BAB 57 - END

427 36 1
                                    

HOSEOK POV

Hoseok sudah mati. Dia yakin seratus perseu. Dia semata-mata tidak mengerti, kenapa rasanya sakit sekali. Dia merasa seolah-olah tiap sel di tubuhnya telah meledak. Kini kesadarannya terperangkap dalam cangkang demigod gepeng yang renyah dan gosong. Sensasi mual lebih parah daripada mabuk perjalanan mana pun yang pernah dia rasakan. Dia tidak bisa bergerak. Dia tidak bisa melihat atau mendengar. Dia hanya bisa merasakan sakit. Dia mulai panik, berpikir bahwa mungkin inilah hukuman kekal baginya. Kemudian seseorang menyetrum kabel otaknya dan menyalakan ulang hidupnya. Hoseok terkesiap dan terduduk tegak. Hal pertama yang dia rasakan adalah angin di wajahnya, lalu rasa sakit nan menusuk di lengan kanan. Dia masih berada di atas punggung Festus, masih di udara. Matanya mulai berfungsi kembali dan dia melihat jarum hipodermis besar yang ditarik dari lengan bawahnya. Injektor kosong itu mendesing, berdengung, dan mundur ke dalam panel di leher Festus.

"Makasih, Sobat." Hoseok mengerang. "Ya ampun, mati itu tidak enak. Tapi, obat dari tabib? Ramuan itu malah lebih parah." Festus mendetakkan kode Morse. "Tidak, Bung, aku tidak serius," kata Hoseok. "Aku bersyukur sekali masih hidup. Oh iya, aku sayang padamu juga. Kerjamu hebat." Dengung metalik menjalari sekujur tubuh sang naga. Prioritas pertarria: Hoseok mengamati sang naga untuk mendeteksi tanda-tanda kerusakan. Sayap Festus bekerja dengan baik, tapi membran medius kirinya berlubang-lubang. Lapisan luar lehernya leleh sebagian gara-gara ledakan, tapi naga itu sepertinya tidak terancam jatuh bebas dalam waktu dekat ini. Hoseok berusaha nlengingat-ingat apa yang terjadi. Dia lumayan yakin sudah mengalahkan Gaea, tapi dia tidak tahu keadaan teman-temannya di Perkernahan Blasteran. Moga-moga Taehyung dan Irene berhasil menyingkir dari ledakan. Hoseok samar-samar mengingat kenangan ganjil akan misil yang meluncur ke arahnya sembari menjerit seperti gadis cilik apa-apaan itu? Begitu dia mendarat, dia harus mengecek perut Festus. Kerusakan paling serius barangkali berada di area itu, tempat sang naga dengan berani mencengkeram Gaea sekaligus menyembur sang Dewi Limbah Toilet dengan api. Entah sudah berapa lama Festus terbang. Dia harus segera turun. Satu pertanyaan: di manakah mereka? Di bawah, terhampar selimut awan nan padat. Matahari bersinar tepat di atas, di langit biru cemerlang. Jadi, waktu sudah sekitar tengah hari tapi hari apa? Sudah berapa lama Hoseok mati? Hoseok membuka panel aloes di leher Festus. Astrolab berdengung, kristalnya berdenyut-denyut seperti jantung neon. Hoseok mengecek kompas dan GPS-nya. Senyum serta-merta merekah di wajahnya.

"Festus, kabar bagus!" teriaknya. "Pembacaan navigasi benar-benar kacau balau!" Festus berkata, Krieet? "Iya! Turun! Ayo kita ke bawah awan dan mungkin setelah itu—Sang naga menukik cepat sekali sampai-sampai udara tersedot habis dari paru-paru Hoseok. Mereka menembus selimut putih dan di sana, di bawah mereka, tampaklah sebuah pulau hijau di laut biru luas. Hoseok bersorak nyaring sekali sehingga mungkin kedengaran sampai ke China. "HORE! SIAPA YANG MATI? SIAPA YANG KEMBALI LAGI? SIAPA JAGOAN YANG PALING KEREN? Uhuuuuuuy!" Mereka berpuntir menyongsong Ogygia, angin hangat menerpa rambut Hoseok. Dia menyadari bahwa pakaiannya compangcamping sekalipun telah dirajut dengan daya magic. Lengannya dilapisi jelaga, seolah-olah dirinya baru saja meninggal dalam kebakaran hebat ... yang memang terjadi. Tapi, Hoseok tidak boleh mengkhawatirkan itu. Calypso berdiri di pantai, mengenakan celana jins dan blus putih, rambutnya yang cokelat keemasan sewarna batu ambar dikuncir ke belakang. Festus merentangkan sayap dan mendarat sambil tertatih-tatih. Rupanya salah satu kaki Festus patah. Sang naga anjlok ke samping dan melontarkan Hoseok hingga tersungkur ke pasir. Kandas sudah impiannya untuk datang ke sini secara heroik.

Hoseok meludahkan rumput laut dari mulutnya. Festus menyeret diri di pantai sambil mengeluarkan bunyi berderak yang berarti Aw, aw, aw. Hoseok mendongak. Calypso berdiri menjulang di depan Hoseok sambil bersedekap, alisnya terangkat. "Kau terlambat," dia mengumumkan. Matanya berbinar-binar.

"Sori, Manis," kata Hoseok. "Lalu lintas macet sekali."

"Tubuhmu berlumuran jelaga," Calypso berkomentar. "Dan kau merusak pakaian yang kubuatkan untukmu, yang semestinya mustahil rusak."

"Mau bagaimana lagi?!" Hoseok mengangkat bahu. Seratus bola pachinko serasa baru saja dituangkan ke dalam dadanya. "Aku ini ahli dalam hal-hal yang mustahil."

Calypso mengulurkan tangan dan membantu Hoseok berdiri. Mereka berdiri berhadapan, dekat sekali, sementara Calypso mengamati kondisi Hoseok. Calypso harum seperti kayu manis. Apakah sejak dulu terdapat bintik kecil di bawah mata kirinya? Hoseok betul-betul ingin menyentuh bintik itu. Calypso mengernyitkan hidung. "Baumu—"

"Aku tahu. Seperti orang mati. Soalnya, aku barusan memang mati. Sumpah yang ditepati hingga tarikan napas penghabisan dan sebagainya, tapi sekarang aku sudah baikan—" Calypso mengecup Hoseok. Bola-bola pachinko berbenturan di dalam diri Hoseok. Dia merasa bahagia sekali sampai-sampai mesti berjuang dengan sadar supaya dirinya tidak terbakar spontan. Ketika Calypso akhirnya melepaskan Hoseok, wajah sang dewi menjadi coreng-moreng berbekas jelaga. Dia sepertinya tidak peduli. Ditelusurkannya jempol ke tulang pipi Hoseok.

"Hoseok Jung," katanya. Tiada yang lain—cuma nama Hoseok, seolah-olah nama itu bersifat magis.

"Itu aku," kata Hoseok, suaranya bergetar. "Jadi, anu kau mau pergi dari pulau ini?" Calypso melangkah mundur. Dia mengangkat satu tangan dan angin pun berputar-putar. Para pelayannya yang tak kasatmata membawakan dua tas dan meletakkan keduanya di kaki Calypso. "Kenapa kaukira begitu?" Hoseok menyeringai. "Sudah berkemaskemas untuk perjalanan panjang, ya?"

"Aku tidak berencana kembali ke sini." Calypso melirik ke balik bahunya, ke jalan setapak yang menuju taman serta rumahnya di gua. "Kau hendak membawaku ke mana, Hoseok?"

"Pertama-tama ke tempat aku bisa memperbaiki nagaku," Hoseok memutuskan. "Kemudian ke mana pun kau ingin pergi. Memangnya, sudah berapa lama aku pergi?"

"Waktu sukar diukur di Ogygia," kata Calypso. "Satu saat serasa bagai selamanya." Hoseok ragu-ragu. Dia berharap teman-temannya baikbaik saja. Dia berharap sementara dia terbang dalam keadaan mati dan Festus mencari-cari Ogygia, waktu belum berlalu seratus tahun. Dia harus mencari tahu. Dia harus menyampaikan kepada Taehyung dan Irene serta yang lainnya bahwa dia baik-baik saja. Tapi, saat ini ada yang lebih penting. Calypso-lah yang paling penting.

"Jadi, begitu kau meninggalkan Ogygia," tukas Hoseok, "akankah kau tetap kekal?"

"Aku sama sekali tidak tahu."

"Kau tidak keberatan?"

"Lebih dari sekadar tidak keberatan."

"Baiklah, kalau begitu!" Hoseok menoleh ke arah naganya. "Sobat, kau mau terbang tanpa tujuan lagi?"

Festus menyemburkan api dan terpincang-pincang. "Jadi, kita hendak lepas landas tanpa rencana," kata Calypso. "Tidak tahu hendak ke mana, tidak tahu masalah apa yang sudah menanti di luar pulau ini. Banyak pertanyaan, tiada jawaban pasti?"

Hoseok menghadapkan telapak tangannya ke atas. "Begitulah caraku terbang, Manis. Boleh kubawakan tasmu?"

"Tentu saja." Lima menit berselang, disertai Calypso yang memeluk pinggangnya, Hoseok menghela Festus agar terbang. Sang naga perunggu membentangkan sayap dan mereka pun membubung entah ke mana.

- THE END


Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang