JENNIE POV
Jennie menggapai pedangnya-lalu tersadar bahwa dia tidak membawa pedang. "Keluar dari sini!" Phoebe menyiapkan busurnya. Celyn dan Naomi lari ke ambang pintu yang penuh asap, tap mereka sontak tumbang gara-gara panah hitam. Phoebe menjerit murka. Dia balas menembak sementara kaum Amazon bergegas maju sambil membawa tameng dan pedang.
"Jennie!" Naeun menarik lengannya. "Kita harus pergi!"
"Kita tidak boleh—"
"Para pengawalku akan mengulur-ulur waktu untukmu!' teriak Naeun. "Misimu harus berhasil."
Jennie benci berbuat begini, tapi dia lari mengejar Naeun. Mereka mencapai pintu samping dan Jennie pun melirik la belakang. Lusinan serigala—serigala kelabu seperti di Portugal—menerjang masuk ke gudang. Kaum Amazon bergegas mengadang mereka. Di ambang pintu yang penuh asap, berserakanlah jasad mereka yang tewas: Celyn, Naomi, Phoebe. Pemburu berambut merah yang telah hidup ribuan tahun kini bergeming, terkulai dengan mata membelalak karena terguncang, panah merah-hitam kebesaran menancap di perutnya. Kinzie sang Amazon menyerbu ke depan, pisau panjangnya berkilat-kilat. Dia melompati jasad-jasad itu dan merangsek masuk ke kepulan asap. Naeun menarik Jennie ke koridor. Mereka pun lari bersama-sama.
"Bisa-bisa mereka semua meninggal!" teriak Jennie. "Pasti ada sesuatu—"
"Jangan bodoh, Dik!" Mata Naeun berkaca-kaca. "Orion mengakali kita. Dia mengubah penyergapan menjadi pembantaian. Yang sekarang bisa kita lakukan hanyalah menahan dia sementara kau kabur. Kau harus mengembalikan patung itu kepada bangsa Yunani dan mengalahkan Gaea!" Dia membimbing Jennie menaiki tangga. Mereka menelusuri koridor-koridor nan ruwet, lalu mengitari pojokan untuk masuk ke ruang loker. Mereka mendapati diri mereka berhadapan dengan serigala kelabu besar, tapi bahkan sebelum hewan itu sempat menggeram, Naeun meninjunya di antara kedua mata. Serigala itu kontan roboh. "Di sebelah sini." Naeun lari ke deretan loker terdekat. "Senjata-mu di dalam. Cepat." Jennie menyambar pisaunya, pedangnya, dan tasnya. Lalu dia mengikuti sang kakak menaiki tangga logam melingkar. Tangga itu berujung buntu, di langit-langit. Naeun membalikkan badan dan memandangi Jennie dengan galak. "Maklum saja, ya?! Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan ini. Tetaplah tabah. Tetap jaga komunikasi." Jennie bertanya-tanya apa kiranya yang lebih parah ketimbang peristiwa yang baru mereka tinggalkan. Naeun mendorong pintu tingkap dan mereka pun memanjat ke dalam rumah lama mereka sendiri.
Ruangan besar itu persis seperti yang Jennie ingat. Jendela langit-langit keruh tampak cemerlang, enam meter di atas sana. Dinding putih polos tidak dihiasi apa-apa. Furnitur terbuat dari kayu ek, baja, dan kulit putih—impersonal dan maskulin. Di kedua sisi ruangan, terdapat teras, yang selalu membuat Jennie merasa seperti sedang diawasi (karena sering kali, dia memang sedang diawasi). Ayah mereka telah melakukan segalanya yang dia bisa untuk menjadikan hacienda berusia berabad-abad ini terasa bagaikan rumah modern. Dia menambahkan jendela langit-langit, mengecat putih semuanya untuk memberi kesan lebih cerah serta lebih lapang. Tapi, dia hanya berhasil menjadikan tempat itu menyerupai mayat bersetelan baru nan rapi. Pintu jebakan terbuka ke perapian mahabesar. Apa sebabnya mereka punya perapian di Puerto Rico, Jennie tidak pernah mengerti, tapi dia dan Naeun dulu kerap berpura-pura bahwa pendiangan itu adalah persembunyian rahasia yang takkan bisa ayah mereka temukan. Mereka dulu membayangkan bisa melangkah masuk dan mendatangi tempat-tempat lain. Kini, Naeun telah mewujudkan khayalan itu. Dia telah menghubungkan sarang bawah tanahnya dengan rumah masa' kecil mereka.
"Naeun—"
"Sudah kubilang, kita tidak punya waktu."
"Tapi—"
"Aku sekarang pemilik bangunan ini. Aku mendaftarkan sertifikatnya atas namaku."
"Kau melakukan apa-
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)
AdventureApi Yunani berkobar ... membakar sebagian besar monster. Tanah menggemuruh. Semua gelembung membrane berlendir meletus, mengepulkan debu. Setetes jatuh dari dagu Jimin ... mendarat di tanah ... mendesis seperti seperti air di wajan. Darah Olympus...