IRENE POV
Ketika irene menceritakan mimpinya kepada Jimin, toilet kapal meledak. "Kalian berdua tidak boleh turun berdua saja," ujar Jimin.
Hoseok berlari menyusuri lorong sembari melambai-lambaikan kunci pas. "Bung, haruskah kau menghancurkan pipa?" Jimin mengabaikannya. Air mengalir di lantai papan. Lambung menggemuruh saat semakin banyak pipa yang meledak dan wastafel yang meluap. Irene menebak bahwa Jimin tidak bermaksud menyebabkan begitu banyak kerusakan, tapi ekspresinya yang melotot membuat Irene ingin meninggalkan kapal sesegera mungkin.
"Kami akan baik-baik saja," kata Seulgi kepadanya. "Irene menerawang bahwa kami berdua turun ke sana, jadi itulah yang harus terjadi."
Jimin memelototi Irene seakan-akan semua salahnya. "Si Mimas itu bagaimana? Kutebak dia seorang raksasa?"
"Barangkali," kata Irene. "Porphyrion menyebutnya saudara kita."
"Belum lagi patung perunggu yang dikeliling api," kata Jimin. "Juga satu lagi yang kau singgung-singgung. Maki?"
"Makhai, "Irene berkata. "Setahuku artinya pertempuran dalam bahasa Yunani, tapi aku tidak tahu persis konteks penggunaannya."
"Itulah maksudku!" ujar Jimin. "Kita tidak tahu ada apa di bawah sana. Aku ikut dengan kalian."
"Tidak." Seulgi memegangi lengan Jimin. "Kalau raksasa menginginkan darah kita, hal terakhir yang kita butuhkan adalah kedatangan anak laid-laki dan perempuan ke bawah sana bersama-sama. Ingat? Mereka menginginkan masing-masing satu untuk kurban agung."
"Kalau begitu, akan kupanggil Taehyung," kata Jimin. "Biar kami berdua—"
"Otak Ganggang, apa kau menyiratkan bahwa dua laki-laki lebih piawai mengatasi ini daripada dua perempuan?"
"Tidak. Maksudku bukan. Tapi—"
Seulgi mengecupnya. "Kami akan kembali secepatnya."
Irene mengikuti Seulgi ke lantai atas sebelum seluruh dek bawah kebanjiran air toilet. Sejam berselang, mereka berdua berdiri di bukit yang menghadap ke reruntuhan Sparta Kuno. Mereka sudah mengintai kota Sparta modern, yang anehnya mengingatkan Irene pada Albuquerque—kumpulan bangunan berlabur putih, pendek, dan berbentuk kotak yang terbentang di dataran rendah di kaki pegunungan keunguan. Seulgi bersikeras agar mereka mengecek museum arkeologi, kemudian patung logam raksasa pendekar Sparta di alun-alun, lalu Museum Nasional Zaitun dan Minyak Zaitun (betul, museum tersebut sungguh-sungguh ada). Irene jadi belajar banyak mengenai minyak zaitun melebihi yang ingin dia ketahui, tapi tidak ada raksasa yang menyerang mereka. Keduanya tidak menemukan patung dewa yang dirantai. Seulgi tampaknya enggan mengecek reruntuhan di pinggir kota, tapi akhirnya mereka kehabisan tempat lain yang perlu dilihat-lihat. Tidak banyak yang dapat disaksikan. Menurut Seulgi, bukit yang mereka pijak dahulu adalah akropolis Sparta—titik tertinggi dan benteng utamanya—tapi lokasi tersebut sama sekali tidak mirip dengan akropolis Athena mahabesar yang Irene lihat dalam mimpinya. Lereng gersang berselimut rumput mati, batu, dan pohon zaitun kerdil. Di bawah, reruntuhan terbentang sejauh hampir setengah kilometer: balok-balok batu kapur, segelintir dinding roboh, dan sejumlah lubang berubin di tanah yang seperti sumur. Irene memikirkan film ayahnya yang paling terkenal, Raja Sparta, dan betapa bangsa Sparta digambarkan sebagai manusia super tak terkalahkan. Menurut Irene, memilukan bahwa mereka hanya menyisakan warisan berupa lahan sarat puing-puing dan kota modern kecil dengan museum minyak zaitun. Disekanya keringat dari dahi.
"Kalau di sini ada raksasa setinggi sembilan meter, kita pasti sudah melihatnya." Seulgi menatap Argo 2 yang melayang di atas pucat kota Sparta di kejauhan. Dielus-elusnya bandul koral merah di kalungnya—hadiah dari Jimin sewaktu mereka baru jadian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)
AventuraApi Yunani berkobar ... membakar sebagian besar monster. Tanah menggemuruh. Semua gelembung membrane berlendir meletus, mengepulkan debu. Setetes jatuh dari dagu Jimin ... mendarat di tanah ... mendesis seperti seperti air di wajan. Darah Olympus...