BAB 6

162 37 0
                                    

JENNIE POV

Biasanya, jennie bisa mengendalikan mimpi buruknya. Dia telah melatih pikiran untuk mengawali semua mimpi di tempat kesukaannya—Taman Bacchus di bukit tertinggi Roma Baru. Dia merasa aman dan tenteram di sana. Ketika visi merangsek masuk dalam tidurnya—yang lazim terjadi bagi demigod—Jennie bisa mengontrol visi-visi tersebut dengan mcmbayangkan bahwa semuanya adalah pantulan di kolam air mancur taman belaka. Dengan demikian, Jennie dapat tidur lelap dan tidak terbangun pagi harinya sambil bersimbah keringat dingin. Akan tetapi, malam ini dia tidak semujur itu. Mimpi tersebut awalnya baik-baik saja. Jennie berdiri di laman pada siang hari nan hangat, aroma honeysuckle mekar wmerbak di pergola. Di air mancur sentral, patung kecil Bacchus mcmuncratkan air ke kolam. Kubah-kubah keemasan dan atap-atap genting merah Roma Baru terhampar di bawah. Satu kilometer kurang sedikit di sebelah barat, menjulanglah benteng Perkemahan Jupiter. Di balik tembok benteng, Sungai Tiberis Kecil meliuk-liuk lembut di lembah, merunut tepian Perbukitan Berkeley, buram keemasan di bawah terangnya sinar musim panas. Jennie memegangi secangkir cokelat panas, minuman favoritnya. Dia mengembuskan napas lega. Tempat ini layak dilindungi demi dirinya sendiri, demi teman-temannya, demi semua demigod. Empat tahun yang dia lalui di Perkemahan Jupiter tidaklah mudah, tapi itulah masa-masa terbaik dalam hidup Jennie. Tiba-tiba kaki langit menjadi gelap. Jennie mengira akan ada badai. Kemudian Jennie menyadari longsor kelam yang bergulung-gulung di perbukitan seperti gelombang pasang, mengeruk isi perut bumi ke permukaan tanah hingga tidak menyisakan apa pun. Jennie menonton dengan ngeri saat gelombang tanah longsor mencapai tepi lembah. Dewa Terminus menopang pembatas magic di sekeliling perkemahan, tapi hanya mampu menahan penghancuran sekejap saja. Cahaya ungu menciprat ke atas seperti kaca pecah, kemudian tanah longsor tumpah ruah ke depan, mencabik-cabik pohon, merusak jalanan, menghapus Sungai Tiberis Kecil dari peta. Ini cuma visi, pikir Jennie. Aku bisa mengendalikan ini. Dia mencoba mengubah mimpi itu. Dibayangkannya bahwa kehancuran tersebut adalah pantulan di kolam air mancur belaka, citra video yang tidak mengancam, tapi mimpi buruk itu terus berlanjut, demikian gamblang dan nyata. Bumi menelan Lapangan Mars, memusnahkan kubu pertahanan dan park helms perang-perangan. Akuaduk kota roboh bagaikan balok mainan anak-anak. Perkernahan Jupiter sendiri tumbang—menara pengawas runtuh, tembok-tembok serta barak luluh lantak. Jeritan demigod dibungkam dan longsoran bumi terus melaju. Tenggorokan Jennie tercekat karena menahan tangis. Kuil dan monumen cemerlang di Bukit Kuil remuk redam. Koloseum dan hippodrome tersapu bersih. Gelombang longsor mencapai garis pomerian dan menggemuruh ke dalam kota. Keluarga-keluarga berlarian di forum. Anak-anak menangis ketakutan. Gedung Senat hancur berkeping-keping. Vila dan taman-taman menghilang seperti hasil panen yang masuk mesin giling. Gelombang longsor bergulung-gulung ke atas bukit, menuju taman Bacchus—yang terakhir yang tertinggal dari dunia Jennie.

Kau meninggalkan mereka dalam keadaan tanpa daya, Jennie Ramirez-Arellano. Suara seorang wanita berkumandang dari dalam tanah hitam. Perkemahanmu akan dimusnahkan. Misimu niscaya gagal. Pemburuku akan datang mencarimu. Jennie beranjak dari langkan taman. Dia lari ke air mancur Bacchus dan mencengkeram pinggiran kolam sambil memicingkan mata dengan putus asa ke dalam air. Dengan kekuatan tekad, dia meminta supaya mimpi buruk itu berubah menjadi pantulan yang tak berbahaya. BRUK Kolam terbelah dua gara-gara panah seukuran garu. Sambil bengong karena terguncang, Jennie menatap ekor panah dari bulu gagak, buluh yang bercat merah kuning-hitam seperti ular koral, mata besi Stygian menancap ke perutnya. Dengan pandangan buram karena kesakitan, Jennie mendongak. Di tepi taman, mendekatlah sosok nan gelap—siluet seorang pria yang matanya bercahaya seperti lampu sorot miniatur, menyilaukan Jennie. Dia mendengar gesekan besi yang menggaruk kulit saat pria itu mengambil sebatang anak panah lagi dari wadahnya. Kemudian mimpi Jennie berubah.

Taman dan sang pemburu lenyap, begitu pula dengan panah di perut Jennie. Dia mendapati dirinya di ladang anggur terbengkalai. Di hadapannya, terbentanglah berhektare-hektare tanaman anggur mati yang berderet di kisi-kisi kayu, menyerupai kerangka mini bengkok-bengkok. Di ujung jauh ladang, berdirilah rumah pertanian dari papan kayu cedar dengan beranda berpagar. Di belakang rumah, lahan menghunjam ke laut. Jennie mengenali tempat ini: Kilang Pengolahan Anggur Goldsmith di pesisir utara Long Island. Regu pengintainya telah mengamankan lokasi tersebut sebagai markas legiun menjelang penyerangan ke Perkemahan Blasteran. Dia sudah memerintahkan sebagian besar anggota legiun untuk tetap berada di Manhattan sampai dia memberi perintah lain, tapi Jinhwan jelas sudah membangkang titah Jennie. Keseluruhan Legiun 12 berkemah di ladang paling utara. Mereka melindungi diri dengan presisi militer sebagaimana biasa—menggali parit sedalam tiga meter dan mendirikan tembok lempung berpasak-pasak di perimeter, menempatkan menara pengawas yang diperlengkapi pelontar misil di tiap sudut. Di dalam, tenda-tenda merah dan putih berbaris rapi. Panji-panji kelima kohort mengepakngepak ditiup angin. Semangat Jennie semestinya terbangkitkan karena melihat legiun. Pasukan tersebut kecil, beranggotakan tak lebih dari dua ratus demigod, tapi mereka terlatih dan terorganisasi. Andaikata Julius Caesar bangkit dari kematian, dia takkan kesulitan mengenali pasukan Jennie sebagai prajurit kebanggaan Romawi. Tapi, mereka seharusnya tidak dekat-dekat dengan Perkemahan Blasteran. Insubordinasi Jinhwan membuat Jennie mengepalkan tinju. Pemuda itu sengaja memprovokasi bangsa Yunani, mengharapkan pertempuran. Visi dalam mimpi Jennie menyorot beranda rumah pertanian. di sana, Jinhwan sedang menduduki kursi bersepuh emas yang sangat mirip singgasana. Selain mengenakan toga senator helm pinggiran ungu, pin centurion, dan pilau augur, pemuda sebut mengadopsi lambang kehormatan baru: kain putih yang ditudungkan ke kepala, yang menandainya sebagai pontifex waximus, pendeta agung yang mengabdi kepada dewa-dewi. Jennie ingin mencekik pemuda itu. Sepanjang zaman modern tak seorang demigod pun pernah mengemban gelar pontifex maximus. Lewat tindakannya, Jinhwan telah mengangkat dirinya hampir setara kaisar. Di kanan Jinhwan, laporan dan peta bertebaran di meja endah. Di kirinya, altar marmer menampung tumpukan buah dan sesaji emas, tak diragukan lagi untuk dewa-dewi. Tapi di mata Jennie, kesannya seperti altar untuk Jinhwan sendiri. Di samping Jinhwan, Jacob si pembawa elang legiun tengah berdiri siaga, berkeringat dalam balutan jubah kulit siaga sambil memegangi tongkat dengan elang emas yang adalah panji-panji Iegiun XII. Jinhwan tengah mengadakan audiensi. Di kaki tangga herlututlah seorang anak laki-laki yang mengenakan celana jins dan sweter kusut bertudung. Rekan Jinhwan, centurion dari Kohort 1, Mike Kahale, berdiri di sisi sambil bersedekap dan melotot tidak senang. "Jadi, begini." Jinhwan memindai selembar perkamen. " Kulihat di sini bahwa kau seorang peranakan, keturunan Orkus." Anak laki-laki bersweter menengadah dan Jennie pun terkesiap. Bryce Lawrence. Jennie mengenali rambut cokelat gondrong itu, hidungnya yang patah, mata hijau kejam, dan senyum sombongnya yang edan. "Ya, Paduka," kata Bryce.

Adventures of the Demigods Season 2 #5 Last (Bangvelt)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang