BAB 22

136 36 0
                                    

JENNIE POV

Jawaban datang ke benaknya sebelum dia sadar sepenuhnya. Inisial pada plang di Barrachina: HPDN. "Tidak lucu," Jennie berkomat-kamit sendiri. "Tidak lucu sama sekali." Bertahun-tahun silam, Lupa mengajarinya cara tidur-tidur ayam, alhasil dia selalu bangun dalam keadaan segar dan siap menyerang. Kini, sementara indranya pulih kembali, dia menaksir situasinya. Karung masih membungkus kepalanya, tapi sepertinya tidak dikencangkan di seputar lehernya. Jennie diikat ke kursi keras—kayu, berdasarkan teksturnya. Tambang terasa erat di tulang iganya. Tangannya ditalikan ke belakang, tapi kakinya bebas di bagian pergelangan. Entah penangkapnya ceroboh, atau mereka tidak menduga Jennie bakal bangun secepat itu. Jennie menggoyang-goyangkan jemari tangan dan kakinya. Apa pun obat bius yang mereka gunakan, efeknya sudah hilang.

Di suatu tempat di depannya, langkah kaki bergema di koridor. Bunyi tersebut semakin dekat. Jennie membiarkan otot ototnya melemas. Disandarkannya dagu ke dada. Kunci diputar. Pintu berderit terbuka. Dinilai dari akustiknya Jennie berada dalam ruangan kecil berdinding bata atau beton mungkin ruang bawah tanah atau sel. Satu orang memasuk ruangan. Jennie memperhitungkan jarak. Tidak lebih dari satu setengah meter. Dia menerjang ke depan, berputar sehingga kaki kursinya menabrak tubuh

penawannya. Benturan tersebut mematahkan kursi. Penawannya jatuh sambil mengerang kesakitan. Teriakan dari koridor. Semakin banyak langkah kaki. Jennie menggoyangkan karung hingga terlepas dari kepalanya Dia berguling ke belakang, menarik tangannya yang terikat ke bawah kakinya sehingga lengannya kini berada di depan. Penangkapnya—seorang gadis remaja berpakaian kamuflase abu-abu— tergolek linglung di lantai, sebilah pisau di sabuknya. Jennie menyambar pisau dan menduduki gadis itu, menodongkan bilah senjata ke leher penawannya. Tiga orang gadis lain menyesaki ambang pintu. Duo menghunus pisau. Yang ketiga memasang panah di busurnya. Sekejap, semuanya mematung. Arteri karotid tawanan Jennie berdenyut-denyut di bawah bilah pisau. Dengan bijak, gadis itu tidak coba-coba bergerak. Jennie merunut sejumlah skenario untuk menaklukkan tiga orang di ambang pintu. Mereka semua mengenakan kaus kamuflase abu-abu, jinn hitam pudar, sepatu olahraga hitam, dan sabuk serbaguna seperti hendak berkemah atau naik gunung atau berburu.

"Kalian Pemburu Artemis," Jennie tersadar.

"Santai," kata gadis yang membawa busur. Rambut merahnya dicukur di samping, panjang di atas. Dia berperawakan bak pegulat profesional.

"Kau salah tangkap."

Gadis di lantai mengernbuskan napas, tapi Jennie tahu trik itu—berusaha melonggarkan pegangan musuh. Jennie menodongkan pisau semakin rapat ke leher gadis itu.

"Kalian yang salah tangkap," ujar Jennie, "kalau kalian pikir bisa menyerang dan menawanku. Di mana teman-temanku?"

"Tidak terluka, tepat di tempat kau meninggalkan mereka," janji gadis berambut merah. "Sudahlah, kami bertiga dan tanganmu terikat."

"Kau benar," geram Jennie. "Panggil enam orang lagi dan kemudian perkelahian mungkin baru berimbang. Aku menuntut bertemu dengan letnan kalian, Jeongyeon Kim." Gadis berambut merah mengerjapkan mata. Rekan-rekannya mencengkeram pisau mereka dengan gelisah. Di lantai, tawanan Jennie mulai gemetaran. Jennie mengira dia kejang. Lantas dia menyadari bahwa gadis itu tertawa.

"Ada yang lucu?" tanya Jennie.

Suara gadis itu hanya berupa bisikan parau. "Taehyung memberi-tahuku bahwa kau jago. Dia tidak mengatakan sejago apa." Jennie memfokuskan perhatian pada tawanannya secara lebih saksama. Gadis itu berumur sekitar enam belas tahun, berambut hitam berpotongan tak rata, dan bermata biru cemerlang. Mahkota berbentuk bulatan perak melingkar di dahinya.

"Kau Jeongyeon?"

"Dan aku akan dengan senang hati menjelaskan," kata Jeongyeon, "asalkan kau berbaik hati tidak mengiris leherku."

Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang