BAB 18

188 39 0
                                    

IRENE POV

Irene tidak mau dibentak-bentak oleh meja berkaki tiga. Ketika Taehyung bertandang ke kabin Irene malam itu, dia memastikan untuk terus membuka pintu kamar, sebab Buford si Meja Ajaib melaksanakan tugasnya sebagai pengawas secara sangat serius. Jika meja itu curiga akan keberadaan anak perempuan dan laki-laki berduaan dalam kabin tanpa pengawas, Buford bakal mengembuskan uap dan berkelotakan sepanjang lorong, proyeksi hologram Pak Pelatih Hedge meneriakkan, "HENTIKAN! AYO PUSH-UP DUA PULUH KALI! PAKAI BAJUMU!"

Taehyung duduk di kaki tempat tidur Irene. "Aku hendak bertugas jaga. Cuma mau mengecekmu terlebih dulu."

Irene menyenggol tungkai Taehyung dengan kakinya. "Orang yang ditusuk pedang ingin mengecek keadaanku? Bagaimana perasaanmu?" Taehyung tersenyum miring kepada Irene. Wajahnya cokelat sekali karena terpanggang matahari sepanjang perjalanan mereka di pesisir Afrika sampai-sampai bekas luka di bibirnya menyerupai bekas kapur. Mata birunya malah semakin terang. Rambut pirangnya yang seputih julai jagung sudah bertambah gondrong, meskipun alur bekas lintasan peluru dari senapan Sciron si bandit masih tampak di kulit kepalanya. Jika luka gores minor dari perunggu langit saja butuh waktu demikian lama untuk pulih, Irene bertanya-tanya kapan luka emas Imperial di perut Taehyung sembuh.

"Aku pernah mengalami yang lebih parah," Taehyung meyakinkan Irene. "Suatu kali, di Oregon, seekor dracaena memotong lenganku."

Irene mengerjapkan mata. Kemudian ditamparnya lengan Taehyung dengan lembut. "Tutup mulut."

"Kau sempat terkecoh, kan?!"

Mereka bergandengan dengan nyaman sambil membisu. Sekejap, Irene hampir bisa membayangkan bahwa mereka adalah remaja normal, sedang menikmati kebersamaan dengan satu sama lain dan membiasakan diri sebagai pasangan. Memang, Taehyung dan Irene sempat melewatkan beberapa bulan di Perkemahan Blasteran, tapi perang melawan Gaea senantiasa membayangi. Irene bertanya-tanya bagaimana rasanya, tidak perlu mengkhawatirkan kalau-kalau mereka bakal mati sekitar dua belas kali sehari. "Aku belum berterima kasih padamu." Ekspresi Taehyung menjadi serius. "Sewaktu di Ithaka, aku melihat ampas ibuku, mania-nya Ketika aku terluka, kau menjagaku agar tidak pingsan, Renes. Sebagian dari diriku ..." suaranya melirih. "Sebagian dari diriku ingin memejamkan mata dan berhenti melawan."

Hati Irene terasa pedih. Jari-jarinya merabai denyut nadinya sendiri yang bertambah cepat. "Taehyung kau seorang petarung. Kau tidak pernah menyerah. Ketika berhadapan dengan arwah ibumu—kaulah yang tangguh. Bukan aku."

"Mungkin." Suara pemuda itu kering. "Aku tidak bermaksud membebanimu, Renes. Hanya saja aku memiliki DNA ibuku. Kemanusiaanku seluruhnya adalah warisan ibuku. Bagaimana kalau aku membuat pilihan keliru? Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan yang tidak bisa kuralat saat kita bertarung melawan Gaea? Aku tidak mau menjadi seperti ibuku—terkuras habis hingga menyisakan mania belaka, menekuri penyesalanku selamanya."

Irene menggenggam tangan Taehyung dengan kedua tangannya. Dia merasa seperti kembali ke geladak Argo II, memegangi granat es kaum Boread tepat sebelum meledak. "Kau pasti akan membuat pilihan yang tepat," kata Irene. "Aku tidak tahu apa yang akan menimpa satu pun di antara kita, tapi kau tidak mungkin menjadi seperti ibumu."

"Bagaimana bisa kau seyakin itu?"

Irene mengamat-amati tato di lengan bawah Taehyung—SPQR, elang Jupiter, dua belas garis penanda tahun pengabdiannya di legiun. "Ayahku pernah mendongengkan cerita tentang pilihan ..." Irene menggeleng. "Tidak, lupakan saja. Nanti aku kedengaran seperti Kakek Tom."

"Lanjutkanlah," kata Taehyung. "Ceritanya bagaimana?"

"Jadi ada dua pemburu Cherokee yang sedang menjelajahi hutan. Masing-masing diberi pantangan."

Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang