BAB 21

163 36 0
                                    

JENNIE POV

Paling tidak mereka tak terdampar di kapal pesiar lagi. Lompatan dari Portugal mendaratkan mereka di tengah-tengah Samudra Atlantik. Di sana, Jennie menghabiskan seharian di dek kolam renang Ratu Azores, mengusir anak-anak kecil agar tidak mendekati Athena Parthenos, yang mereka kira adalah perosotan air. Sayangnya, lompatan berikut membawa Jennie pulang. Mereka muncul tiga meter di udara, melayang di atas halaman restoran yang Jennie kenali. Dia dan Jungkook terjerembap di kandang burung besar, yang serta-merta patah, menjatuhkan mereka beserta tiga nuri yang sangat terperanjat ke antara pot-pot berisi pakis. Pak Pelatih Hedge menumbuk kanopi di atas bar. Athena Parthenos mendarat sambil berdiri disertai bunyi BUK, menggepengkan meja patio dan menggulingkan payung hijau tua ke atas patung Nike di tangan Athena. Alhasil, Dewi Kebijaksaan kini tampak seolah-olah sedang memegangi minuman tropis.

"Bah!" teriak Pak Pelatih Hedge. Kanopi robek dan jatuhlah dia di belakang bar disertai pecahnya botol dan gelas. Sang satir pulih dengan prima. Dia berdiri dengan selusin pedang plastik miniatur di rambutnya, menyambar selang soda, dan menyemprotkan minuman ke mulutnya sendiri. "Aku suka ini!" Dilemparkannya seiris nanas ke dalam mulut. "Tapi, kali berikutnya, Bocah, bisakah kita mendarat di lantai dan bukan tiga meter di atasnya?"

Jungkook tersaruk-saruk untuk keluar dari tengah-tengah pakis. Dia ambruk di kursi terdekat dan menepis seekor nuri biru yang hendak mendarat di kepalanya. Setelah bertempur melawan Lycaon, Jungkook telah membuang jaket penerbangnya yang robek-robek. Kaus hitamnya yang bermotif tengkorak juga compang-camping. Jennie telah menjahit luka robek di biseps anak laki-laki itu, alhasil membuat penampilan Jungkook agak seram karena mirip monster frankenstein, tapi luka-luka itu masih bengkak dan merah. Tak seperti gigitan, cakar manusia serigala tidak menularkan likantropi, tapi Jennie tahu dari pengalaman bahwa luka cakar tersebut lambat sembuh dan seperih tetesan asam pekat. "Aku harus tidur." Jungkook mendongak sambil bengong. "Apa kita aman?"

Jennie menelaah halaman. Tempat itu lengang, tapi dia tidak paham sebabnya. Pada jam seperti ini di malam hari, restoran tersebut semestinya penuh sesak. Di atas mereka, langit petang sudah cokelat kemerahan seperti terakota, sewarna dengan dinding bangunan. Atrium dikelilingi balkon-balkon lantai dua yang kosong, hanya disemarakkan oleh azalea dalam pot yang menggelayut dari pagar logam putih. Di pintu kaca lebar, interior restoran tampak gelap. Satu-satunya bunyi berasal dari air mancur yang berdeguk merana dan burung nuri yang sesekali berkoak kesal. "Ini Barrachina," kata Jennie.

"Bar apa itu?" Hedge membuka sestoples ceri maraschino dan menuangkan isinya ke dalam mulut. "Bukan bar, tapi restoran terkenal," kata Jennie, "di tengah-tengah kota tua San Juan. Seingatku, restoran ini menciptakan ping colada pada 1960-an dulu. Tahu minuman dari rum, santan, dan jus nanas." Jungkook terjungkal dari kursinya, bergelung di lantai, dan mulai mendengkur.

Pak Pelatih Hedge beserdawa. "Wah, kelihatannya kita harus menginap di sini untuk sementara. Jika mereka belum menciptakan minuman baru sejak tahun enam puluhan, sekarang sudah waktunya. Biar aku bekerja!" Sementara Hedge mengoprek bahan-bahan di belakang bar, Jennie bersiul memanggil Aurum dan Argentum. Selepas perkelahian dengan manusia serigala, kondisi kedua anjing itu tidak bagus, tapi Jennie menyuruh mereka bertugas jaga. Dia mengecek pintu masuk atrium yang berbatasan dengan jalan. Gerbang besi dekoratif terkunci. Plang dalam bahasa Spanyol dan Inggris mengumumkan bahwa restoran itu tutup untuk pesta pribadi. Pengumuman tersebut terkesan janggal, sebab tempat itu kosong melompong. Di sebelah bawah plang, tertera inisial timbul: HPDN. Inisial ini mengusik Jennie, sekalipun dia tidak tahu persis sebabnya. Dia memicingkan mata ke balik gerbang. Calle Fortaleza sepi sekali, tidak biasa-biasanya. Trotoar berubin biru bebas lalu lintas dan pejalan kaki. Emperen toko yang berwarna pastel ditutup dan gelap gulita. Apa ini hari Minggu? Atau hari libur? Keresahan Jennie kian bertambah. Di belakang Jennie, Pak Pelatih Hedge bersiul-siul sambil menjajarkan blender. Burung-burung nuri mendekam di pundak Athena Parthenos. Jennie bertanya-tanya apakah bangsa Yunani bakal tersinggung jika patung keramat mereka tiba dalam keadaan berlumur tahi burung tropis. Dari sekian banyak tempat, Jennie justru mendarat di ... San Juan. Mungkin ini cuma kebetulan, tapi dia khawatir bukan. Rute dari Eropa ke New York sesungguhnya tidak melewati Puerto Rico. Letaknya terlampau jauh ke selatan. Selain itu, Jennie sudah berhari-hari meminjami Jungkook kekuatan. Barangkali dia memengaruhi anak lelaki itu secara tak sadar. Jungkook cenderung tertarik ke pemikiran menyakitkan, rasa takut, kegelapan; sedangkan kenangan Jennie yang paling gelap dan paling menyakitkan adalah San Juan. Rasa takutnya yang terbesar? Kembali ke sini. Kedua anjingnya menangkap keresahan Jennie. Mereka berjingkat-jingkat di halaman, menggeram ke bayang-bayang. Argentum yang malang berputar-putar, berusaha memosisikan kepalanya yang bengkok agar bisa melihat dengan satu mata mirah delima. Jennie mencoba berkonsentrasi pada kenangan-kenangan positif. Dia merindukan bunyi katak coqui kecil, berdendang di lingkungan seputar rumahnya seperti paduan suara tutup botol yang terbuka. Dia merindukan aroma laut, magnolia yang bermekaran dan pohon jeruk, roti yang baru dipanggang dari panaderia lokal. Bahkan hawa lembap terasa nyaman dan tidak asing—seperti udara wangi dari ventilasi pengering. Sebagian dari diri Jennie ingin membuka gerbang dan menjelajahi kota. Dia ingin mengunjungi Plaza de Armas, tempat pria-pria tua bermain domino dan kedai kopi menjual espresso yang caking pekatnya membuat telinga meletup. Dia ingin menyusuri jalan rumahnya yang lama, Calle San Jose, sambil menghitung dan menamai kucing-kucing telantar, mengarang cerita untuk masing-masing ekor, seperti kebiasaannya dulu dengan kakaknya. Dia ingin menerobos ke dapur Barrachina dan memasak mofongo autentik dengan pisang goreng, daging babi, dan bawang putih-- cita rasa yang akan senantiasa mengingatkannya pada Minggu sore, ketika dia dan Naeun dapat kabur sejenak dari rumah dan, jika mereka beruntung, makan di dapur tersebut, yang stafnya mengenal dan mengasihani mereka. Di sisi lain, Jennie ingin pergi secepatnya. Dia ingin membangunkan Jungkook, tidak peduli betapa letihnya anak laki-laki itu, dan memaksanya menempuh perjalanan bayangan untuk menyingkir dari sini—ke mana saja asalkan bukan San Juan. Berada dekat sekali dengan rumah lamanya menyebabkan Jennie merasa setegang tali katapel yang ditarik. Diliriknya Jungkook. Walaupun malam itu hangat, dia menggigil di lantai ubin. Jennie mengeluarkan selimut dari tasnya dan menutupi tubuh Jungkook. Jennie tidak lagi merasa janggal karena ingin melindungi Jungkook. Kenyataannya adalah, mereka sekarang memiliki keterhubungan. Tiap kali mereka menempuh perjalanan bayangan, rasa letih serta derita Jungkook menjalari Jennie, dan dia sedikit lebih memahami anak lelaki itu. Jungkook benar-benar sebatang kara. Dia kehilangan kakak perempuannya, Eunbi. Dia mengusir semua demigod lain yang berusaha mendekatinya. Pengalamannya di Perkemahan Blasteran, di Labirin, dan di Tartarus telah meninggalkan luka pada batinnya menjadikannya takut untuk memercayai siapa pun. Jennie ragu bisa mengubah perasaan anak laki-laki itu, tapi dia ingin Jungkook memperoleh sokongan. Semua pahlawan layak menerimanya. Itulah inti dari keberadaan Legiun XII. Kita menggabungkan kekuatan untuk memperjuangkan tujuan mulia. Kita tidak sendirian. Kita menjalin pertemanan dan dihargai Sekalipun sudah pensiun dari kemiliteran, kita tetap memiliki tempat dalam komunitas. Tiada demigod yang pantas menderita seorang diri seperti Jungkook. Malam ini 25 Juli. Tujuh hari lagi 1 Agustus. Teorinya, masih banyak waktu untuk mencapai Long Island. Begitu mereka menuntaskan misi, jika mereka menuntaskan misi, Jennie akan memastikan agar Jungkook mendapat pengakuan atas keberaniannya. Dilepaskannya ranselnya. Jennie mencoba menyempilkan tas ke bawah kepala Jungkook untuk bantal, tapi jemarinya menembus tubuh anak lelaki itu seolah dia hanya bayangan. Jennie berjengit, menarik tangannya ke belakang. Kedinginan karena ngeri, dia mencoba lagi. Kali ini, Jennie bisa mengangkat leher Jungkook dan menggeser bantal ke bawah kepalanya. Kulit Jungkook terasa dingin, tapi normal-normal saja. Apakah Jennie berhalusinasi? Jungkook telah mengerahkan begitu banyak energi untuk mengarungi bayangan mungkin dia mulai memudar secara permanen. Kalau dia terus memaksa diri sampai ke batas kekuatannya hingga tujuh hari mendatang Bunyi blender menyentakkan Jennie dari permenungan.

"Kau mau smoothie?" tanya sang pelatih. "Yang ini nanas, mangga, jeruk, dan pisang, ditaburi secentong kelapa serut. Aku menamainya Hercules!"

"Aku—tidak usah, terima kasih." Jennie melirik ke balkonbalkon di atas yang mengelilingi atrium. Dia masih merasa aneh bahwa restoran itu kosong. Pesta pribadi. HPDN. "Pak Pelatih, sebaiknya kuperiksa lantai dua. Aku tidak Sekelebat gerakan tertangkap oleh matanya. Balkon di kanan—sosok gelap. Di atas itu, di tepi atap, dilatar belakangi awan-awan jingga, bermunculanlah beberapa siluet lagi. Jennie mencabut pedangnya, tapi sudah terlambat.

Kilatan perak, bunyi wusss lirih, dan ujung jarum tertancap di tengkuknya. Penglihatan Jennie menjadi gelap. Tungkainya melemas seperti spageti. Dia ambruk di sebelah Jungkook. Selagi matanya mengabur, Jennie melihat kedua anjingnya berlari menghampirinya, tapi mereka mematung di tengah gonggongan dan lantas terguling ke samping. Di bar, sang pelatih berteriak, "Heir Wusss lagi. Sang pelatih roboh dengan panah kecil perak di lehernya. Jennie berusaha mengatakan, Jungkook, bangun. Suaranya tidak keluar. Tubuhnya total tidak berfungsi, sama seperti anjing logamnya. Sosok-sosok gelap berderet di atas atap. Setengah lusin melompat ke halaman, hening dan anggun. Salah satu mencondongkan badan ke atas Jennie. Dia hanya bisa melihat bentuk kelabu buram. Suara teredam berkata, "Bawa dia." Kepalanya dimasukkan ke karung. Jennie samar-samar bertanya beginikah dia akan mati—bahkan tanpa melawan. Kemudian, tidak jadi soal. Beberapa pasang tangan kasar menggotongnya seperti perabotan berat dan lamat lamat jatuh tak sadarkan diri .

Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang