JUNGKOOK POV
"Tiga hari?" Dua belas kali mendengar itu, Jungkook masih tidak yakin dia tak salah dengar. "Kami tak bisa memindahkanmu," kata Jennie. "Maksudku, kau tidak bisa dipindahkan secara harfiah. Kau hampir tidak memiliki substansi. Kalau bukan berkat Pak Pelatih Hedge—"
"Bukan perkara besar," sang pelatih meyakinkan Jungkook. "Suatu kali di tengah-tengah pertandingan play-off aku harus menyangga kaki pemain futbol yang patah dengan peralatan seadanya, cuma batang pohon dan selotip." Walaupun lagaknya cuek, mata sang satir berkantong. Pipinya cekung. Penampilan Pak Pelatih Hedge hampir seloyo yang Jungkook rasakan sendiri. Jungkook tidak percaya dirinya tak sadarkan diri selama itu. Dia mengisahkan mimpi mimpinya yang aneh—celotehan Ella sang harpy, sekilas pandang akan Mellie sang peri awan (alhasil membuat sang pelatih cemas)—tapi Jungkook merasa seolah visi-visi itu hanya berlangsung beberapa detik. Menurut Jennie, hari itu adalah siang 30 Juli. Jungkook telah mengalami koma bayangan selama beberapa hari.
"Bangsa Romawi akan menyerang Perkemahan Blasteran lusa." Jungkook menyesap minuman isotonik lagi, yang dingin menyegarkan, tapi tanpa rasa. Indra pengecap Jungkook seolah telah melebur ke dunia bayang-bayang secara permanen.
"Kita harus bergegas. Aku harus bersiap-siap."
"Tidak." Jennie menekankan tangannya ke lengan bawah Jungkook, membuat perban berkerut. "Kalau kau melakukan perjalanan bayangan lagi, bisabisa kau tewas."
Jungkook mengertakkan gigi. "Kalau aku tewas, ya sudah. Kita harus mengantarkan patung ke Perkemahan Blasteran."
"Hei, Bocah," kata sang pelatih, "kuhargai dedikasimu, tapi kalau kau meneleportasikan kami semua ke kegelapan abadi bersama Athena Parthenos, takkan ada yang terbantu. Bryce Lawrence benar soal itu." Saat mendengar nama Bryce disebut-sebut, kedua anjing logam Jennie menegakkan kuping dan menggeram. Jennie menatap punden batu, matanya penuh derita, seakan roh-roh tak diundang bakal muncul kembali dari dalam kubur. Jungkook menarik napas, menghirup bau tajam racikan obat rumahan buatan Hedge.
"Jennie, aku aku tidak berpikir. Yang kulakukan pada Bryce—"
"Kau menghabisinya," kata Jennie. "Kau mengubahnya jadi hantu. Betul, kejadian itu mengingatkanku pada peristiwa yang menimpa ayahku."
"Aku tidak bermaksud menakutimu," ujar Jungkook getir. "Aku tidak bermaksud meracuni persahabatan kita. Maafkan aku" Jennie mengamati wajahnya.
"Jungkook, harus kuakui, hari pertama kau tak sadarkan diri, aku tidak tahu harus berpikir atau merasakan apa. Yang kau lakukan sukar disaksikan sukar diproses."
Pak Pelatih Hedge mengunyah ranting. "Aku mesti setuju dengan anak perempuan ini, Bocah. Menghajar kepala seseorang dengan tongkat bisbol, itu wajar. Tapi mengubah si berandal menyebalkan jadi hantu, itu lain perkara. Itu sihir gelap namanya."
Jungkook menduga bakal merasa marah—membentak bentak mereka karena sudah coba-coba menghakiminya. Itulah yang lazimnya Jungkook lakukan. Tapi, amarah tidak kunjung datang. Dia masih merasa gusar pada Bryce Lawrence, pada Gaea, dan pada para raksasa. Dia ingin menemukan Jinhwan si augur dan mencekiknya dengan sabuk rantai. Tapi, Jungkook tak marah pada Jennie ataupun sang pelatih. "Kenapa kalian membawaku kembali?" tanyanya. "Kalian tahu aku tidak bisa membantu kalian lagi. Kalian semestinya mencari cara lain untuk melanjutkan perjalanan dengan patung. Tapi, kalian menghabiskan tiga hari untuk merawatku. Kenapa?"
Pak Pelatih Hedge mendengus. "Kau bagian dari tim, Bodoh. Kami takkan meninggalkanmu."
"Lebih dari itu." Jennie memegangi tangan Jungkook. "Selagi kau tidur, aku berpikir baik-baik. Yang kukatakan padamu tentang ayahku aku tidak pernah membaginya dengan siapa pun. Kurasa aku tahu kaulah orang yang tepat untuk mendengar rahasiaku. Kau mengangkat sebagian bebanku. Aku percaya padamu, Jungkook."
Jungkook menatap Jennie, kebingungan. "Bagaimana bisa kau memercayaiku? Kalian berdua merasakan amarahku, melihat perasaanku yang terburuk ..."
"Hei, Nak," kata Pak Pelatih Hedge, nadanya lebih lunak. "Kita semua bisa marah. Bahkan satir berhati lembut sepertiku."
Jennie menyeringai. Diremasnya. tangan Jungkook. "Pak Pelatih benar, Jungkook. Bukan cuma kau yang membiarkan kegelapan keluar sesekali. Aku memberitahumu kejadian yang menimpa ayahku dan kau mendukungku. Kau berbagi pengalamanmu yang menyakitk bagaimana mungkin kami tidak mendukungmu? Kita berteman. "
Jungkook tidak yakin mesti berkata apa. Mereka telah melihat rahasianya yang terdalam. Mereka tahu siapa dirinya, seperti apa dirinya. Tapi, mereka sepertinya tidak peduli. Bukan , malah mereka semakin peduli. Mereka tidak menghakiminya. Mereka prihatin. Reaksi ini tidak masuk akal baginya. "Tapi Bryce. Aku ..." Jungkook tak bisa melanjutkan.
"Kau melakukan yang mesti dilakukan. Aku sekarang maklum," kata Jennie. "Asalkan, berjanjilah padaku, jangan lagi mengubah orang menjadi hantu jika tidak terpaksa sekali."
"Iya," kata Pak Pelatih. "Kecuali kau membiarkanku menghajar mereka dulu. Lagi pula, masih ada setitik sinar terang."
Jennie mengangguk. "Kami tidak melihat tanda-tanda kehadiran orang Romawi lainnya, jadi kelihatannya Bryce tidak mengabari siapa pun mengenai di mana dia berada. Selain itu, tidak ada tanda-tanda Orion. Mudah-mudahan artinya dia telah ditaklukkan oleh para Pemburu."
"Naeun bagaimana?" tanya Jungkook. "Jeongyeon?"
Garis-garis di seputar mulut Jennie menegang. "Belum ada kabar. Tapi, aku harus meyakini bahwa mereka masih hidup."
"Kau tidak memberitahunya kabar yang terbaik," pancing sang pelatih.
Jennie mengerutkan kening. "Mungkin karena susah sekali dipercaya. Menurut Pak Pelatih Hedge, dia menemukan cara untuk mengantarkan patung. Cuma itu yang dia bicarakan tiga hari terakhir ini. Tapi sejauh ini, kami tak melihat tanda-tanda-tanda
"Hei, pasti bisa!" Pak Pelatih menyeringai kepada Jungkook. "Kau ingat pesawat kertas yang kuterbangkan tepat sebelum si Lawrence Menjijikkan muncul? Itu pesan dari salah satu koneksi Mellie di istana Aeolus. Harpy yang bernama Nuggets—dia dan Mellie teman lama. Pokoknya dia mengenal seseorang yang mengenal seseorang yang mengenal kuda yang mengenal kambing yang mengenal kuda lainnya—"
"Pak Pelatih," tegur Jennie, "nanti Jungkook menyesal dirinya sadar dari koma."
"Ya sudah," dengus sang satin "Singkat cerita, aku minta tolong dari sana-sini. Aku mengabarkan kepada roh angin baik-baik bahwa kita butuh bantuan. Surat yang kumakan? Konfirmasi bahwa kavaleri sedang dalam perjalanan. Mereka bilang akan butuh waktu untuk mengorganisasi diri, tapi dia semestinya sampai di sini segera—sebentar lagi, malah."
"Dia itu siapa?" tanya Jungkook. "Kavaleri apa?"
Jennie berdiri mendadak. Dia menatap ke utara, wajahnya melongo kagum. "Kavaleri itu ." Jungkook mengikuti arah tatapannya. Sekawanan burung tengah mendekat—burungburung besar. Mereka dan dekat dan tersadarlah Jungkook bahwa mereka adalah kuda bersayap— berjumlah setidaknya setengah lusin, membentuk formasi V, tanpa penunggang. Yang terbang di ujung adalah kuda mahabesar berbulu keemasan dan berjambul warna-warni seperti elang, rentang sayapnya dua kali lebih lebar daripada kuda-kuda lain. "Pegasus," kata Jungkook. "Bapak memanggil cukup banyak pegasus untuk membawa patung."
Pak Pelatih tertawa girang. "Bukan sembarang pegasus, Bocah. Yang kau saksikan ini kelas satu."
"Kuda di depan ..." Jennie menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Dia Pegasus yang itu, penguasa kuda nan kekal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)
AventuraApi Yunani berkobar ... membakar sebagian besar monster. Tanah menggemuruh. Semua gelembung membrane berlendir meletus, mengepulkan debu. Setetes jatuh dari dagu Jimin ... mendarat di tanah ... mendesis seperti seperti air di wajan. Darah Olympus...