat musim panas. Kalung kulit Hoseok kosong dari manik-manik Satu-satunya persamaan mereka adalah Calypso, padahal tiap kali Hoseok memikirkan itu, dia jadi ingin meninju wajah Jimin. Hoseok terus-menerus berpikir bahwa dia sebaiknya mengungkit topik itu, semata-mata untuk menjernihkan suasana, tapi waktu yang tepat seolah tidak kunjung tiba. Hari demi hari, semakin sulit untuk menyinggung-nyinggung subjek tersebut.

"Apa?" tanya Jimin.

Hoseok tersentak. "Apanya yang apa?"

"Kau memelototiku, seperti sedang marah."

"Masa?" Hoseok mencoba berkelakar, atau setidaknya tersenyum, tapi tidak bisa.

"Eh, maaf." Jimin menerawang ke sungai.

"Kurasa kita perlu bicara." Dia membuka tangan dan batu yang tadi Hoseok lemparkan melesat keluar dari sungai, mendarat tepat di telapak tangan Jimin. Oh, pikir Hoseok, sekarang ceritanya mau pamer nih? Dia mempertimbangkan untuk menembakkan semburan api ke bus pariwisata terdekat dan meledakkan tangki gasnya, tapi Hoseok memutuskan bahwa aksi semacam itu kelewat dramatis. "Mungkin kita memang harus bicara. Tapi tidak—"

"Teman-Teman!" Yoongi berdiri di seberang lapangan parkir, melambai agar mereka menghampiri. Di samping Yoongi, Wendy duduk di punggung kudanya Anion, yang muncul sekonyong-Lonyong begitu mereka mendarat. Diselamatkan oleh Min, pikir Hoseok. Dia dan Jimin berlari-lari kecil untuk menghampiri kedua kawan mereka. "Tempat ini besar sekali," lapor Yoongi. "Reruntuhan terbentang dari sungai di kaki pegunungan itu sampai ke sini, kira-kira setengah kilometer."

"Setengah kilometer itu berapa mil?" tanya Jimin.

Yoongi memutar-mutar bola matanya. "Kilometer itu satuan jarak yang biasa di Kanada dan seluruh dunia. Cuma kalian orang-orang Amerika—"

"Kira-kira sebesar lima atau enam lapangan futbol." Wendy memotong sambil menyuapi Anion dengan segumpal besar emas.

Jimin merentangkan tangan. "Bisa kubayangkan."

"Pokoknya," lanjut Yoongi, "dari atas, aku tidak melihat apa pun yang mencurigakan."

"Aku juga," ujar Wendy. "Anion membawaku mengelilingi perimeter. Banyak wisatawan, tapi tidak ada dewi yang gila." Kuda jantan besar itu meringkik dan mendongakkan kepala, otot-otot lehernya beriak di bawah kulit cokelat muda.

"Waduh, sumpah serapah kudamu kasar sekali." Jimin menggeleng-geleng. "Dia tidak suka Olympia." Sekali ini, Hoseok sepakat dengan kuda itu. Dia tidak suka membayangkan harus menyusuri reruntuhan di bawah matahari terik, tersaruk-saruk di antara kawanan turis bersimbah peluh demi mencari Dewi Kemenangan berkepribadian ganda. Lagi pula, Yoongi sudah terbang di atas sepenjuru lembah sebagai elang. Kalau mata tajamnya tidak melihat apa-apa, mungkin memang tiada yang panto menjadi pusat perhatian. Di sisi lain, saku-saku sabuk perkakas Hoseok penuh dengan mainan berbahaya. Dia enggan pulang ke rumah tanpa sempat meledakkan apa pun.

Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang